Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Satir Normalisasi Korupsi dalam Monolog "Koruptor Budiman"

16 Juli 2022   00:59 Diperbarui: 18 Juli 2022   17:45 6170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Kompas/Didie SW)
Ilustrasi (Kompas/Didie SW)

Maka, ketika uang negara dikorupsi dan dibagi-bagikan kepada masyarakat secara "adil dan merata". Logika inilah yang, sekali-lagi, memporak-porandakan nalar intelektual para mahasiswa dalam memahami masalah korupsi. Bahwa terdapatk kompleksitas yang tidak bisa diselesaikan secara singkat, karena berkaitan dengan formasi wacana dan praksis dalam masyarakat yang sudah dianggap kebenaran. 

Di sinilah, kita bisa menemukan sebuah tantangan untuk kaum akademisi dan aktivitas anti korupsi agar lebih jeli melakukan penelitian tentang praktik korupsi, sehingga apapun aksi yang mereka lakukan bisa setidaknya mengingatkan publik akan bahaya kejahatan extra ordinary itu.

Tanpa kajian serius yang melibatkan penelitian lapangan ataupun pustaka, kita akan terus menemukan logika diskursif para koruptor yang sudah berbuat banyak untuk kehidupan rakyat, penegak hukum, aparatur sipil negara, dan yang lain. Wacana "adil dan makmur" sebagaimana dilontarkan si perempuan koruptor, bisa menjadi reasoning untuk memainkan isu-isu ideologis kebangsaan dan kenegaraan yang lebih luas.

"Itu namanya korupsi yang adil dan beradab, sesuai Pancasila. Atau biar terdengar lebih trendy: itulah prinsip demokrasi dalam korupsi. Sesuai trias politica, dalam demokrasi mesti ada distribusi kekuasaan yang sama antara eksekutif-legislatif-judikatif. Korupsi yang demokratis pun begitu: eksekutif-legislatif-judikatif dapat kesempatan dan keuntungan yang sama. 

Korupsi ibarat lokomotif demokrasi yang membawa gerbong-gerbong keuntungan dan semua orang berebut ingin naik menikmati. Karena itulah, memberantas korupsi sama saja menggulingkan gerbong-gerbong demokrasi. Itu berbahaya. Bisa menimbulkan keonaran para demonstran bayaran. Sebagai koruptor yang baik, tentu saja saya tak ingin itu terjadi. Saya koruptor cinta damai.''

Setelah memobilisasi argumen kemanusiaan, keagamaan, dan kebangsaan, kini si koruptor memainkan kecanggihan nalarnya dalam hal Pancasila dan demokrasi. Korupsi yang adil dan beradab diposisikan sebagai praktik yang sesuai dengan Pancasila, khususnya sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. 

Membawa masuk praktik korupsi ke keyakinan ideologis bangsa ini, tentu cukup berani. Namun, nalar kreatif koruptor bisa saja menembus bermacam kemungkinan. Dan, pertunjukan monolog ini dengan jeli memotretnya. Pancasila tentu memerintahkan pemerintah dan semua warga negara berbuat adil dan berperilaku beradab. Tuntutan etis tersebut memang menjadi fondasi ideal untuk mewujudkan cita-cita hidup bersama dalam naungan NKRI. 


Ilustrasi (Kompas/Didie SW)
Ilustrasi (Kompas/Didie SW)

Masalahnya, sampai saat ini, cita-cita hidup bersama yang dilimpahi kesejahteraan belum menjadi kenyataan. Maka, ketika para koruptor bisa memberikan sedikit uang untuk membantu kehidupan mereka yang membutuhkan, pada titik itulah, mereka bisa mengatakan telah melakukan korupsi berdasarkan nilai-nilai Pancasila; koruptor 'Pancasilais'.

Lebih berani lagi, ketika si koruptor menghubungkan secara berani praktik korupsi yang ia jalani dengan demokrasi yang dipilih oleh Republik ini. Baginya, korupsi yang demokratis adalah korupsi yang bisa dirasakan oleh mereka yang berada dalam ranah eksekutif-legiskatif-yudikatif. Ini tentu sudah menjadi rahasia umum. 

Aparat penegak hukum, baik dari kepolisian, pengadilan, dan kejaksaan, yang semestinya membantu KPK untuk memberantas dan mencegah korupsi banyak tersangkut kasus korupsi (Azis, 2017). Dari pihak eskekutif, jumlah yang tersangkut korupsi pun cukup memprihatinkan. Tidak hanya berasal dari menteri dan arapatnya, tetapi juga kepala daerah (Gerintya, 2018). 

Jumlah koruptor dari legislatif lebih mencengangkan lagi. Sejak berdiri hingga tahun 2018, sudah tercatat 220 wakil rakyat terjerat kasus korupsi (Irawan, 2018). Semua fakta itu mengindikasikan bahwa korupsi sudah menjadi tradisi dalam institusi sebagai 'trias politica' yang seharusnya menjamin keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun