Mohon tunggu...
Hendra Mahyudhy
Hendra Mahyudhy Mohon Tunggu... Penulis - Deliriumsunyi

"Hilangnya ilmu pengetahuan adalah tanda-tanda kehancuran". Pekerja Text Komersil

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Potret Masyarakat Indonesia dalam Film "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi"

25 Agustus 2019   15:41 Diperbarui: 25 Agustus 2019   16:47 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ctreemagz.id

Prasangka, suatu hal yang mendominasi di negeri ini. Yang mayoritas bisa menjadi penindas dan minoritas bisa dianggap (menjadi) masalah. Tak hanya itu, konsep kebenaran pun kadang membias dan ambigu, dan menjadi besar hanya karena suatu hal yang bersifat emosional.

Film 'Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi', secara tidak langsung menggambarkan hal di atas, dan juga balutan konflik dan intrik sosial lainnya turut disajikan sutradara John De Rantau lewat film yang diadaptasi dari cerpen seorang mantan wartawan yang sekarang menjadi penulis terkenal, Seno Gumira Ajidarma (SGA).

Beragam konflik dan potret sosial ditampilkan dalam film ini dan semua jika diteliti pada akhirnya bermuara pada konteks hoaks yang belakangan masif penyebarannya di Indonesia. Psikolog dan filsuf terkenal Sigmund Freud, memiliki teori yang cukup relevan terhadap film, yaitu: "Seluruh tingkah pola atau perilaku manusia, sejatinya, dikendalikan oleh motif dorongan seksual atau libido, termasuk dalam hal humor.

Teori yang cukup berselok-belok ini, direpresentasi oleh sutradara asal Sumatera Barat itu dalam beberapa narasi sinema berdurasi 1 jam 36 menit ini.

Pemilihan latar peristiwa juga cukup tepat, yakni mengambil lokasi pinggirian kota Jakarta, di mana segala kesenjangan hidup telah membudaya. Lagi pula kalau kita cermati perihal hoaks selama ini lebih banyak yang menjadi korban dan juga membantu percepatan penyebarannya secara tidak langsung yakni di kelas sosial masyarakat tingkat bawah.

Hal miris ini bisa kita lihat, tatkal periode pesta pemilu negeri ini, segala macam propaganda hoaks dilahirkan, yang menjadi sasarannya lebih banyak masyarakat kelas sosial tingkat bawah. Kita terpecah belah oleh kepetingan politik kelas atas.

Kembali pada sinema, narasi awal dimulai tatkala hadirnya mahasiswi cantik bernama Sophie (Elvira Devinamira), mahasiswi yang diam-diam menjadi fantasi tuntunan para suami di komplek kumuh tersebut.

Fantasi tuntunan ini sendiri dalam kajian psikologi ialah seperti daya khayal yang dipicu (dituntun) oleh suara-suara tertentu berupa musik, film dsb. Dalam film ini yang menuntut konflik adalah suatu hal yang absurd, yakni ketika Sophie mandi sembari bernyanyi di kamar mandi.

Nyanyian Sophie dengan suaranya yang serak basah dan juga bunyi cipratan air, merupakan elemen dasar yang memicu fantasi konyol para suami di komplek pinggiran tersebut, tanpa harus melihat secara langsung, hanya berdasarkan nyanyian dan bebunyian cipratan air para suami pun terjangkit sejenis candu yang membingungkan,namun sangat mereka menikmati.

Tentu hal ini jika cerna sedemikian rupa dan mengkorelasikannya dengan kenyataan yang ada saat ini di sekitar kita, fragmen pada adegan tersebut adakah gambaran dari hoaks dan fanatisme buta kita akan suatu sosok yang kita kagumi (presiden yang kalian pilih). Apa yang sosok itu lakukan tanpa kita sadari menjadi hal yang kita anggap benar (pembenaran), meski kita hanya sebatas mendengarkan semata, namun karena kefanatikan buta tersebut, semua ibarat dogma atau doktrin suci yang harus kita dukung (post-truth), dan pada akhirnya muncullah dua kubu yang saling bertabrakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun