Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Satir Normalisasi Korupsi dalam Monolog "Koruptor Budiman"

16 Juli 2022   00:59 Diperbarui: 18 Juli 2022   17:45 6170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, rasionalisasi kritis demikian dimentahkan oleh si perempuan koruptor dengan nada sinis: bahwa koruptor adalah "aset bangsa". Beberasa alasan yang ia gunakan adalah bahwa korupsi "menggerakkan roda perekonomian", "uang jadi terdistribusi", dan "terjadi pemerataan". Semua ungkapan tersebut merupakan aspek efektifitas ekonomi yang terjadi ketika korupsi berlangsung, baik di tingkat nasional maupun regional. 

Logikanya adalah bahwa dengan korupsi yang melibatkan "kongkalikong" antara pejabat negara dengan individu dan swasta, uang anggaran segera bisa dicairkan dan proyek-proyek pembangunan segera bisa dikerjakan. Para kontraktor akan bisa segera membeli bahan bangunan, misalnya, kepada toko bangunan yang mempekerjakan banyak buruh. 

Proyek segera dibangun dengan melibatkan banyak buruh pula.  Dengan demikian, roda ekonomi bisa bergerak dengan baik, sehingga manfaat ekonominya bisa dirasakan semua pihak, dari sumber korupsi hingga buruh. Reasoning "uang jadi terdistribusi" dan "terjadi pemerataan" memenuhi azas kepatutan.

Argumen Fadli Zon memang dilontarkan untuk membuat komparasi masa lalu, Orde Baru, dan masa kini, pasca Reformasi. Pada masa Orde Baru, tindakan yang kini dikatakan korupsi (penyediaan dana non budgeter) justru bisa mengerakkan pembangunan. Logika ini jelas digunakan untuk melegitimasi praktik-praktik yang Kalau kita kaitkan dengan kondisi kontekstual, kita dengan mudah menemukan ungkapan-ungkapan serupa yang dilakukan oleh elit politik terkait legitimasi terjadinya korupsi yang dikaitkan dengan aspek ekonomi. Fadli Zon, elit Gerindra, misalnya, pernah mengatakan dengan tegas:

"Mana yang kita pilih? Tidak ada korupsi, tidak ada pembangunan atau sedikit korupsi ada pembangunan. Di beberapa negara berkembang, korupsi itu justru jadi 'oli' pembangunan... Dulu (di era Orde Baru, pen) ada dana non budgeter tapi ada pembangunan. Untuk pembangunan jalan dan sebagainya. Nah sekarang korupsinya banyak tapi tak ada pembangunan." (Khafifah, 2015)

Apa menjadi salah satu sumber korupsi dan tidak pernah dikatakan sebagai tindakan salah karena diperkuat dengan aturan pemerintah. Inilah yang menjadikan praktik korupsi berjamaan dilindungi di masa Orde Baru. Fadli Zon lupa bahwa di era ini, kata atau wacana korupsi tidak diizinkan untuk dipergunakan secara luas dalam perbincangan publik. Karena bisa mengancam eksistensi dan kemapanan rezim Suharto. 

Ilustrasi  (Kompas/Suprianto) 
Ilustrasi  (Kompas/Suprianto) 
Untuk semakin memperkuat argumennya, Fadli menggunakan kasus di beberapa negara berkembang di mana korupsi bisa menjadi 'oli' pembangunan, semacam pelumas yang melancarkan kerja mesin pembangunan. Apa yang terpenting bagi dia adalah anggaran bisa diserap untuk proyek pembangunan atau program pemerintah lainnya, sehingga warga negara bisa merasakan. Korupsi yang memberikan keuntungan berlipat kepada para koruptor tidak menjadi masalah karena tujuannya adalah untuk menjalankan pembangunan.


Lebih dahsyat lagi ketika si perempuan koruptor mengatakan bahwa dampak positif korupsi bukan hanya dinikmati oleh aparat penegak keadilan, tetapi juga dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan kemanusiaan, kebudayaan, dan kebangsaan. Dengan penuh kegembiraan, si perempuan mengatakan bahwa uang hasil korupsinya digunakan juga untuk "menyantuni anak-anak yatim", "membantu korban bencana", "menyokong olahraga", dan "iuran tujuh belasan". 

Dengan gamblang pula si perempuan mengatakan itu semua sebagai cara "mengelabuhi", sehingga masyarakat akan memosisikan koruptor sebagai inividu-individu baik yang harus dihormati dan, kalau perlu, diminta memberi sambutkan ketika ada "pengajian". Proyek kemanusiaan, kebudayaan, dan kebangsaan itulah yang menjadikan banyak koruptor masih dihormati oleh para pendukungnya atau oleh masyarakat yang memang pernah merasakan kebaikannya. 

Tidak mengherankan, meskipun Suharto dan kroni-kroninya adalah koruptor terbesar di Republik ini, tetapi masih banyak warga negara yang merindukannya. Tidak mengherankan pula di banyak wilayah, koruptor diposisikan sebagai pahlawan oleh warga atau komunitas pendukungnya. 

Wacana "Robin Hood-isme" yang disematkan kepada kedirian koruptor merupakan usaha diskursif untuk menegosiasikan sisi baik mereka sebagai manusia yang telah merampok uang negara demi kebaikan manusia-manusia lain yang membutuhkan. Tentu ini merupakan posisi terhormat yang disematkan kepada koruptor di balik segala kejahatan mereka. Untuk melengkapi posisi tersebut, pemberian kesempatan kepada koruptor untuk memberikan sambutan dalam "pengajian" merupakan kehebatan yang luar biasa.

Satir terhadap penghormatan koruptor dalam praktik sosial dan keagamaan merupakan respons kreatif-kritis terhadap realitas dalam masyarakat di mana banyak koruptor masih dihormati. Posisi mereka belum sehina maling biasa ataupun maling ayam (Wijaya, 2013). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun