SAJAK RORO ANTENG UNTUK JOKO SEGER
Orang-orang memanggil dan meyakiniku sebagai Anteng; seorang perempuan muda yang meninggalkan keagungan kedaton Majapahit, mendaki berlapis-lapis kabut, mengurai tumpang-tindih keinginan menemui seorang pemuda gunung. Tak ada wangsit dewata memintaku. Tak ada suara ghaib memanggilku. Tak ada hembusan mantra menarikku.
Langkah-langkah kecilku menyibak dingin gunung, melintasi pepohonan mengukur batas sadarku. Sebuah laku memang aku kehendaki: sebagai perempuan, sebagai manusia, sebagai pengabdi dewata bukan putri kedaton.
Orang-orang memanggil dan meyakiniku sebagai Anteng. Aku sendiri tak pernah tahu mengapa mereka memanggilku seperti itu. Puluhan orang gunung menyapa dan bertanya siapa sesungguhnya aku.
Tak perlu sebuah nama. Tak perlu sebuah sejarah. Tak perlu sebuah bualan indah. Aku tak ingin memaksa mereka mengingatku, menghormatiku, memujaku, melayaniku hanya karena sebuah nama dari sang raja.
Biarlah mereka mengenalku sebagai aku, memahamiku bukan dari sejarah nama. Hidup mereka di gunung sudah begitu berat. Berkawan dingin. Berkawan abu dan pasir. Tanpa melepaskan mantra pepuji. Mendoakan sang raja, Ayahandaku, titisan dewata.
Tak perlu orang-orang luhur itu menjaga dan mencium kakiku. Mungkin karena itulah mereka memanggil dan meyakiniku sebagai Anteng. Biarlah seperti itu, meski aku sendiri tak pernah bisa anteng; lemah-lembut seperti saudara-saudara perempuanku di kedaton.
Para Empu menyebutku burung prenjak: selalu berkicau. Menanyakan terlalu banyak kitab. Membangunkan mereka pagi buta, sekedar bertanya tentang para dewi.
Ayahanda menyebutku burung merak: berbulu indah. Bertubuh sintal. tetapi menyimpan keliaran yang mengalahkan kakak lelakiku; calon pewaris kejayaan semesta.
Para Mbok Mban menjulukiku burung rajawali: bermata tajam. Ingin mengembara: melampaui batas-batas keagungan kedaton karena selalu gelisah.
Terserah, biarlah sebutan-sebutan itu tetap menjadi sebutan. Aku yang akan menulis sejarah perjalanan begitu mendaki. Menemui seorang pemuda gunung; pemuda yang selalu menghadirkan tubuh dan segar nafasnya ke dalam manjing batinku; pemuda yang selalu berkabar ada cinta harus dipuja dalam dingin kabut, dalam hening-menyeramkan Sang Bromo.
Maka, inilah aku, Anteng. Tersenyum bahagia bersama kabut mulai turun sembari berdiri tegak menahan dingin ketika pemuda itu menyambut kehadiranku.
Ah, kenapa juga ia harus menundukkan muka, ketika desir angin melambungkan khayalan. Enyahkan saja segala hormat karena ia hanyalah patuh berbalut laknat. Kita nikmati saja perjumpaan ini. Kita hayati saja tembang kinanti. Biarkan cemara gunung menjadi saksi. Ada rindu menghilang bersama mendung, datang kembali bersama angin
Maka, biarkanlah aku mengelus rambut hitammu diiringi halilintar mulai bertandang. Tak perlu kita hiraukan auman semesta. Rumah mungil dari cemara gunung ini adalah pelindung hati.
Gunung Bromo, 9 November 2015