Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Gua Marjan dan Sodong: Hunian Hominid Australomelanesid di Jember

15 Maret 2022   22:27 Diperbarui: 18 Maret 2022   20:32 2168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam artikel tentang Gunung Watangan Jember, saya menyinggung tentang kekayaan purbakala yang dimiliki gua-gua di sana. Setidaknya terdapat empat gua yang sudah diteliti, baik oleh arkeolog Belanda maupun Indonesia, yakni Gua Macan, Glatik, Marjan, dan Sodong. Semuanya terletak di Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember.

Baca: Gunung Watangan, Benteng Alam di Kawasan Selatan Jember

Adalah kebahagiaan ketika pada Minggu, 13 Maret 2022, saya dan kawan-kawan dari Dewan Kesenian Jember (DeKaJe) berkesempatan mengunjungi dua gua, yakni Marjan dan Sodong. Kami berangkat jam 10.00 WIB dari Desa Lojejer, dengan pemandu Pak Natun, seniman jaranan yang sudah biasa keluar-masuk kedua gua tersebut. 

Melewati wot. Dokumentasi penulis
Melewati wot. Dokumentasi penulis
Dari pemukiman, kami berjalan kaki menyusuri lahan pertanian warga dan melewati jembatan kecil berbahan kayu (wot, dalam bahasa Jawa) yang lumayan menantang karena sungai yang lumayan lebar dan dalam. Aliran sungai ini bermuara di kawasan Puger, menuju Samudra Indonesia.

Beberapa menit kemudian, kami sudah memasuki hutan jati. Di sepanjang jalan setapak, kami berpapasan dengan beberapa lelaki berusia tua yang pulang dari mencari rumput untuk pakan hewan ternak mereka. 


Warga pencari rumput. Dokumentasi penulis
Warga pencari rumput. Dokumentasi penulis

Tubuh mereka bergerak lincah, mengatasi faktor usia. Kebiasaan sehari-hari mencari rumput di tengah hutan melatih tubuh mereka secara ajeg, sehingga meskipun sudah berusia senja tetap kuat bekerja.

MENGHAYATI GUA MARJAN

Setelah sekira dua puluh menit berjalan, sebenarnya kami sudah sampai di depan Gua Marjan. Namun, Pak Natun mengajak kami meneruskan langkah untuk "nyekar" (berziarah) terlebih dahulu ke makam Mbah Beduk, tokoh yang diyakini sesepuh kawasan Watangan. Dipimpin Pak Natun, kami berdoa agar Tuhan Yang Mahakuasa memberikan kebahagiaan kepada almarhum Mbah Beduk. 

"Nyekar" di makam Mbah Beduk. Dokumentasi penulis
Tidak lama kemudian, kami kembali ke arah Gua Marjan. Gua yang terdiri dari bebatuan kapur itu tampak gagah dari depan. Bagian atasnya ditumbuhi pepohonan dan semak. Akar-akar pohon menjadi lukisan alam yang tampak memeluk erat gua Marjan. Halaman depan gua tampak bersih, menandakan bahwa ia sering dikunjungi warga.

Bagian atas depan Gua Marjan. Dokumentasi penulis
Bagian atas depan Gua Marjan. Dokumentasi penulis

Menurut Bu Natun, banyak warga yang mengambil kotoran kelelawar yang bertempat tinggal di dalam gua. Kotoran tersebut menjadi pupuk full-organic yang menyuburkan tanaman di tegal warga.

Mengamati dinding bagian depan gua dari bawah ke atas, saya melihat guratan-guratan motif pada bebatuan kapur yang terbentuk dari proses alamiah selama ribuan tahun. Guratan-guratan tersebut menjadi komposisi indah yang menyuguhkan pesona bagi mata yang melihatnya.

Untuk memasuki gua, kami harus masuk bergiliran karena sempitnya pintu gua. Menyadari realitas itu, saya bertanya dalam hati, apakah manusia purba (hominid) Australomelanesid yang menghuni gua ini pada ribuan tahun lalu juga bergantian untuk keluar dan masuk gua. Sangat mungkin demikian.

Pintu masuk Gua Marjan. Dokumentasi penulis
Pintu masuk Gua Marjan. Dokumentasi penulis

Sesampai di dalam gua, anak-anak Pak Natun menyalakan obor dan lampu listrik. Kondisi gua yang cukup gelap, menjadikan cahaya dari obor dan lampu tidak cukup menerangi. 

Meskipun demikian, saya masih bisa melihat keindahan dinding gua. Memang tidak ada stalaktit dan stalagmit di dalam gua ini. Namun, dinding gua yang terkena sinar lampu dan obor menghadirkan orkestra cahaya yang cukup memukau.

Kondisi di dalam Marjan. Dokumentasi penulis
Kondisi di dalam Marjan. Dokumentasi penulis

Apa yang cukup mengherankan adalah kelelawar di dalam Marjan bisa dikatakan tidak banyak ketika kami berada dalam gua. Padahal pada hari-hari biasa, menurut Pak Natun, ribuan kelelawar bergelantungan di dinding, sehingga kotorannya menumpuk di dasar gua. 

Bau kotoran juga tidak menyengat, tidak seperti biasanya. Entahlah apa yang menyebabkannya. Saya berpikir bahwa alam semesta pasti sedang berbaik hati kepada kami, sehingga memberikan rasa nyaman di dalam gua.

Suasana dalam gua. Dokumentasi penulis
Suasana dalam gua. Dokumentasi penulis

Beberapa kawan menggelar tikar untuk duduk. Sembari menikmati pisang yang dibawa Bu Natun, kami berbincang kecil tentang kemungkinan menggelar even bernuansa ekologis dan kultural di kawasan Watangan, termasuk di gua-gua purbakala. 

Beberapa alternatif konsep yang menekankan aspek akademis/edukasi, jelajah kepurbakalaan, ritual/slametan, dan pertunjukan kolosal pun mengalir.

Berbincang di dalam gua. Dokumentasi penulis
Berbincang di dalam gua. Dokumentasi penulis

Sembari mendengarkan kawan-kawan berdikusi, mata saya tertuju kepada lubangdidinting setinggi sekira 1,5 meter yang berbentuk seperti ujung tombak. 

Lubang tersebut terletak beberapa meter di samping pintu masuk. Apakah lubang tersebut berfungsi sebagai jendela sehingga para manusia purba yang tinggal di dalamnya tetap bisa menghirup udara segar? Mungkin demikian.

Yang pasti saya sempat berimajinasi, lubang tersebut menyerupai lorong waktu yang akan membawa manusia ke dimensi dan waktu yang berbeda. Seperti yang banyak diceritakan dalam film fiksi ilmiah. 

Lubang di dinding Marjan. Dokumentasi penulis
Lubang di dinding Marjan. Dokumentasi penulis

Selain itu, saya juga merasakan dimensi spiritual yang kuat ketika menatap lebih lama lubang tersebut. Pikiran dan batin saya seperti diajak untuk menuju ke dimensi hening yang langsung menuju kepada kekuasaan Gusti Hang Akaryo Jagat.

Hampir satu jam berada dalam gua, kami pun keluar satu per satu. Sembari menikmati udara yang lebih segar di bagian depan gua, saya membayangkan bagaimana hominid Austromelanesoid sampai di kawasan Watangan ini, termasuk Pegunungan Sewu, Jawa Tengah. Mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh dari Afrika terus ke Asia Tenggara dan sampai ke beberapa wilayah seperti Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Jawa. 

Tumbuhan di bagian atas depan Marjan. Dokumentasi penulis
Tumbuhan di bagian atas depan Marjan. Dokumentasi penulis

Di Jawa, manusia purba Austromelanesoid memilih untuk menetap di gua-gua di kawasan pegunungan kapur yang dekat dengan laut. Selain untuk tempat berlindung dan tinggal, posisi gua yang dekat dengan laut juga mempermudah mereka untuk mencari makan, berupa kerang.

Posisi Gunung Watangan yang berbatasan langsung dengan laut lepas cukup strategis sehingga mereka memilih untuk tinggal di beberapa gua yang ada di sini. Melimpahnya makanan di sini, menjadikan mereka bertahan dan membangun peradaban gua. 

Membuat bermacam alat dari batu seperti kapak merupakan kemampuan mereka untuk survive dengan berburu dan mengumpulkan makanan lainnya. Penemuan banyak tulang manusia purba di Gua Marjan menegaskan bahwa sebuah kehidupan purba dari komunitas Austromelanesoid pernah meramaikan kawasan ini.

MEMAHAMI GUA SODONG

Gua sodong terletak tidak jauh dari Gua Marjan. Dengan kontur lahan agak tinggi, kami membutuhkan sekira sepuluh menit untuk sampai di gua. Berbeda dengan Marjan yang memiliki ruang di bagian dalam, Sodong hanya berupa ceruk, menjorok ke dalam, sehingga terbuka.

Tekstur bebatuan dibagian dalam Sodong. Dokumentasi penulis
Tekstur bebatuan dibagian dalam Sodong. Dokumentasi penulis

Tekstur bebatuan kapur di Sodong cukup indah, dengan banyak tonjolan keluar karena proses alam. Selain itu, dari atas juga terdapat tetesan-tetesan air tanah. Yang tidak kalah menarik adalah akar-akar pepohonan yang menghiasi dinding gua.

Menurut Pak Natun, di Sodong sering dijadikan tempat "nyepi" oleh orang-orang yang ingin menemukan keheningan dan kedamaian batin. Memang, saya merasakan suasana yang segar dan damai ketika duduk di salah satu batu di dalam gua. Segarnya oksigen yang dikeluarkan pepohonan di sekeliling gua menjadikan tubuh terasa bugar dan pikiran fokus.

Pohon dan akar di bagian atas-depan Sodong. Dokumentasi penulis
Pohon dan akar di bagian atas-depan Sodong. Dokumentasi penulis

Hasil penelitian van Heekeren pada tahun 1972, sebagaimana dikutip dalam Nurani (1996), menunjukkan bahwa di Gua Sodong terdapat peninggalan purbakala berupa alat batu seperti serpih bilah dari bahan batu andesit, jaspis dan kalsedon. Juga ditemukan selain itu mata panah, gurdi, dan kapak genggam (hoabianh). 

Peralatan dari tulang berupa sudip dan lancipan serta alat-alat dan kulit kerang jenis Cyrena berbentuk lengkung juga ditemukan di gua ini. Temuan lainnya berupa bahan pewarna merah (oker merah), gigi geraham manusia, perhiasan dan kulit kerang mutiara yang diberi lubang, tulang-tulang binatang sebagai sisa makanan, dan rangka manusia dalam posisi terlipat. 

Lubang di bagian atas Sodong. Dokumentasi penulis
Lubang di bagian atas Sodong. Dokumentasi penulis

Temuan tersebut mengindikasikan bahwa para penghuni Sodong dan gua-gua lainnya memiliki kemampuan untuk membuat teknologi yang relatif bagus di zamannya. Menurut Nurani (1996), dengan bahan dasar yang tidak begitu bagus, mereka mampu menghasilkan produk alat yang mencerminkan tingkat teknologis yang cukup tinggi.

Hal tersebut menunjukkan artisan situs ini memiliki keahlian dan kepiawaian dalam pengendalian bahan dasar untuk menghasilkan produk perkakas yang relatif sempurna. Maka, dapat disimpulkan bahwa pendukung komunitas ini telah mengenal teknologi berkualitas "tinggi" dengan didukung artisan ulung. 

Istirahat sejenak di depan Sodong. Dokumentasi penulis
Istirahat sejenak di depan Sodong. Dokumentasi penulis

Selain itu, dari kulit kerang yang tertinggal, bisa disimpulkan bahwa makanan utama manusia purba Watangan adalah kerang yang dengan mudah ditemukan di sungai dan pinggir laut. Menjadi wajar kalau mereka memilih tinggal di gua-gua Watangan karena memang dalam hal makanan tidak kesulitan.

MENGEMBANGKAN KAWASAN KEPURBAKALAAN

Sayangnya, sampai dengan tulisan ini dibuat, mayoritas warga Jember tidak mengetahui fakta dan potensi kepurbakalaan di kawasan Watangan, sebagaimana ditemukan oleh para peneliti. Bahkan, para pelajar pun tidak banyak tahu bahwa pernah ada manusia purba yang menghuni kawasan ini.

Tentu saja, itu sangat disayangkan. Kawasan yang merupakan benteng selatan Jember ini memiliki kekayaan dan jejak purbakala yang menandakan dinamisnya peradaban masa lalu. 

Setidaknya, pengetahuan akan kepurbakalaan itu akan menjadikan para pelajar dan masyarakat memiliki rasa bangga bahwa wilayah mereka merupakan kawasan dengan peran penting di masa lalu. 

Keluar dari Sodong. Dokumentasi penulis
Keluar dari Sodong. Dokumentasi penulis

Selain itu, mereka juga bisa mengambil pelajaran bahwa di masa lalu para hominid sudah mampu membuat teknologi canggih sesuai zamannya untuk survive dan membangun komunitas gua. 

Sudah sepatutnya manusia yang hidup di masa kini mampu menciptakan karya teknologi, pengetahuan, dan budaya yang sesuai dengan konteks waktu dan kewilayahan.

Menimbang kekayaan purbakala tersebut, sudah seharusnya pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat memperhatikan eksistensi Gunung Watangan sebagai benteng selatan yang harus dilindungi secara nyata. 

Selain untuk benteng dari ancaman gempa dan tsunami, Watangan bisa dijadikan kawasan kepurbakalaan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan edukasi, riset, dan konservasi lingkungan.

Kawasan aliran sungai yang mengering di Watangan. Dokumentasi penulis
Kawasan aliran sungai yang mengering di Watangan. Dokumentasi penulis
Kalaupun mau dikembangkan menjadi destinasi wisata minat khusus juga sangat memungkinkan. Tentu saja membutuhkan riset mendalam terkait wisata minat khusus apa yang sesuai untuk kawasan ini. Dari kunjungan kami, saya mengasumsikan aktivitas wisata yang menggabungkan jelajah purba, konservasi lingkungan, creative camping, dan gelar seni-budaya.

Jelajah purba merupakan kegiatan yang mengajak para pecinta kepurbakalaan untuk mengunjungi dan mempelajari gua-gua yang menjadi hunian manusia dan komunitas manusia purba. Para pengunjung diajak untuk mengenal lebih dekat kekayaan gua yang menjadi penanda kehidupan masa lampau.

Santai di depan Marjan. Dokumentasi penulis
Santai di depan Marjan. Dokumentasi penulis

Konservasi lingkungan bisa bekerjasama dengan Perhutani dan BKSDA. Para pengunjung diajak menanam bibit pohon endemik di kawasan Watangan. Mereka juga bisa diajak untuk melepasliarkan satwa khas Watangan. Dengan kegiatan ini, mereka bisa memiliki ikatan ekologis dengan kawasan hutan yang memiliki jejak purbakala sekaligus ragam hayati.

Creative camping bisa menjadi pengalaman buat para pengunjung karena mereka bisa merasakan atmosfer kepurbakalaan sekaligus segarnya kawasan hutan. 

Di tengah-tengah camping mereka bisa disuguhi atraksi kesenian rakyat di kawasan Wuluhan sekaligus menikmati kuliner khas. Para pengunjung pun bisa ditantang untuk membuat puisi atau cerpen tentang Watangan serta membacakannya pada saat gelar seni.

Melintasi jalan setapak di tengah hutan jati. Dokumentasi penulis
Melintasi jalan setapak di tengah hutan jati. Dokumentasi penulis
Tentu saja, kemungkinan di atas bisa diwujudkan dengan kerja sama strategis antarelemen, seperti dinas-dinas terkait di Pemkab Jember, Perhutani, BKSDA, pemerintah kecamatan Wuluhan, pemerintah desa Lojejer dan desa-desa lain yang berdekatan dengan Watangan serta masyarakat dan pelaku seni-budaya.

Orientasi utamanya adalah wisata berbasis komunitas yang memberikan kesempatan luas kepada warga masyarakat sebagai subjek dalam pengelolaannya sehingga mereka juga bisa mendapatkan keuntungan ekonomis dan kultural.

Setahun sekali juga perlu dibuat event besar yang bercirikan: (a) penyebarluasa potensi kepurbakalaan, kebudayaan, dan lingkungan; (b) ritual untuk memperkuat ikatan manusia dengan bumi, sejarah, dan budaya; (c) lomba kreatif untuk para pelajar seperti melukis serta menulis cerita rakyat, puisi, cerpen dan yang lain; dan (d) gelar seni kolosal yang memadukan potensi para seniman rakyat dengan mahasiswa dan seniman sanggar.

Tanaman di bagian tengah-atas Marjan. Dokumentasi penulis
Tanaman di bagian tengah-atas Marjan. Dokumentasi penulis
Apa yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan bahwa pemerintah tidak akan mengizinkan penambangan yang bisa menghancurkan kawasan Watangan sebagaimana penambangan emas menghancurkan Tumpang Pitu, Banyuwangi. Sekali lagi, bahaya besar akan dirasakan masyarakat ketika Watangan hancur ditambang. 

Pintu Marjan dipotret dari dalam. Dokumentasi penulis
Pintu Marjan dipotret dari dalam. Dokumentasi penulis

Selain itu, hilangnya jejak-jejak purbakala karena penambangan akan menjadikan semakin hilangnya ikatan kultural-ekologis masyarakat dengan para penghuni kawasan selatan Jember di masa peradaban gua.

Maka, usaha-usaha untuk menghancurkan Watangan atas nama apapun perlu dilawan dengan bermacam strategi dan cara agar kehancuran benteng selatan Jember yang mengancam kehidupan manusia, kebudayaan, jejak peradaban gua, dan ketahanan ekologis tidak terjadi.

RUJUKAN

Nurani, I. A. (1996). "Teknologi Alat Batu Dan Konteksnya Pada Komunitas Gua Gunung Watangan." Berkala Arkeologi, 16(1), 1-12.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun