Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Politik Identitas sebagai Gerakan Kultural Kelompok Marjinal

5 Januari 2023   10:57 Diperbarui: 5 Januari 2023   13:05 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demonstrasi kelompok pribumi Ekuador tahun 2019. Sumber: Reuters

Sebagai kajian dan gerakan, politik identitas yang tumbuh sejak era 1960-an telah mencapai populeritas akademis yang luas. Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya buku dan artikel jurnal yang membahas persoalan ini. Meskipun demikian, dalam konteks Indonesia masih relatif sedikit. 

Akibatnya, banyak salah tafsir terhadap makna dan gerakan politik identitas sebagai sesuatu yang negatif. Dampaknya, banyak wacana stigmatik terhadap politik identitas. Bahkan, banyak kalangan, khususnya pemerintah dan elit nasional, yang menghimbau agar warga Indonesia tidak memainkan politik identitas dalam hajatan Pemilu 2024. 

Saya menduga, mereka tidak memiliki cukup informasi tentang sejarah dan kepentingan dalam politik identitas. Mereka hanya melihat mobilisasi agama dan etnisitas dalam beberapa proses politik di tanah air demi kepentingan elit tertentu sebagai politik identitas yang merugikan kepentingan bangsa. 

Memang benar, beberapa gerakan politik juga memobilisasi identitas agama atau etnis untuk menyukseskan kepentingan elit tertentu, tetapi itu bukan apa yang dikehendaki oleh politik identitas. Dalam sejarah kelahirannya, politik identitas berpihak kepada kepentingan kaum atau komunitas minoritas dan marjinal.

Berdasarkan realitas di atas, melalui tulisan ini saya akan menjabarkan konsep dan kepentingan yang diusung politik identitas. Ini menjadi urgen agar kesalahpahaman tentang politik identitas di tanah air tidak semakin menjadi sehingga mengerdilkan dan menegatifkan gerakan berbasis identitas agama, budaya, etnis, dan yang lain untuk kepentingan kelompok marjinal.

Memahami Politik Identitas 

Sebagai perspektif teoretis, politik identitas yang berkembang mulai era 1960-an membangun konsepsi-konsepsinya dari realitas gerakan kultural yang dilakukan oleh komunitas-komunitas marjinal berbasis gender, ras, etnis, agama maupun bangsa dalam menghadapi kekuatan-kekuatan dominan dalam kehidupan mereka. 

Dalam konteks etnis, mereka biasanya mengalami pembedaan dalam hal ekonomi, kultural, maupun politik dibandingkan dengan etnis lain yang lebih dominan. Inilah yang kemudian memunculkan istilah "minoritas etnis". 

Menurut Deschenes (dikutip dalam Alia & Bull, 2005: 2), minoritas etnis memiliki keberbedaan budaya, bahasa, atau, dalam kasus tertentu, praktik beragama, dibandingkan etnis-etnis lain yang lebih dominan. 

Demonstrasi melawan rasisme. Sumber:https://www.polsci.ucsb.edu/research/politics-identity
Demonstrasi melawan rasisme. Sumber:https://www.polsci.ucsb.edu/research/politics-identity

Biasanya mereka memiliki kekuatan kolektif, solidaritas, dan kehendak komunal untuk bisa survive di tengah-tengah kehidupan bernegara dan bersama-sama memperjuangkan kesamaan dalam segala bidang kehidupan.

Senjata utama yang mereka gunakan adalah bahwa terdapat inti identitas yang mengikat komunitas yang bisa dimobilisasi secara esensial untuk kepentingan-kepentingan politis tertentu, identity based political position (Gupta, 2007: 23). 

Dougan (2005) mengungkapkan beberapa karakteristik dari esensialisme kultural. Pertama, menganggap adanya sebuah inti dari unsur-unsur sebuah budaya. Kedua, berlangsung terus-menerus, dalam artian mampu melintasi ruang dan waktu. Ketiga, menstabilkan identitas kultural yang sebenarnya tidak stabil dan menyederhanakan asal-usul yang menyatu dari pengalaman hidup. 

Keempat, menyediakan batasan-batasan yang permanen, jelas, dan mendalam bagi pembedaan-pembedaan sosial. Konsepsi-konsepsi tersebut menegaskan adanya usaha untuk mengutuhkan-kembali karakteristik identitas yang dimiliki sebuah masyarakat atau komunitas di tengah-tengah realitas perubahan sosial dan ekonomi yang berlangsung.

Pengutuhan-kembali identitas kultural merupakan salah satu ciri dari gerakan politik identitas yang menegaskan pentingnya mobilisasi simbol, nilai, kekuatan dan praktik kultural serta kesejarahan demi mewujudkan tujuan-tujuan ideal dengan cara berkontestasi terhadap kekuatan-kekuatan yang berusaha mendominasi sebuah komunitas atau masyarakat. 

Dalam arus besar kebudayaan, bentuk dan nilai budaya kaum minoritas atau marjinal biasanya diliyankan atau dikalahkan atas nama kebenaran dan kuasa kelompok dominan.

Linda Nicholson(2008) menjelaskan politik identitas sebagai gerakan politik yang muncul dan berkembang dari pengalaman kelompok "yang dibedakan" dari kelompok atau komunitas mayoritas dalam sebuah negara. 

Pembedaan yang berlangsung dalam ranah kultural, bahasa, agama, ekonomi, maupun politik memunculkan kesadaran komunal dair kelompok minoritas dan marjinal untuk lebih memahami, memaknai, dan memaksimalkan potensi keberbedaan sebagai kekuatan untuk melakukan gerakan-gerakan politis. 

Melalui kesadaran identitas itulah mereka berbagi solidaritas, pola, dan tujuan komunal yang menjadi basis bagi perjuangan-perjuangan untuk melakukan perubahan terhadap sistem sosial, politik, dan ekonomi yang tidak memberikan keuntungan bagi eksistensi mereka (Appiah, 2005). 

Sebagai kekuatan komunal, identitas kultural memang cukup efektif untuk mengikat dan mengintegrasikan beragam anggota sebuah komunitas ke dalam sebuah konstruksi kelompok yang memiliki persamaan nasib dan sejarah.

Meskipun realitas kontemporer menunjukkan ketidakmungkinan untuk mengesensialisasikan sebuah budaya etnis karena pengaruh bermacam budaya luar yang sudah semakin biasa dalam konteks globalisasi dan media-isasi, setidaknya nilai dan kultural yang masih ada dalam komunitas tetap memegang peranan penting sebagai elemen penting dalam gerakan politik identitas. 

Para perempuan Indian menuntut keadilan. Dokumentasi: Oriana Elicabe/Creative Commons
Para perempuan Indian menuntut keadilan. Dokumentasi: Oriana Elicabe/Creative Commons

Hal itu menjadi mungkin karena dalam identitas itu sendiri, sebagaimana dijelaskan Moya (2006: 97-98), terdapat dua kompenen yang saling berdialektika. Pertama, komponen askriptif atau yang biasa disebut "kategori sosial" atau identitas yang dipaksakan (imposed identity). Identitas askriptif bersifat historis, kolektif, secara umum bisa dikenali, serta bisa menjadi pembeda. 

Lebih dari itu, identitas ini berkaitan erat dengan distribusi secara selektif kebutuhan sosial dan sumber daya. Kedua, identitas subjektif atau biasa disebut subjektivitas, yakni merujuk kepada makna individual kita terhadap diri, eksistensi dalam diri kita, pengalaman hidup kita manakala menjadi diri. 

Subjektivitas juga mengimplikasikan beragam tindakan kita untuk mengidentifikasi-diri dan melibatkan pemahaman terhadap diri kita dalam hubungannya dengan diri-diri yang lain. 

Dengan kata lain, identitas subjektif berkaitan dengan kepribadian, menunjukkan preferensi nilai dan moral,dan mengarahkan diri kita ke dalam kategori sosial dan kultural tertentu. Maka, meskipun identitas subjektif bersifat personal, keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial dan budaya seseorang.

Kritik terhadap Politik Identitas

Memang, politik identitas menjadi kekuatan politiko-kultural yang sangat populer pada masa kini, tetapi eksistensinya juga tidak lepas dari kritik. Politik identitas seringkali digunakan kelompok etnis, agama, ataupun ras tertentu bukan  untuk melakukan pembelaan dan pemberdayaan budaya yang ada, tetapi lebih sering digunakan untuk kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik tertentu. 

Di Indonesia, misalnya, kita bisa melihat bagaimana kaum elit di daerah menggunakan identitas komunal untuk mewujudkan hasrat politik dan ekonomi mereka, seperti dalam pemilihan kepala daerah. 

Dalam tataran ideal, gerakan masyarakat lokal merupakan usaha strategis untuk terus menegosiasikan kekayaan dan kekuatan kultural mereka di tengah-tengah hegemoni budaya modern serta pengaruh budaya masyarakat etnis lain sebagai sisa-sisa paradigma pembangunan di masa Orde Baru. 

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan berlangsungnya tegangan ataupun konflik dalam masyarakat lokal karena ketidaksamaan akses terhadap keuntungan yang dihasilkan dari gerakan tersebut. Selain itu, sangat mungkin pula berlangsung pembajakan politik identitas oleh elit-elit lokal yang mengatasnamakan diri mereka sebagai representasi masyarakat. 

Dalam beberapa kasus yang berlangsung di luar Jawa, sebagaimana yang sudah dikaji oleh para peneliti dari Barat dan sedikit peneliti dari Indonesia, beberapa gerakan masyarakat adat dan otonomi daerah ternyata telah dibajak oleh elit-elit lokal (Davidson, Hanley, & Moniaga [ed], 2010, Nordholt, Schulte & van Klinken [ed], 2009).

Arak-arakkan komunitas pribumi Ekuador melawan pertemuan perdagangan bebas. Sumber: https://library.brown.edu/
Arak-arakkan komunitas pribumi Ekuador melawan pertemuan perdagangan bebas. Sumber: https://library.brown.edu/

Apa yang terjadi dalam kasus-kasus tersebut merupakan "pembajakan terhadap gerakan politik identitas" atau politisasi identitas karena para elit memahami bagaimana masyarakat yang memiliki kesamaan identitas agama dan budaya mudah sekali disulut untuk mendukung kepentingan mereka. Inilah yang sering menimbulkan salah sangka dan tuduhan stigmatik terhadap politik identitas.

Gimenez (2006: 431-432) melontarkan beberapa kritik terhadap penggunaan politik identitas dewasa ini. Pertama, politik identitas, sebagai ideologi dan praktik, mengaburkan persoalan kelas sebagai sumber pengalaman dan permasalahan bersama, membuka dan menutup kesempatan-kesempatan edukasional, sosial, dan ekonomi. 

Kedua, kebersamaan dalam komunitas seringkali mentransendenkan perbedaan rasial, etnik, dan kultural serta bisa menjadi basis bagi mobilisasi dan pengorganisasian kolektif dalam latar yang beragam, seperti ketetenggaan, sekolah, komunitas, dan tempat kerja. 

Memang, politik identitas menjadikan orang dengan perbedaan historis dan keturunan mengalami kesamaan secara kultural, namun kondisi material dan kebutuhannya tidak pernah serupa. Sebagai contoh, minoritas etnik kelas pekerja, khususnya dari strata miskin, membutuhkan pelatihan kerja, pekerjaan layak, rumah terjangkau, perawatan kesehatan, dan lain-lain. 

Karena politik identitas tidak pernah berdasarkan pada kondisi-kondisi struktural yang menghasilkan kepentingan objektif, seperti kelas, ia bisa menjadi senjata ideologis bagi semua kepentingan politik: menggiring orang dengan kesamaan kepentingan untuk melawan yang lain, mengaburkan kondisi-kondisi bagi kerjasama dan penerimaan potensial bagi kekuatan politik. 

Lebih dari itu, politik identitas bisa digunakan kelas dominan dan identitas dominan untuk mengklaim opresi dan eksklusi dengan kebijakan-kebijakan dini yang ditujukan untuk menata kembali pengaruh dari ketidaksamaan, melalui klaim "diskriminasi berbalik" dan "pembenaran politik."

Kelompok supremasi kulit putih di Amerika Serikat (AS), misalnya, melakukan gerakan identitas untuk menunjukkan posisi dominan mereka dalam sejarah dan pemerintahan. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS tidak lepas dari politisasi identitas kulit putih, sehingga kebijakan yang ia buat lebih menguntungkan kelompok dominan.

Terlepas dari kritik-kritik di atas, banyak gerakan sosial-politik minoritas etnis/ras/gender/kelas yang dilakukan dengan menggunakan politik identitas berbasis mobilisasi budaya khas mereka. 

Mereka berusaha menegosiasikan dan memperjuangkan hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan kultural kepada rezim negara yang dianggap telah me-liyan-kan komunitas mereka dalam proses berbangsa dan bernegara dengan memobilisasi identitas esensial (West-Newman, 2004; Thornberry, 2002; Harvey, 2005). 

Mereka juga menegaskan keberbedaan kultural mereka di tengah-tengah negara multikultural agar eksistensi mereka diakui (Anthias, 2002; Jimenez, 2004; Da Silva, 2005; Hopkins, 2007). 

Bahkan, dalam perkembangan kontemporer, anggota dari komunitas etnis partikular berusaha menegosiasikan, mewacanakan, menyebarluaskan, dan memperluas ikatan identitas mereka melalui media sosial internet (Franklin, 2003). 

Meskipun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa politik identitas juga seringkali menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap etnis atau ras lain dalam sebuah negara (Hintjens, 2001) serta menegaskan superioritas etnis dominan dalam kehidupan multikultural (Anagnostou, 2009; O'Neill, 2003). 

Dalam kasus Indonesia, tentu kita masih ingat bagaimana mobilisasi identitas Dayak dan Madura telah menyulut konflik antar-etnis di Sampit, Kalimantan. Yang diuntungkan, tentu saja, para elit yang berkepentingan.

Politik Identitas Berbasis Konstruksi Sosial dan Esensialisme Strategis

Sebagai antitesis terhadap esensialisme kultural, paradigma politik identitas berbasis konstruksi sosial juga berkembang dewasa ini. Terdapat beberapa asumsi yang dibangun. Pertama, terbentuknya identitas bukanlah sesuatu yang terberi, tetap, dan mapan sepanjang masa tanpa melalui proses sosial dalam konteks historis partikular.

Kedua, identitas mampu mengikat anggota komunitas dalam solidaritas, rasa hormat dan bangga, kesetiaan, dan harapan karena berlangsungnya proses konstruksi sosial dalam beragam wujud dan praktiknya serta dilakukan dari generasi ke generasi, sehingga tampak sebagai sesuatu yang alamiah (Gupta, 2007: 27-28). 

Demonstrasi Black Lives Matter di London, 2016. Dokumentasi: Alisdare Hickson/Flickr
Demonstrasi Black Lives Matter di London, 2016. Dokumentasi: Alisdare Hickson/Flickr

Konsep ini pada dasarnya masih memunculkan bias esensial karena meskipun mengutamakan berlangsungnya proses konstruksi sosial, identitas masih diposisikan melekat dan mengikat subjektivitas masyarakat tanpa menekankan pada dialektika dengan perubahan zaman. 

Selain itu, konstruksi sosial model ini masih cenderung mengabaikan persoalan kekuasaan elit dalam politik identitas sebuah komunitas serta melupakan berlangsungnya pertemuan dengan budaya dan ideologi luar.

Paradigma konstruksi sosial yang lebih sesuai dengan konteks perubahan zaman adalah konsep yang dilontarkan oleh Hall (1996). Identitas kultural merupakan persoalan 'menjadi' sepertihalnya 'mengada'. Ia bukanlah sesuatu yang sudah eksis, mentransendenkan tempat, waktu, sejarah, dan budaya. 

Memang, identitas kultural berasal dari sebuah tempat dan memiliki sejarah (mengada). Namun, ia juga mengalami transformasi konstan. Jauh dari mengada yang abadi, tetap dan pasti dalam beberapa masa lampau yang esensialis, identitas adalah subjek bagi 'permainan' yang berlanjut dari sejarah, budaya, dan kuasa (menjadi). 

Identitas adalah nama-nama yang kita berikan pada cara-cara berbeda bagaimana kita diposisikan oleh, dan memosisikan diri kita ke dalam narasi-narasi masa lampau serta bagaimana kita diposisikan dan memosisikan diri dalam kehidupan kontemporer. 

Artinya, identitas adalah perjuangan untuk memosisikan dan diposisikan dalam kompleksitas kultural, ekonomi, dan politik yang menjadi warna dominan dalam sebuah komunitas di masa kini yang ditandai dengan percepatan segala aspek kehidupan (Grossberg, 1996).

Dalam konteks tersebut, politik identitas dipahami dalam kerangka yang menandakan kedinamisan dalam identitas kultural seseorang atau komunitas tertentu. 

Bahwa identitas kultural asal atau kolektif memang masih ada, tetapi percampuran dengan pengaruh-pengaruh kultur lain menjadikan identitas kultural sangat dinamis dan transformatif karena ia merupakan bagian dari sejarah, budaya, dan kuasa yang seringkali menyisakan atau memformat-ulang kedirian kultural seseorang atau komunitas. 

Pengaruh-pengaruh yang dihadirkan oleh proses historis, baik dalam konteks kolonial, pascakolonial, maupun globalisasi, seringkali menjadikan karakter kultural seorang subjek atau komunitas mengalami transformasi secara terus-menerus dan menentukan kedirian dan referensi-referensi kultural yang lebih diminati dan diimpikan, meskipun tanpa melupakan identitas asalnya.

Artinya, politik identitas memang tetap bisa dilakukan dengan mengusung dan memobilisasi karakteristik esensial kultural sebuah komunitas, tetapi bukan berarti membiarkan elemen-elemen feodal dan elitis menguasainya, sehingga perlu juga proses apropriasi terhadap pengaruh-pengaruh luar yang mampu menggerakkan dan memberdayakan komunitas dalam konteks demokratis. 

Inilah yang menjadi ciri politik identitas sebagai gerakan sosial baru yang melibatkan partisipasi anggota komunitas dalam prinsip untuk memperoleh kesetaraan dan keberdayaan sebagaimana yang didapatkan oleh komunitas-komunitas lain yang lebih dominan (Rosaldo, 2006). 

Politik identitas ini tidak memaksakan untuk mempertahankan kemurnian identitas secara menyeluruh yang cenderung membiarkan berlangsungnya kekuasaan elit-elit lokal-feodal dalam gerakan tersebut. Dampaknya, gerakan identitas akan mudah dibajak oleh kekuatan elit dalam komunitas.

Kalau kekuasaan tersebut dipertahankan, maka politik identitas sama saja dengan kolonialisasi internal yang hanya menguntungkan elit-elit tertentu dan membiarkan ketidakadilan sosial terus berlangsung.

Dengan kata lain, ada kesadaran politiko-kultural yang lebih modern (dalam artian memberdayakan semua anggota komunitas, bukan hanya kelas elitnya) ditengah-tengah kesadaran budaya esensisal dalam politik identitas. Konsepsi gerakan seperti itulah yang oleh Spivak dinamakan esensialisme strategis (dikutip dalam Morton, 2007: 126).

Jika seseorang menimbang strategi, maka ia harus melihat di mana sebuah kelompok (orang, orang-orang, ataupun gerakan) disituasikan ketika ia membuat klaim-klaim untuk atau melawan esensialisme. Sebuah strategi menyesuaikan dengan situasi; sebuah strategi bukanlah teori....

Kegunaan strategi esensi sebagai slogan atau kata-utama yang dimobilisasi seperti perempuan atau pekerja atau nama bangsa secara ideal menjadi kesadaran-diri bagi mereka yang dimobilisir.

Mengikuti pemikiran di atas, Setiawan (2012) menjelaskan bahwa mobilisasi  identitas kutlural secara strategis memang bisa digunakan untuk menghadapi pengaruh ragam budaya dan kuasa asing yang masuk ke dalam sebuah komunitas. Namun, "kesadaran-diri" dari semua subjek sangat dibutuhkan agar esensialisme kultural tersebut bisa berhasil. 

Fase kesadaran-diri tersebut membutuhkan keliatan dan kecerdasan untuk menjadikan "yang esensial" sebagai formasi dan praktik diskursif yang mampu menggerakkan kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain itu, kearifan lokal juga perlu terus dibaca-ulang agar bisa menemukan pemaknaan-pemaknaan baru yang bersifat transformatif dan tidak sekedar menguntungkan para elit. 

Dengan kata lain, dalam politik identitas etnis sangat dibutuhkan kesadaran komunal berbasis kritik dan evaluasi secara ajeg yang tidak hanya melibatkan elit-elit lokal, tetap segenap anggota komunitas, sehingga kehadirannya sebagai gerakan politiko-kultural bisa memberdayakan kehidupan komunitas.

Catatan Penutup

Beragam realitas terkait aspek positif dan negatif dari politik identitas menegaskan betapa sebagai kajian ia memiliki karakteristiknya sendiri sehingga semakin memperkaya kajian sosial, politik, humaniora, dan budaya dalam ranah akademik global. Dalam hal gerakan, politik identitas juga menjadi kekuatan di banyak komunitas ketika mereka berhadapan dengan kelompok dominan. 

Dalam banyak kasus masyarakat/komunitas adatatau pribumi yang terancam eksistensinya akibat eksploitasi lingkungan tempat hidup mereka oleh industri pertambangan dan perkebunan, mereka bisa memobilisasi kesamaat budaya dan agama untuk mempertahankan lingkungan dan kehidupan mereka. Di banyak negara Amerika Latin, politik identitas seperti itu banyak berlangsung. 

Artinya, politik identitas harus dipahami sebagai gerakan politik berbasis mobilisasi etnis, budaya, agama, dan yang lain untuk kepentingan komunitas marjinal yang akan dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan dominan. Jadi, pemerintah dan elit nasional tidak lagi mengatakan bahwa politik identitas itu jelek. Apa yang mereka takutkan terjadi adalam "politisasi identitas" oleh kalangan elit. 

Kalau ada kecenderungan pembajakan politik identitas untuk kepentingan elit tertentu, di situlah Negara perlu hadir secara tegas, tidak perlu takut karena ancaman mayoritas tertentu. Dengan demikian, warga negara juga akan tahu siapa yang menjalankan politik identitas dan siapa yang membajak atau mempolitisasi identitas. 

Daftar Bacaan

Alcoff, Linda Martin & Satya P. Mohanty. 2006. "Reconsidering Identity Politics: An Introduction." Dalam Linda Martin Alcoff, Michael Harmes-Garcia, Satya P. Mohanty, & Paula M.L. Moya (eds). Identity Politics Reconsidered. Hampshire (UK): Palgrave Macmillan.

Alia, Valerie & Simmon Bull. 2005. Media and Ethnic Minorities. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Anagnostou, Yiorgos. 2009. "A critique of symbolic ethnicity: The ideology of choice?". Ethnicites, Vol 9(1): 94-140.

Anthias, Floya. 2002. "Where do I belong?: Narrating collective identity and translocational positionality." Ethnicities,Vol 2(4): 491-514.

Appiah, Kwame Anthony. 2005. The Ethics of Identity. New Jersey: Princenton University Press.

Da Silva, Denise Ferreira. 2005. "'Bahia Pelo Negro': Can the subaltern (subject of reality) speak?" Ethnicities, Vol 5 (2): 321-342.

Davidson, Jamie S., David Hanley, & Sandra Moniaga (ed). 2010. Adat dalam Politik Indonesia. (Alih bahasa E.O. Kleden & Nina D). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia & KITLV-Jakarta.

Dougan, Henry. 2005. "Hybridization: Its Promise and Lack of Promise". CODESRIA Bulletin, Nos 1 & 2.

D'Cruz, Carolyn. 2008. Identity Politics in Deconstruction: Calculating with the Incalculable. Hampshire: Ashgate Publishing Limited.

Franklin, Marianne I. 2003. "I define my own identity: Pacific articulation on 'race' and 'culture' on the internet." Ethnicities, Vol 3(4): 465-490.

Gimenez, Martha E. 2006. "With a little class: A critique of identity politics." Ethnicities, Vol 6(3): 423-439.

Grossberg, Lawrence. 1996. "Identity and Cultural Studies: Is That All There Is?" Dalam Stuart Hall & Paul du Gay (eds). Questions of Cultural Identity. London: Sage Publications.

Gupta, Suman. 2007. Social Constructionist Identity Politics and Literary Studies. Hampshire (UK): Palgrave Macmillan.

Hall, Stuart. 1996. "Introduction: Who Needs 'Identity'?". Dalam Stuart Hall & Paul du Gay (eds). Questions of Cultural Identity. London: Sage Publications.

Harvey, David. 2005. "Class Relations, Social Justice, and the Politics of Difference". Dalam Michael Ketih & Steve Pile (ed). Place and the Politics of Identity. New York: Routledge.

Hintjens, Helen M. 2001. "When identity becomes a knife: Reflecting genocide in Rwanda. Ethnicites,Vol 1(1): 25-55.

Hopkins, Peter. 2007. "'Blue squares, 'proper' Muslims and transnational networks: Narratives of national and religious identities amongst young Muslim men living in Scotland. Ethnicities, Vol 7 (1): 61-81.

Jimenez, Tomas R. 2004. "Negotiating ethnic boundaries: Multiethnic Mexican Americans and ethnic identity in the United States. Ethnicities, Vol 4(1): 75-97.

Morton, Stephen. 2007. Gayatri Spivak. London: Routledge.

Moya, Paula M.L. 2006. "What's Identity Got to Do with It?: Mobilizing Identities in Multicultural Classroom." Dalam Linda Martin Alcoff, Michael Harmes-Garcia, Satya P. Mohanty, & Paula M.L. Moya (eds). Identity Politics Reconsidered. Hampshire (UK): Palgrave Macmillan.

Nicholson, Linda. 2008. Identity Before Identity Politics. Cambridge: Cambridge University  Press.

Nordholt, Henk Schulte & Gerry van Klinken (ed). 2009. Politik Lokal di Indonesia. (Alih bahasa Bernard Hidayat). Jakarta: Yayasan Obor.

O'Neill, Shane. 2003. "Justice in ethnically diverse societies: A critique of political alienation". Ethnicities, Vol 3(3): 369-392.

Rosaldo, Renato. "Identity Politics: An Ethnography by a Participant". Dalam Linda Martin Alcoff, Michael Harmes-Garcia, Satya P. Mohanty, & Paula M.L. Moya (eds). Identity Politics Reconsidered. Hampshire (UK): Palgrave Macmillan.

Sawyer, Paul. 2006. "Identity as Calling: Martin Luther King on War". Dalam Linda Martn Alcoff, Michael Hames-Garca, Satya P. Mohanty, & Paula M. L. Moya (eds). Identity Politics Reconsidered. New York: Palgrave Macmillan.

Setiawan, Ikwan. 2012. "Budaya Nasional di Tengah Pasar: Konstruksi, Dekonstruksi, dan Rekonstruksi". Kawistara, Vol 2 (1): 58-72.

Thornberry, Patrick. 2002. "Minority and indigenous rights at 'the end of history'". Ethnicities, Vol 2 (4): 515-537.

West-Newman, Catherine Lane. 2004. "Anger, ethnicity, and claiming identity". Ethnicities, Vol 4(1): 27-52.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun