Pada periode inflasi tinggi, sistem pelaporan laba yang menyesuaikan efek inflasi (adjusted income reporting) diperlukan untuk menjaga relevansi informasi terhadap daya beli riil (Wolk et al., 2025). Hal ini menunjukkan bahwa teori akuntansi bersifat adaptif terhadap perubahan sosial dan ekonomi (Wolk et al., 2025).
Wolk dan Tearney mengidentifikasi tiga perspektif filosofis utama dalam pelaporan laba, yaitu perspektif investor, pemerintah, dan manajemen internal (Wolk et al., 2025). Bagi investor, laba berfungsi untuk menilai kemampuan perusahaan menghasilkan arus kas masa depan (Wolk et al., 2025). Pemerintah memanfaatkan laba untuk menentukan kewajiban pajak dan kestabilan fiskal, sedangkan manajemen internal menggunakan laba untuk mengukur efisiensi operasional (Wolk et al., 2025).
Perbedaan perspektif ini menjelaskan mengapa tidak ada satu definisi universal tentang laba (Wolk et al., 2025). Dalam konteks internasional, misalnya, IFRS lebih menekankan pada relevansi melalui fair value, sementara sistem perpajakan di berbagai negara masih menggunakan historical cost karena objektivitasnya (Wolk et al., 2025).
Akuntansi dengan demikian menjadi bahasa moral dan ekonomi yang mencerminkan nilai-nilai masyarakat kapitalis modern (Wolk et al., 2025).
Wolk dkk. menyoroti dua paradigma besar dalam teori laba, yaitu historical cost accounting dan fair value accounting (Wolk et al., 2025). Pendekatan biaya historis unggul dalam hal stabilitas dan keterverifikasian, sedangkan pendekatan nilai wajar lebih unggul dalam hal relevansi dan transparansi pasar modal (Wolk et al., 2025).
Namun, keduanya menghadapi kelemahan: historical cost sering gagal merefleksikan kondisi ekonomi aktual, sedangkan fair value rawan terhadap subjektivitas penilaian (Wolk et al., 2025).
Arah perkembangan akuntansi modern kini menuju comprehensive income reporting yang mencakup seluruh perubahan ekuitas, baik direalisasi maupun belum, serta sustainability reporting yang mencakup dimensi sosial dan lingkungan (Wolk et al., 2025).