Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Virus Corona, Kaburnya Batas antara Fiksi dan Fakta

25 Januari 2020   23:29 Diperbarui: 27 Januari 2020   09:08 10218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi membawa pasien yang tengah terinfeksi virus. (sumber: AFP/STR/China Out)

Beth Emhoff dari Minneapolis Amerika, melakukan perjalanan bisnis ke Hong Kong. Seperti biasa, Emhoff tidak hanya makan malam bersama rekan kerjanya di sebuah rumah makan, ibu dua anak ini juga menyempatkan bergembira ke sebuah kasino.

Kemudian sebelum kembali ke Minneapolis, Beth menyempatkan diri ke Chicago menemui mantan suaminya.

Namun sepanjang perjalanan pulang, Beth terlihat tidak fit. Suhu badannya meninggi, wajahnya pucat, berkeringat dan berkali-kali batuk. Baru satu hari di rumah, Beth ambruk, kejang-kejang, dan mulutnya berbusa. 

Meski Mitch suaminya sigap membawa ke rumah sakit, Beth tidak bisa diselamatkan. Dokter tidak bisa menjelaskan kepada Mitch penyebabnya.

Esoknya, Clark anak laki-laki Beth juga meninggal dengan kondisi serupa. Sementara di Hong Kong, seorang lelaki yang di kemudian hari diketahui sebagai pelayan rumah makan tempat Beth makan, juga mengalami hal persis dengan Beth dan Clark.

Peristiwa yang menimpa Beth ini menjadi perhatian serius Departemen Keamanan Dalam Negeri beserta Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Karena apa yang dialami Beth, dalam waktu singkat dialami warga Amerika lainnya beserta banyak orang di belahan negara lain seperti India, China, Jepang, Korea. 

Sekitar 2,5 Juta orang Amerika meninggal dengan gejala mirip Beth dan Minneapolis pun diisolasi. Akses keluar masuk Minneapolis ditutup. Minneapolis menjadi kota mati. 

Selain orang disuruh untuk tinggal di rumah untuk mencegah penyebaran virus, kekerasan dan penjarahan pun merebak. Bahkan, Presiden Amerika dimasukan ke bunker dan sidang kabinet dilakukan online.

WHO dan CDC kemudian sibuk melakukan penelusuran asal dari wabah, juga berkonsentrasi di lab menemukan vaksin penangkal virus yang sudah membunuh jutaan orang itu. 

Akhirnya CDC dan WHO berhasil mengidentifikasi Beth sebagai penyebar awal virus mematikan ini di Amerika, dan juga berhasil menemukan vaksin penangkal virus tersebut.

Namun di kemudian hari akhirnya diketahui, bahwa Meningoencephalitis Virus One (MEV-1), begitu virus mematikan ini disebut, berawal dari kelelawar. Sebab pohon tempatnya bergantung roboh digerus buldozer, seekor kelelawar terbang pindah ke sebuah peternakan babi. 

Di peternakan itu, sambil bergantung si kelelawar menularkan virus ke babi di bawahnya. Babi tersebut keesokan paginya kemudian dibawa ke rumah makan tempat Beth makan malam bersama temannya.

Sebelum dilanjutkan, perlu diingatkan bahwa cerita di atas bukanlah fakta. Itu hanyalah imaginasi Scott A. Borns yang dituangkan dalam film berjudul Contagion (2011) yang dibintangi Matt Damon dan Kate Winslet. Karena ini fiksi, cerita di atas juga tidak ada kaitannya dengan virus corona yang sekarang menjadi perhatian dunia. 

Terlepas dari kelebihan Contagion yang dianggap akurat dalam mengambarkan proses penyebaran sebuah wabah, namun mencermati perkembangan virus corona, seperti mengingatkan orang terhadap Contagion yang fiksi. Antara Contagion dan virus corona seperti fiksi dan fakta yang sulit dipilah.

Bila MEV-1 dalam Contagion berasal dari perkawinan virus kelelawar dan virus babi, dalam bahasa medis disebut dengan reassortment, maka virus corona berasal dari perkawinan antara virus kelelawar dan ular.

Asal mula virus corona disinyalir berasal dari Huanan Market Seafood di kota Wuhan.

Selain karena di pasar ini banyak hewan-hewan liar seperti kelelawar, serigala, ular, musang sampai unta diperjualbelikan dengan bebas untuk memenuhi hasrat kuliner orang China yang dikenal ekstrem, korban pertama virus corona pun adalah lelaki berumur 60 tahun yang merupakan pelanggan pasar hewan ini.

Namun seperti juga film Contagion yang menceritakan Homeland Security Amerika menuding bahwa MEV-1 adalah senjata biologis untuk menyerang Amerika, maka 2019-nCoV, begitu WHO memberi kode dan nama virus dari Kota Wuhan ini, dianggap sebagai senjata biologis buatan China yang bocor. 

Mengutip pendapat Dany Shoham, mantan intelijen militer Israel yang sempat mempelajari Chinese Bio Warfare, situs Washington Times mengaitkan keberadaan virus corona dengan keberadaan Laboratorium Biologi China di Kota Wuhan. Keberadaan lab tersebut menurut Shoham, berkaitan dengan program senjata biologis Beijing.

Menurut Daily Mail, sekitar 32 km dari Huanan Seafood Market, memang ada Wuhan National Biosafety Laboratory yang dibuka sejak Januari 2018. Lab ini sudah memiliki standar biosafety level 4 (BSL 4) pertama di China. 

Artinya lab ini sangat aman untuk meneliti virus-virus mematikan dan berbahaya di dunia seperti SARS dan Ebola. Namun pakar mikrobiologi dari Universitas Rutgers, Richard Ebright, memberikan pendapat sebaliknya. Menurut Ebright, sampai saat ini belum ada bukti yang mengaitkan corona dengan lab di Kota Wuhan tersebut.

Gen virus corona sendiri menurut para ahli struktur pertama kali ditemukan pada tahun 1960-an. Diberi nama corona karena bentuknya menyerupai mahkota (crown).

Virus seperti ini sebenarnya tidak masuk dalam kategori mematikan. Hanya menyebabkan gangguan pencernaan terutama diare. Masalahnya virus corona itu dapat beradaptasi dengan baik dan memiliki genetik beragam. Artinya, virus ini dapat menyebar dan menular ke berbagai spesies berbeda.

Di antara efek dari virus ini adalah demam biasa, gangguan pernapasan, radang paru-paru, dan bahkan kematian.

Contohnya pada tahun 2002 dan 2003, virus corona agresif bernama SARS-CoV mewabah di 30 negara dengan penderita lebih dari 8.000 orang dan 1.000 orang di antaranya meninggal. Sementara pada tahun 2012, virus corona Timur Tengah yang menyerang saluran pernafasan (MERS-CoV) ditemukan di Jazirah Arab.

Mungkin kabar baiknya adalah bahwa 2019-nCoV, hanya menyebabkan kematian 5% bagi penderitanya. Itupun kematiannya tidak dapat dikaitkan langsung dengan virus ini. 

Karena mayoritas yang meninggal ternyata karena sudah penyakit penyerta sebelumnya serta usia tua. Bandingkan dengan flu burung yang menyebabkan kematian pada 87% penderita atau 60% pasien SARS yang meninggal.

Namun masalahnya bukan besar kecil probablitas 2019-nCoV sebagai penyebab kematian, tapi posibilitasnya dalam menyebabkan kematian serta sebaran wabahnya yang cepat dan bisa melintasi batas. 

Sampai tulisan ini dibuat (25/01/2020), update kantor berita Xinhua dari China menyebutkan ada 1.287 orang suspect virus corona di mana 237 orang berada dalam kondisi kritis, 41 orang meninggal. Secara total, sudah 15.197 orang yang berinteraksi dengan penderita sudah bisa dilacak dan 13.967 berada dalam pantauan medis.

Sementara update dari CNN menyebutkan bahwa wabah ini juga sudah menyerang warga luar China. Di Hong Kong dan Thailand ditemukan 5 kasus dan di Australia terdapat 4 kasus.

Prancis, Jepang, Malaysia, Singapura, Taiwan masing-masing terdapat 3 kasus. Adapun di Makau, Korea Selatan, Amerika, Vietnam telah ada 2 kasus dan di Nepal 1 kasus.

Bila dalam Contagion Dr. Erin Mears (Kate Winslate) mengungkapkan rumus R0 untuk menjelaskan percepatan persebaran sebuah wabah, maka angka-angka di atas menjadi sangat menarik bila dikaitkan dengan rumus R0.

Dalam Epidemiologi, ilmu yang mempelajari pola penyebaran penyakit serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keadaan tersebut, R0 (er-zero) atau r nought, adalah notasi dari istilah Basic Reproduction Number atau Basic Reproductive Ratio. 

Secara umum konsep ini adalah cara memprediksi jumlah penderita sebuah wabah di sebuah daerah yang belum pernah kena wabah sebelumnya atau tidak ada orang yang imun dari wabah. 

Angka-angkanya merupakan akumulasi dari perhitungan masa inkubasi sebuah virus, contact rate penderita dan pola penyebaran virus. Secara singkat, R0 1 berarti 1 penderita melahirkan 1 penderita baru dan R0 2 melahirkan 2 penderita baru. Dalam rumus R0 terdapat tiga kemungkinan dalam penyebaran wabah.

Bila angka R0 lebih kecil dari 1, maka virus tidak akan mewabah bahkan mungkin menghilang. Bila R0-nya 1, berarti ada penyebaran virus dalam satu penderita ke satu orang. Pada kondisi ini, virus akan terus menyebar dalam populasi tersebut tapi tidak akan menjadi epidemic. 

Namun bila R0-nya lebih dari 1, berarti dari satu penderita akan melahirkan lebih dari satu penderita baru yang berarti penyakit akan terus menyebar dan menjadi epidemic atau wabah.

Dalam rumusan di atas, maka hal yang mengkhawatirkan dari wabah Kota Wuhan ini adalah angka R0-nya. WHO maupun pemerintah China belum mengeluarkan R0 dari wabah corona. 

Namun dalam paper berjudul "Novel coronavirus 2019-nCoV: early estimation of epidemiological paramters and epidemic prediction" yang dipublikasikan di situs medrvix.org, Jonathan Read dari Lancester University menyebutkan bahwa R0 dari 2019-nCoV adalah antara 3,6 dan 4 atau angka yang memungkinkan lahirnya epidemic.

Karena 1 penderita akan melahirkan hampir 4 penderita baru. Dalam hitungan minimal, deret angka penderitanya akan berbentuk 1-3-9-27-71 dan seterusnya.

Karena itu dalam prediksi Read dari Centre for Health Informatics, Lancaster University, dalam 14 hari ke depan (4 Februari) akan ada lebih dari 190 ribu (prediction interval, 132,751 ke 273,649) penderita virus corona. Berdasar sejumlah indikator yang dia temukan, penyebaran virus ini akan eksponential hanya dalam ukuran minggu.

Bila melihat contact rate sebagai variabel penentu angka sebaran penyakit serta profil Kota Wuhan, tidak aneh bila China melakukan tindakan masif dalam menangani virus corona.

Orang pun masih bertanya-tanya kenapa WHO tidak kunjung mendeklarasikan PHEIC, Public Health Emergency of International Concern, atau status darurat kesehatan global terhadap kejadian ini.

Wuhan mungkin tidak setenar Beijing atau Shanghai. Namun bagaimanapun Ibu Kota Provinsi Hebei ini adalah kota terbesar ke-7 China berpenduduk 11 juta jiwa atau hampir sama dengan Jakarta. Wuhan adalah tempat berkumpul pebisnis berbagai negara.

Menurut BBC, dari 500 perusahaan terbesar dunia, 230 di antaranya berinvestasi di Wuhan. 

Di kota ini terdapat 52 institusi pendidikan tinggi yang menampung lebih dari 700 ribu mahasiswa atau kota dengan jumlah mahasiswa terbanyak di China. Pada tahun 2016, Bandara International Wuhan sudah menangani 20 Juta penumpang dengan rute penerbangan langsung ke kota-kota dunia seperti London, Paris, dan Dubai.

Untuk mengurangi contact rate, pemerintah China sudah menutup akses keluar masuk 13 kota. Kereta dan pesawat tidak beroperasi hingga waktu yang belum ditentukan dan jalan tol ditutup. Upaya ini telah menghalangi mobilitas sekitar 41 juta warga. 

Pusat-pusat pariwisata seperti Forbidden City, Shanghai Disneyland, dan 70 ribu bioskop di China dinyatakan tutup. Perayaan Imlek, yang sudah menjadi tradisi penting masyarakat China, di berbagai tempat pun ditutup.

Warga disarankan tinggal dalam rumah dan meminimalisasi interaksi dengan warga lainnya. Beijing dan Shanghai telah menetapkan respons darurat level 1 atau level tertinggi untuk darurat kesehatan publik di China. 

Terakhir Beijing sedang membangun rumah sakit yang bisa menampung 1.000 pasien di atas tanah 25.000 meter persegi di mana pembangunannya harus selesai dalam waktu 6 hari.

Di Indonesia yang sampai sekarang belum ditemukan suspect virus corona, pintu kedatangan penumpang luar negeri, utamanya kedatangan dari China, diperketat. Bandara-bandara utama dipasang thermal scanner. 

Bila ada penumpang yang terdeteksi memiliki suhu tubuh di atas 38 derajat, maka dia akan diisolasi, diperiksa, dan dirujuk ke rumah sakit. Malaysia dan Singapura tentunya bersikap lebih dari itu. Karena di dua negara tersebut sudah ada warganya yang positif terinfeksi.

Bila kita kembali lagi kepada Contagion, mungkin hal positif dari film ini adalah ketika Amerika berhasil menemukan virus penangkal MEV-1 dalam waktu 1 tahun.

Sebuah prestasi karena dalam waktu normal, para ilmuwan membutuhkan waktu 10-18 tahun untuk menemukan virus baru dan 1 tahun dalam situasi emergency seperti sekarang.

Orang banyak berharap kalau ilmuwan Amerika dan China yang sekarang sedang berkolaborasi membuat vaksin penangkal 2019-nCoV, bisa menemukan itu dalam waktu satu tahun.

Namun dalam Contagion disebutkan bahwa satu tahun itu di luar waktu yang dibutuhkan untuk proses produksi massal dan distribusi kepada penderita. Faktanya wabah Ebola di Afrika yang muncul pada tahun 2014, sampai sekarang masih menjangkit rakyat Kongo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun