Sepanjang masa Orde Baru, pemerintahan otoriter membungkam suara rakyat. Mereka yang bersuara langsung dianggap musuh negara.
Gelombang protes rakyat pada 1998 mulai menggulirkan perubahan. Reformasi 1998 menuntut adanya kebebasan berpolitik dan ekonomi yang akhirnya menandai tumbangngnya rezim yang berkuasa selama 32 tahun.
Untuk itu, Presiden Joko Widodo mengucapkan terima kasih kepada aktivis '98 atas jasa mereka memperjuangkan menghadirkan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Meski demikian, Presiden Jokowi juga mengingatkan kebebasan yang dinikmati masyarakat saat ini tidak bisa seenaknya karena tetap diatur dalam konstitusi.
Hal itu dinyatakan Presiden saat menutup acara Rembuk Nasional Aktivis '98 di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (7/7).
Pada momen itu, Presiden Jokowi juga mengingatkan meski kebebasan berekspresi dijamin oleh negara, bukan berarti masyarakat bisa bebas untuk mengadu domba, mencela, dan mencemooh saudara sebangsa. Sebab, persatuan dan persaudaraan merupakan aset besar Indonesia.
Hal itu perlu disadari agar Indonesia menjadi negara yang kuat karena bersatu. Kita akan goyah bila terus didera permusuhan dan pertikaian satu sama lain.
Terlebih menjelang perhelatan Pilpres 2019, Presiden Jokowi mengimbau massa untuk menjaga persatuan. Masyarakat dapat dengan mudah terpecah belah karena perbedaan sikap politik.
Marilah kita bersama-sama menjaga persatuan. Silakan berbeda pendapat pilihan politik karena yang dibangun Aktivis '98 adalah masyarakat yang demokratis.
Beda pilihan untuk calon bupati, wali kota, presiden itu diperbolehlan, tapi kita ini sebangsa dan setanah air. Jangan hanya karena berbeda politik saling mencela, saling mencemooh, itu bukan budaya bangsa Indonesia.
Semoga harapan baik Presiden Jokowi kepada aktivis 98 dan masyarakat luas bisa terwujud. Kita akan kuat bila kita saling bekerja sama, bukan saling memusuhi.