Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Transformasi Ludruk: Keterlibatan Politik, Hegemoni Negara, dan Strategi Survival

9 Februari 2023   00:02 Diperbarui: 19 Februari 2023   09:22 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Sukarno bahagia menonton ludruk Marhaen di Istana Negara. Sumber: Historia/Perpusnas

Namun demikian, dalam konteks industri kreatif, pilihan tersebut dapat dimaklumi karena merekam pertunjukan ludruk berarti memberikan penghasilan tambahan bagi seniman ludruk dari pembayaran akad. Dalam setiap kontrak, umumnya untuk dua kali shooting, Karya Budaya mendapat 25 juta rupiah dan pembayaran ini akan dibagi kepada 60 anggota secara proporsional. 

Proses shooting pertunjukan ludruk Karya Budaya. Dokumentasi  penulis
Proses shooting pertunjukan ludruk Karya Budaya. Dokumentasi  penulis

Selain itu, distribusi VCD dapat menjangkau khalayak yang lebih luas, dari kota ke desa, dan dapat menarik beberapa dari mereka untuk mengundang kelompok untuk ritual keluarga atau komunal mereka. 

Namun pertunjukan langsung masih menjadi orientasi utama kelompok ludruk karena seniman dapat mengalami komunikasi langsung dan dinamis dengan penonton, sehingga akan mendapatkan kepuasan psikologis yang berbeda. Selain itu, secara ekonomi, banyak pertunjukan langsung berarti lebih banyak uang bagi mereka.

Simpulan

Dalam proses sejarahnya, ludruk, melalui anggota dan pengurusnya yang kreatif, telah menggunakan transformasi sebagai strategi untuk bertahan dalam kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang rumit. 

Di era rezim Soekarno, ketika ideologi revolusioner yang berpedoman pada demokrasi menjadi praktik dan formasi diskursif yang dominan, banyak kelompok dan seniman ludruk yang terlibat dalam Lekra karena lembaga ini berkomitmen untuk memberdayakan budaya proletar. 

Keterlibatan politik-ideologis ini, memang, bisa saja menjadikan ludruk sebagai kesenian rakyat yang bermartabat dan kritis, tetapi juga membawa mereka pada kesengsaraan. Pada masa Orde Baru, pertunjukan ludruk mengalami titik balik dalam proses transformatifnya. 

Sejak awal hingga pertengahan periode, banyak kelompok ludruk yang hadir di ranah budaya dengan mentransformasikan dan menegosiasikan wacana ideologi negara tentang nasionalisme dan pembangunan nasional sebagai cara untuk melahirkan dan mendistribusikan kekuatan hegemonik di kalangan massa. 

Namun, popularitas mereka menurun drastis akibat pembangunan pesat yang menyebabkan perubahan selera budaya penduduk desa. Runtuhnya banyak kelompok ludruk pada pertengahan hingga akhir 1990-an juga berkontribusi pada berkurangnya kesepakatan konsensual publik terhadap rezim Orde Baru karena wacana ideologi mereka tidak dapat lagi menjangkau massa melalui ludruk.

Pada era 2000-an, banyak kelompok ludruk yang menemukan persoalan yang lebih pelik dalam melanjutkan proses kreatifnya. Beberapa masalah internal yang serius dan persaingan yang semakin ketat dengan materi tekno-kultural yang diproduksi oleh industri kapitalis besar membuat banyak seniman dan pengelola ludruk menyerah dan menghentikan pertunjukan mereka. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun