Mohon tunggu...
delfa ghifari
delfa ghifari Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa komunikasi

mahasiswa komunikasi yang gemar sepakbola dan renang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Nilai Budaya Jawa dalam Kemasan Film Gundala

15 Januari 2022   11:18 Diperbarui: 15 Januari 2022   12:03 1794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diunduh dari laman https://yunoya.id/

Seiring dibukanya kembali bioskop di Indonesia, dunia perfilman Indonesia pada tahun 2022 sangat berkembang ke arah yang lebih baik, sutradara film sekarang banyak yang mengangkat isu sosial yang sedang beredar di masyarakat. Tetapi menurut saya, Indonesia sangat kekurangan film bergenre superhero, dimana tahun ini orang-orang lebih cenderung menunggu film-film superhero buatan luar negeri. McQuail dalam bukunya yang berjudul Sociology of Mass Communication  (1972) menyebutkan bahwa menonton film menjadi keharusan yang mutlak dalam masyarakat urban untuk relaksasi dari aktivitas pekerjaan atau biasa disebut sebagai escaping, or being diverted  from problems.

Gundala merupakan film pahlawan super lokal yang mengangkat cerita pahlawan super Indonesia tahun 1960-an, Gundala Putra Petir, yang karakternya dibuat oleh Harya Suraminata atau Hasmi. Dalam film, tokoh Gundala diperankan oleh Abimana Aryasatya. 

Ichsan Emrald Alamsyah dalam artikelnya berjudul Kemendikbud: Film Gundala Menginspirasi dan Menggugah yang dimuat di situs online Republika.co.id (2019) menyatakan pembuatan karakter Gundala dikonstruksi oleh Joko Anwar sekaligus sutradara dari film Gundala "negeri ini butuh patriot". 

Motivasi dari sutradara Joko Anwar untuk membuat film Gundala ini merupakan hasil dari imajinasi Hasmi yang dituangkan dalam cerita bergambar (1969- 1971), komik (1971-1982), Film (1981) yang kemudian dibuat kembali di tahun 2019 dengan perubahan dari kostum dan setting film Gundala.

https://www.imdb.com/
https://www.imdb.com/

Film Gundala ini dikemas dengan menarik dengan menampilkan sejumlah unsur budaya Jawa. Contohnya sangat terlihat pada ending film ini, Ki Wilawuk yang merupakan musuh dari Gundala dibangkitkan dari dalam tembok yang bertuliskan aksara Jawa. 

Pribadi Wicaksono dalam artikelnya berjudul Kisah Bagaimana Karakter Gundala Dibuat Kemudian Jadi Film, yang dimuat dalam laman seleb.tempo.co (2019) nama Gundala sendiri diambil dari bahasa Jawa 'Gundolo' yang artinya petir. 

Adapun dalam film Gundala yang menggunakan bahasa Jawa seperti "sampun kenthen" (telah terlihat) walaupun di substitle ditulis menjadi "telah muncul", bahasa jawa kuno/klasik tersebut mungkin hampir tidak pernah digunakan lagi. 

Teguh Hidayatul Rachmad dalam artikelnya yang berjudul Membongkar Konsep "Heroisme di Film Gundala yang dimuat di Public Corner Vol. 15, No. 2 (2020) menyatakan bahwa film ini tidak hanya berkaitan dengan teori ekonomi politik media, namun ada beberapa teori lainnya untuk mengupas dan membongkar genre film heroisme yang terbilang baru di jagad raya per-film-an Indonesia. Perubahan konteks dan konten Gundala dari tahun 1960-an ke 2019 menjadi satu hal yang unik untuk dibahas karena kaitannya yang erat dengan kebudayaan Jawa. 

Hasmi menciptakaan karakter Gundala karena terinspirasi dari Ki Ageng Selo yang dapat menangkap petir. Menurut sumber Historia.id menjelaskan bahwa Ki Ageng Selo adalah orang Jawa (Kerajaan Demak waktu itu) yang mempunyai keturunan Brawijaya (Raja terakhir Majapahit). 

Prabu Brawijaya, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira, mempunyai anak bernama Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo merupakan cucu dari Bondan Kejawen. 

Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke- 16. Beliau lahir sekitar akhir abad 15. Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak. 

Nama Ki Ageng Selo diambil dari salah satu desa di daerah Jawa Tengah, tepatnya di kabupaten Grobogan desa Selo. Dalam hal ini, artinya bahwa inspirasi gundala oleh komikus Hasmi original dari Indonesia dengan mengangkat budaya Jawa. Faktor ekonomi pada masa tahun 1970 an yang akhirnya hanya sampai pada komik saja, tanpa bisa dibuat menjadi film. 

Narasi dalam komik gundala edisi Hasmi di filmkan di era milenial oleh sutradara Joko Anwar. Ada beberapa instrument yang akhirnya diganti oleh Joko Anwar, contohnya kostum Gundala, pakaian yang dipakai Sancaka, dan background dari film gundala itu sendiri.

Menariknya, di akhir film menunjukkan konektisitas masa kini dan masa lampau. Film ini menggunakan sedikit budaya Jawa sebagai medianya. Adalah ketika Ghani Zulham (Ario Bayu) membangkitkan Ki Wilawuk (Sujiwo Tejo) menggunakan tetesan darah Gundala, dibalik tembok bertuliskan aksara Jawa. 

Mereka pun berbicara menggunakan bahasa Jawa klasik yang mungkin kebanyakan orang tidak tahu. Apakah mungkin itu menjadi sinyal bahwa akan ada film selanjutnya yang menghubungkan Gundala dengan legenda kuno. 

Representasi budaya Jawa dalam film ini memang sungguh luar biasa. Banyak instrumen dari budaya yang sebelumnya terlupakan dinaikan kembali sehingga dapat diminati oleh semua kalangan masyarakat. 

Meskipun masih ada kekurangan dalam film gundala ini seperti awal dari cerita ini cukup membosankan dan terkadang alurnya pun cukup membingungkan. Namun, ada rasa bangga ketika saya menonton ini karena saya juga disuguhkan dengan cinematic dan visual effect yang luar biasa keren. 

 Delfa Ghifari Zulyanda, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun