Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ragam Konstruksi Perempuan dan Laki-laki dalam Iklan

8 Desember 2021   11:56 Diperbarui: 8 Desember 2021   12:21 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Iklan permen Cylitol, repro Kompas, 11/3/2007

Tulisan ini merupakan hasil riset iklan dengan kerangka representasi yang saya lakukan pada tahun 2007, ketika menempuh S2 Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana UGM. Iklan cetak yang menjadi objek material berasal dari koran Kompas periode 2006-2007.

AWALAN: KONTESTASI PEREMPUAN & LAKI-LAKI 

Pada era 2000-an awal, industri iklan banyak diwacanakan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjalani karir sebagai tim kreatif, manajer, ataupun model/selebritas. Kontestasi perempuan di iklan dianggap sebagai bentuk pembebasan mereka dari segala kekangan ideologi patriarki. Mereka bisa saja berjingkrak-jingkrak dalam sebuah iklan televisi, tampil dinamis di iklan cetak, hingga memamerkan tubuhnya untuk menaklukkan para laki-laki hidung belang melalui iklan sabun. 

Sementara laki-laki, dalam banyak tampilan iklan, tidak semata- mata direpresentasikan sebagai subjek dengan otot yang kuat atau tampang yang macho. Mereka banyak dicitrakan sebagai subjek yang elegan, rap, dan impresif. Artinya, iklan kontemporer telah melakukan pencitraan yang lebih plural dari subjek perempuan dan laki-laki. 

Citra-citra tersebut tentu saja tidak bisa dilepaskan dari wacana yang berkembang dalam masyarakat. Selama berabad-abad lamanya, laki- laki dipandang sebagai makhluk rasional yang mempunyai ketepatan pikiran dan tindakan sehingga mereka 'merasa' dan 'dirasa' perlu untuk memimpin kaum perempuan yang dipandang lemah, lembut, peka, dan kurang mampu mengoptimalkan daya nalar karena terlalu mengedepankan hati. Ideologi kelelakian mampu membentuk satu kuasa melalui wacana dan praktik yang menyebar dalam struktur sosial sehingga dominasinya tampak sebagai 'sesuatu yang wajar'. 

Para kreator iklan akan mereproduksi wacana dan kuasa lelaki karena mereka adalah bagian dari aparatus selain keluarga, sekolah, maupun institusi agama. Namun, apa yang perlu dicatat, adalah bahwa wacana tidak pernah berhenti pada satu titik. Selalu terjadi resistensi dengan memberikan wacana baru yang kontra terhadap wacana yang sudah mapan. 

Artinya, saat ini wacana feminisme juga sedikit banyak mampu memberikan pergeseran yang cukup berarti dalam persoalan persamaan hak untuk berkontestasi. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai subjek yang berkutat dalam persoalan domestik. Mereka juga mampu berkontestasi dalam ranah-ranah publik. Dan iklan sebagai produk media komersial mampu membaca pergeseran tersebut dengan memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi kontestasi perempuan.

Namun, benarkah semua   kontestasi   perempuan   dalam   citra    iklan mampu menghapuskan wacana seputar jagat perempuan sebagai kelas subordinat? Benarkah saat ini sudah terjadi persamaan gender sebagaimana yang dicitrakan oleh media atau jangan-jangan itu semua merupakan wacana baru tentang relasi gender? 

Berangkat dari kecurigaan-kecurigaan itulah tulisan ini dikembangkan. Agar mendapatkan kajian yang terfokus, maka analisis dalam tulisan ini akan diarahkan pada kajian representasi dalam ikaln media cetak. Mengapa iklan? Iklan merupakan medium yang paling banyak berhubungan dengan publik karena berkaitan dengan penawaran barang-barang produksi. 

Karena targetnya adalah penjualan, maka banyak tampilan iklan yang kemudian mengambil elemen artistiknya dari budaya yang berkembang dalam masyarakat. Inilah yang kemudian menjadikan tim kreatif iklan merepresentasikan apa-apa yang sudah eksis dalam masyarakat  termasuk persoalan gender, sehingga masyarakat diharapkan akan tertarik untuk membeli produk yang ditawarkan.

Melalui analisis representasi kelelakian dan keperempuanan dalam iklan kita tidak semata-mata terjebak dalam oposisi biner, laki-laki dominan dan perempuan subordinat. Kita bisa membedah persoalan tersebut dalam 'kemajemukan konteks' yang melingkupinya. Subjek perempuan dan laki-laki tidak hanya diam dalam satu ruang mapan. Representasi mereka pada akhirnya mengikuti trend wacana dan praktik gender yang berkembang. 

Pada suatu saat, lelaki bisa menjadi 'lebih rumahan' dibanding perempuan. Dan pada saat yang lain, perempuan bisa menjadi 'lebih kantoran' dibanding laki-laki. Namun, dengan kajian representasi, kita juga akan mengetahui betapa citra-citra iklan pada dasarnya berwajah ganda. Di satu sisi, iklan membebaskan kontestasi perempuan dan laki- laki. Di sisi lain, iklan, ternyata, masih mereproduksi mitos dan wacana purba dalam citra-citra yang lebih modern tentang relasi gender dalam masyarakat.

REPRESENTASI GENDER 

Membicarakan gender dengan menggunakan kajian representasi di media sebenarnya bukan hal baru. Namun, dalam kasus Indonesia yang seringkali terjadi adalah generalisasi bahwa media telah mengkonstruksi dan menciptakan penampilan perempuan yang semata-mata dianggap sebagai korban eksploitasi kapitalis tanpa melihat secara mendalam dari pendekatan representasi yang melibatkan tidak semata-mata 'begitu adanya' dan 'sudah sewajarnya seperti itu'. 

Lebih dari itu, representasi selama ini banyak disalahpahami sebatas penampilan, tetapi tidak pernah ditelaah mengapa itu menjadi demikian dan dalam konteks apa itu berlangsung. Padahal dalam kajian budaya dan media, representasi merupakan bagian politik penandaan yang melibatkan relasi kuasa dan pertarungan ideologis.

Stuart Hall mendefinisikan representasi sebagai (1) penggunaan bahasa untuk sesuatu yang bermakna atau merepresentasikan dunia yang penuh makna kepada orang lain; (2) bagian penting dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan oleh anggota kebudayaan; (3) produksi makna melalui bahasa; dan, produksi makna dan konsep dalam pikiran kita melalui bahasa (proses mental) (1997: 17-19). 

Dari beberapa definisi tersebut, representasi bisa difokuskan sebagai makna yang diproduksi melalui penggunaan 'bahasa'. Tentu saja bahasa di sini bukan semata-mata bahasa tulis atau ucap, tetapi bahasa bisa diterjemahkan dalam konteks yang lebih luas. Lukisan, foto, patung, iklan, tayangan televisi/film, serta tanda-tanda budaya lainnya merupakan bahasa yang dengannya individu hendak menyampaikan makna kepada individu lainnya.

Sistem representasi dalam masyarakat merupakan sebuah proses kultural yang tidak hanya melibatkan persoalan penandaan secara denotatif, tetapi juga penandaan sebagai 'proses ideologis' yang melibatkan kode-kode kultural (sistem tanda yang sudah diatur dan menyebar dalam suatu masyarakat). Mereka tersusun dari relasi sosial ajeg yang mengkomunikasikan rangkaian makna, nilai, atau kuasa sehingga membuat individu-individu dalam masyarakat menghubungkan diri mereka ke dalam makna tersebut.

Dalam konteks tersebut, representasi bisa dipahami sebagai proses produksi makna yang mempunyai fungsi ideologis. Artinya, terdapat makna yang diintrodusir oleh kelompok-kelompok partikular dalam masyarakat melalui kode-kode sehingga akan tercipta pemahaman--awalnya 'secara imajiner' untuk kemudian berubah menjadi 'menghidupkan' makna tersebut dalam kehidupan sehari-hari--yang natural tentang makna-makna ideologis tersebut sehingga secara wajar menjadi bagian integral dari masyarakat (Hall, 1996: 26).

Karena masalah ideologi berkaitan dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat, maka ia bukanlah sesuatu yang tunggal. Demikian pula dengan sistem representasi yang ada dalam media. Pertarungan antarkelompok untuk mendapatkan akses dan menciptakan representasi makna ideologis untuk kepentingan kelompok akan terjadi melalui penandaan dalam media. 

Volosinov (1973: 23) menjelaskan bahwa tanda menjadi pertarungan kelas sosial. Setiap kelas akan berusaha untuk menciptakan kode-kode yang akan dihadirkan dan dikontestasikan melalui sistem representasi yang ada di media. Karena dengan cara itu makna dari kelas partikular akan mendapatkan pengakuan dan akan dianggap sebagai 'sesuatu' yang bisa dipahami, diikuti, dan bahkan dijalankan. Untuk bisa mencapai posisi tersebut, kelompok partikular bisa melakukannya dengan sistem representasi yang terdiri dari moda representasi/penandaan melalui "penciptaan-penciptaan mitos" dan "penyebaran wacana dalam masyarakat". 

Maka, bisa dikatakan, representasi melalui beragam media membutuhkan kondisi historis (keadaan sosial, ekonomi, politik ataupun kultural) tertentu agar masyarakat bisa menerima makna atau pengetahuan yang dihadirkan. Begitupula tentang representasi perbedaan gender di dalam iklan, tidak bisa dibaca semata-mata dalam satu kepastian, namun sebagai satu transformasi sesuai dengan kondisi zaman. 

Dengan mengambil konteks transformasi, kita bisa mengasumsikan bahwa citra kelelakian dan keperempuanan dalam iklan, selalu mengalami penyesuaian dan perubahan bentuk tanda sesuai dengan pengetahuan tentang perbedaan di antara mereka serta pergeseran peran yang berlangsung dalam masyarakat, terutama di dalam media sebagai bentuk budaya populer. 

Lebih dari itu, meskipun membawa kuasa, representasi kelelakian dan keperempuanan selalu berada dalam penandaan plural yang masing-masing bisa jadi memiliki kekhususan, tidak bisa disamakan satu sama lain.

Ketika gender didefinisikan sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi bukan semata-mata oleh faktor jenis kelamin, tetapi juga faktor sosio-kultural yang ada di dalam masyarakat, maka definisi itu sendiri sudah menyiratkan satu konsepsi transformasi. 

Kondisi sosio-kultural tidak akan selalu berada dalam kepastian, karena sebagai sebuah kondisi ia akan selalu bergerak mengikuti perkembangan jaman yang tengah berlangsung. Pada sebuah masa, bisa jadi dominasi patriarki menjadi kekuatan yang mampu mengungkung tindakan dan pemikiran anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga apa-apa yang direpresentasikan dalam media adalah betapa kuat dan sahnya kekuasaan laki-laki, sedangkan perempuan selalu berkutat dalam ranah domestik (Walby: 1989): di dapur, di kasur, dan di sumur.

Perkembangan pemikiran dan gerakan feminisme telah memberikan pencerahan baru dalam relasi gender dalam masyarakat. Perempuan tidak semata-mata berada dalam ranah domestik, tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk berkontestasi di ranah publik yang berkaitan dengan karir maupun politik, meskipun tetap tidak sepenuhnya bebas. 

Patriarki tidak bisa lagi menjadi sangat dominan dalam praktik sosio-kultural maupun representasi media. Dalam konteks itulah, patriarki kemudian bertransformasi dengan melakukan hegemoni melalui artikulasi dan negosiasi (Gray dalam Bennet, 1986: xv).

Dengan konsep artikulasi, representasi gender dalam media melakukan penandaan terhadap potensi-potensi yang dimiliki perempuan dalam ranah publik, sebuah ruang yang dulunya hanya dimiliki laki-laki. Tujuan utama dari proses artikulasi ini adalah munculnya konsensus dari kelas subordinat (perempuan).  

Konteks hegemoni kelas patriarki tersebut tidak selamanya berada dalam kemapanannya. Ketika ia sudah terlampau hegemonik dan cenderung untuk menjadi dominasi kembali, maka akan muncul pemikiran dan gerakan yang lebih aktif untuk melawan kuasa tersebut. Inilah yang kemudian harus dibaca sebagai “kontra-hegemoni”. 

Representasi perempuan dalam media yang terlalu menonjolkan unsur sensualitas dan seksualitas perempuan dianggap sebagai ‘eksploitasi tubuh perempuan’ tahap lanjut demi kepentingan kapitalisme patriarki belaka. Munculnya reaksi tersebut turut mengubah kontestasi dan representasi perempuan dan laki-laki dalam media. 

Dengan demikian, representasi laki-laki dan perempuan dalam iklan kontemporer, sekali lagi, harus dibaca dalam konteks plural dan partikular yang membawa konteks dan sejarahnya serta tidak bisa diasumsikan sebagai satu grand design yang selalu pasti.  Karena meskipun, saat ini isu persamaan gender sudah dikampanyekan, ternyata kita masih bisa mendapatkan ragam perbedaan yang karakteristik sehingga ada semacam semangat posmodern yang muncul dengan mengambil dan mencampur pengetahuan dan mitos pada masa lampau dan masa kini. 

Tentu saja hal itu bisa dibaca sebagai perbedaan dan pertarungan dalam politik representasi. Dalam kerangka perbedaan itulah analisis representasi kelelakian dan keperempuanan dalam iklan akan dikembangkan sehingga kita akan menemukan pesan-ideologis, pengetahuan, serta kuasa yang melingkupinya. 

Untuk menelaah beberapa iklan, saya akan menggunakan pendekatan konstruksionis dengan fokus pada praktik penandaan yang menghadirkan makna tertentu (Barthes, 1972) dan diskursif yang mengaitkan wacana dalam iklan dengan wacana dan praktik dalam masayarakat (Foucault, 1980, 2002) terkait persoalan perempuan dan laki-laki. 

Dengan kedua model tersebut, kita bisa mengetahui bagaimana iklan-iklan yang menghadirkan para perempuan dan lelaki mengkonstruksi makna, wacana, dan kepentingan tertentu yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika perkembangan budaya dan gender dalam masyarakat.

LAKI-LAKI & PEREMPUAN DALAM KERJA KANTORAN

Iklan permen Cylitol di Gambar 1, tidak bisa disangkal, memang dimaksudkan untuk memromosikan produk ini untuk mengurangi gangguan stress pada gigi dan gusi. Namun, kalau kita perhatikan secara teliti bagaimana figur laki-laki dan perempuan tersebut direpresentasikan, maka akan ada makna dan wacana yang berbeda dengan kepentingan promosi iklan tersebut. 

Kehadiran si perempuan hendak menyuguhkan secangkir kopi dan si laki-laki tengah tersenyum sambil memandang layar komputer, hendak memakan sebutir permen, menarik untuk dicermati. Bentuk denotatif kedua subjek tersebu tersebut menghadirkan mitos bahwa "perempuan selalu menjadi kelas pelengkap" secara wajar, begitu adanya sebagaimana terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk citra yang mengedepankan senyum dan keharmonisan dalam menjalankan fungsi kerja, berusaha mewajarkan konsep perempuan sebagai kelas pelengkap melalui adegan dengan "membawakan cangkir". Sebagai kelas pelengkap dalam kerja kantoran, misalnya, perempuan tetap tersenyum dan menjalaninya dengan penuh kegembiraan, sedangkan laki-laki tetap menjadi kelas pertama yang berhak untuk dilayani sepenuh hati. 

Representasi tersebut berkelindan dengan kuasa patriarki yang bertransformasi dalam sistem ekonomi modern yang juga memberikan kesempatan bagi perempuan untuk menikmati kerja di kantoran. Kepentingan perempuan memang disuarakan dalam kerja-kerja modern, sehingga dianggap menyampaikan pesan kesetaraan. Namun, tetap saja, adegan membawa cangkir masih menempatkannya sebagai kelas subordinat yang bergantung ke lelaki.

Perempuan dalam menegosiasikan kepentingannya ternyata tidak mampu merombak secara total nilai ideologis yang sudah mapan dalam tradisi laki-laki. Perempuan tetap bisa menerima meskipun ia hanya mendapatkan posisi sebagai ‘penyeduh dan penyuguh kopi’. 

Dari perspektif pengetahuan, representasi perempuan dan laki-laki tersebut menandakan betapa masih kuatnya wacana tentang dominasi laki-laki dalam masyarakat kita saat ini. Pengetahuan tentang kuasa laki-laki  ditransformasikan dalam sistem representasi kontemporer. 

Instintusi kantor yang nota-bene-nya merupakan lembaga yang diharapkan sebagai penyemai persamaan antara perempuan dan laki-laki, ternyata dalam beberapa hal masih mewarisi dan melanjutkan kuasa subjek laki-laki. Namun, dalam perspektif partikular lainnya, gambar tersebut merupakan representasi dari perkembangan pengetahuan tentang persamaan perempuan (meskipun belum sepenuhnya) dalam akses pekerjaan. 

Ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perjuangan institusi dan individu aktivis atau pemikir yang terus mengembangkan pemikiran feminis di Indonesia. Dari konteks tersebut, kondisi ini bisa dilihat sebagai paradoks persoalan gender di Indonesia atau, bahkan, di negara- negara lain.

PEREMPUAN BARU YANG MANDIRI, AKTIF, & SEKSI

Dalam kehidupan yang sudah maju saat ini, wacana yang berkembang bukan hanya persoalan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga persoalan citra kemandirian dan keaktifan yang bisa dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Wacana tentang single parent yang berkembang di dunia barat, menandakan kondisi tersebut. 

Wacana yang lain adalah bagaimana perempuan bisa menjadi sosok-sosok yang bisa mandiri dan aktif dalam menjalani kehidupan, termasuk kehidupan bisnis dan pribadinya, tanpa tergantung pada kehadiran laki-laki di sisinya. Ataupun kalaupun mereka membutuhkan kehadiran laki-laki, itu tidak lebih sebagai ‘pelengkap’ atau ‘pembantu’. 

Media, baik film maupun citra-citra iklan, dalam banyak kesempatan juga merepresentasikan wacana-wacana tersebut. Tentu saja dari sisi ekonomis, itu semua dilakukan untuk mengakomodasi sekaligus ‘merayu’ kelompok- kelompok perempuan mandiri agar berkenan menonton atau membeli produk yang disuguhkan. Namun dari representasi yang disuguhkan, kita bisa membacanya dalam perspektif lain. 

Gambar 2. Iklan Auto 2000, repro Kompas, 25/9/2006
Gambar 2. Iklan Auto 2000, repro Kompas, 25/9/2006
Iklan ini dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada para pelanggannya setelah membeli mobil yang berada dalam manajemennya. Target dari iklan ini adalah para perempuan yang cukup aktif dalam kehidupannya, terutama dalam hal bisnis. Hal ini bisa dimaklumi karena saat ini semakin banyak perempuan yang memperoleh prestasi prestisius dalam bisnis modern sehingga untuk mengerjakan hal sekunder seperti memperbaiki mobil harus membutuhkan bantuan pihak lain. 

Bentuk denotatif iklan di atas adalah seorang perempuan yang dengan suka cita tetap melakukan aktivitas fitness, sedangkan seorang laki-laki sedang memperbaiki mobilnya. Hal itu bisa terjadi karena tidak ada waktu untuk pergi ke bengkel. Dengan representasi seperti itu, iklan ini menghadirkan konsep "perempuan modern harus menjaga kebugaran dan keseksiannya".

Dunia modern telah memberikan kesempatan kepada perempuan untuk megembangkan potensinya, namun, betapapun sibuknya perempuan dalam capaian-capaian profesionalnya, ia harus tetap memperhatikan kesehatan, terlebih lagi penampilan fisiknya dengan senang hati. 

Lebih dari itu, iklan ini merepresentasikan makna ideologis bahwa kebugaran dan tuntutan akan penampilan tubuh yang seksi dan cantik merupakan syarat wajib bagi perempuan-perempuan yang ingin memperoleh karir berjenjang tinggi dalam bisnis, terlepas dari kecerdasan dan potensi diri yang mereka miliki. Lagi-lagi, ini merupakan konstruksi yang diciptakan oleh kuasa patriarki tentang sosok sensual perempuan, yang tidak hanya mengisi ranah domestik, tetapi juga ranah kerja.

Makna ideologis tersebut memang terkesan sebagai tuntutan di masa kini, dan banyak perempuan yang mungkin menganggapnya sebagai kewajaran karena penampilan menarik merupakan kunci dalam jagat bisnis. Dan itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di negara-negara yang lebih maju. 

Tentang persoalan itu, Wolf (2004: 22-24) berargumen bahwa perempuan-perempuan liberal yang memiliki akses kebebasan sesungguhnya tidak benar-benar merasa bebas sebagaimana mereka dambakan. Banyak perempuan yang merasa malu karena mereka memberikan perhatian perhatian khusus terhadap hal- hal semacam penampilan fisik, tubuh, wajah, rambut, atau pakaian. Meskipun muncul perasaan malu, bersalah, dan terganggu, banyak perempuan tetap saja melakukannya. 

Meskipun kasus tersebut terjadi di negara maju, namun, paling tidak bisa digunakan untuk merefleksikan kondisi di kota-kota besar Indonesia di mana semakin banyak perempuan yang memerlukan institusi-institusi perawatan tubuh ataupun alat-alat finess di rumah sendiri karena kesibukan kerja. 

Menjaga penampilan tubuh ideal dan wajah cantik merupakan gaya hidup yang saat ini semakin berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dan para perempuan karir, sekali lagi, merasakan itu sebagai satu ‘kewajiban’ yang wajar ketika mereka hendak memperoleh satu karir cemerlang dalam dunia kerja.

Wacana yang bisa dibaca dari iklan tersebut adalah "pendisiplinan tubuh dalam masyarakat modern." Tubuh menjadi satu subjek penting yang harus dikendalikan dalam sistem masyarakat kontemporer (Abdullah, 2002: 72). Tubuh menjelma sebagai sebuah praktik dan formasi diskursif dalam zaman yang menuntut penampilan dan kebugaran sebagai syarat mutlak untuk mengikuti dinamika dan akselerasi yang terjadi. 

Sangat wajar kalau di kota-kota besar banyak berdiri pusat kebugaran yang menjadi syarat wajib dalam membentuk dan mengatur kesehatan, kebugaran, serta bentuk ideal tubuh. Di samping itu, untuk mereka yang tidak sempat pergi ke pusat fitness, peralatan yang berfungsi untuk rumahan sudah tersedia, lengkap dengan bermacam jenisnya. 

Bahkan pendisiplinan tubuh tidak hanya berkaitan dengan bentuk ideal tubuh, tetapi juga bagian-bagian lain seperti kuku, alis mata, mata, kuku, maupun rambut. Dan, subjek pertama yang menjadi target beroperasinya wacana disiplin tubuh adalah perempuan. Perempuan yang aktif dalam kerja-kerja dengan mobilitas tinggi dituntut untuk melakukan kesiapan-kesiapan fisik sehingga mereka mampu melakukan persaingan dengan subjek laki-laki.

Gambar 3. Iklan Auto 2000, repro Kompas, 2/10/200
Gambar 3. Iklan Auto 2000, repro Kompas, 2/10/200
Sama dengan gambar sebelumnya, gambar ini adalah iklan Auto 2000. Subjek perempuan dihadirkan sedang menelepon untuk keperluan, service mobil, tentunya, sembari duduk santai, tangan kanannya memegang buku telepon, sedangkan tangan kirinya memegang telepon. 

Ia duduk di atas sebuah sofa, sedangkan di depannya terdapat sebuah laptop di atas sebuah meja. Dengan representasi itu, bentuk citra tersebut berusaha menaturalisasi konsep feminisme liberal tentang "kehebatan perempuan karir masa kini." Seorang perempuan direpresentasikan sebagai sosok aktif dan memiliki posisi strategis dalam karir. 

Ia bisa memutuskan beragam persoalan dengan santai, tenang, tetap tersenyum, namun tetap mampu menampilkan citra keeleganan yang luar biasa. Perempuan karir masa kini ditandakan sebagai sosok yang hebat dan mampu mengikuti perkembangan zaman yang memasuki abad informasi; keberadaan laptop menjadi penandanya. 

Tanpa harus tahu, apakah yang membuat iklan ini perempuan atau laki-laki, pro- feminisme atau tidak, iklan ini dengan sangat halus dan natural mampu merepresentasikan kehebatan perempuan karir masa kini, yang tetap tenang dan tersenyum dalam menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Perempuan- perempuan, baik yang sudah berkarir mapan atau masih merintis, diajak untuk mengkonstruk diri mereka seperti perempuan dalam iklan tersebut.

Sedangkan wacana yang disampaikan iklan tersebut adalah tentang kemampuan dan kehebatan perempuan dalam mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan yang ada di dalam kerja. Pengetahuan tentang persoalan tersebut sangat jarang kita temukan dalam wacana-wacana yang direpresentasikan dalam iklan pada era 70-an dan 80-an.

Namun, ketika perjuangan kaum feminis semakin menguat, baik melalui pemikiran maupun gerakan advokasi maupun mediasi, wacana tentang kemampuan peran perempuan dalam posisi-posisi strategis perusahaan, misalnya, semakin menguat. Kita kemudian sangat familiar dengan sebuah pengetahuan baru bernama feminisme. 

Peran perempuan tidak bisa dibatasi lagi pada semata-mata urusan domestik keluarga, karena dengan daya nalar dan intelejensianya, mereka sebenarnya mampu berkiprah dan tidak kalah dalam kontestasi dengan laki-laki. Pengatahuan feminisme kemudian menyebar dan menjadi kesadaran yang mulai berkembang dalam masyarakat kita. 

Meskipun tidak semua bangsa ini tahu apa itu feminisme, namun mereka akan dengan mudah mengerti ketika berbicara tentang peran perempuan dan potensi perempuan di dunia kerja. Dengan kata lain, representasi kemampuan perempuan dalam dunia karir telah menjadi sistem yang berhasil dalam mengoperasikan pengetahuan feminisme ke dalam masyarakat, meskipun tetap saja terdapat pihak-pihak kurang atau tidak mendukungnya. 

Hal itu menandakan bahwa iklan sebagai produk representasi populer memang tidak pernah berada dalam wilayah statis. Mereka berubah karena menjadi medan pertarungan. Kekuatan patriarki ingin menghegemoni dengan menampilkan citra-citra perempuan melalui media, namun kekuatan subordinat perempuan melakukan kontra-hegemoni melalui politik penandaan yang ada di iklan.

PEREMPUAN SEKSI DI JALANAN

Gambar 4, tidak jauh berbeda dengan iklan sebelumnya, menunjukkan satu semangat emansipatoris perempuan dalam dunia modern. Namun dari gambar ini, bisa diperoleh makna dan wacana yang berbeda tentang keperempuanan dalam dunia kerja. Bentuk citra dalam iklan ini adalah perempuan seksi (ditunjukkan dengan betis dan tangan) yang membonceng seorang laki-laki berbaju lengkap dan mengantarkan tas ber-merk Tumi kepada seorang petugas dari sebuah hotel. 

Gambar 4. Iklan Tumi, repro Kompas, 24/11/2006
Gambar 4. Iklan Tumi, repro Kompas, 24/11/2006

Meskipun apa yang dipromosikan melalui iklan ini adalah sebuah produk luar negeri, Italia, yang sekarang sudah diperoleh di Indonesia, namun citra iklan ini mengkonstruksi makna kepada kepada khalayak di negeri ini.

Iklan tersebut dengan cerdas mampu mengarahkan kognisi pembaca kepada satu konsep keseksian yang mampu menaklukkan jalanan. Selama ini kerja-kerja di luaran, pekerjaan kasar, selalu diidentikkan dengan kerja-kerja laki dengan penampilan pria-pria perkasa. 

Dalam konteks Indonesia, memang kita bisa menemukan betapa banyak perempuan yang melakukan ‘pekerjaan kasar’ seperti berjualan atau menjadi juru gendong (tukang mengangkut barang) di pasar-pasar. Namun yang harus diperhatikan, mereka selama ini lebih banyak mengenakan pakaian seadanya. 

Perkembangan zaman telah memberikan perubahan penting dalam hal keterlibatan perempuan dalam pekerjaan kasar. Banyak perempuan muda yang kemudian menjadi sales promotion girls (SPG) dengan lenggak- lenggok gaya dan pakaian seksinya sembari menawarkan barang-barang dagangannya. 

Citra perempuan dalam iklan tersebut, rupanya sesuai dengan perkembangan tersebut. Dengan tubuh seksinya perempuan tidak harus hanya berada dalam ruang kantor, sembari menemani para direktur meeting, misalnya. Lebih dari itu mereka bisa menaklukkan jalanan, bahkan tidak hanya sebagai pelengkap, tetapi mereka juga mampu ‘nyetir’ (mengendalikan) motor vespa.  

Sementara dari perspektif wacana, iklan ini merupakan representasi lain dari semangat feminisme yang semakin berkembang. Kalau pada iklan sebelumnya, representasi yang diciptakan berkaitan dengan kemampuan perempuan dalam mengendalikan pekerjaan kantor dan pekerjaan luar kantor dengan tetap tenang dan tersenyum, maka semangat feminisme yang berkembang dalam iklan ini adalah bahwa dengan tubuh seksinya (bukan dalam konteks sensual, tetapi pilihan) seorang perempuan sebenarnya mampu menempati posisi kerja luaran yang penuh tantangan dan mendobrak tabu tubuh yang selama ini berlangsung dalam masyarakat.

Selama ini sebagian masyarakat masih menganggap bahwa perempuan harus berpenampilan sopan ketika berada di tempat-tempat umum, sampai-sampai di beberapa daerah dibuat peraturan daerah yang mewajibkan perempuan menutup auratnya ketika keluar rumah. 

Iklan ini, dengan kata lain, merupakan bagian dari formasi diskursif yang hendak melawan hegemoni tabuh tubuh perempuan sejalan denagn wacana-wacana lain yang berkembang dalam novel Indonesia kontemporer —semisal Saman karya Ayu Utami—yang banyak menggunakan ‘eksploitasi tubuh dan seksualitas’ untuk memberikan ‘letupan’ bagi konservatisme masyarakat.

LAKI-LAKI & KEMATANGAN PIKIRAN, PEREMPUAN & BELANJA

Laki-laki sejak zaman Yunani hingga saat ini, banyak digambarkan sebagai makluk pintar yang lebih banyak menggunakan akal pikirannya dalam menentukan persoalan- persoalan penting. Mereka adalah turunan Adam yang diyakini mempunyai kematangan dalam memutuskan pilihan-pilihan rasional dalam hidup. Wacana tersebut menyebar dan diyakini oleh hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi. 

Gambar 5. Iklan BIIm, repro Kompas, 13/04/2007
Gambar 5. Iklan BIIm, repro Kompas, 13/04/2007
Iklan kredit BII menandakan konsep kematangan pikiran laki-laki. Bentuk citra yang diciptakan sangat jelas merepresentasikan konsep tersebut. Seorang laki-laki dengan pakaian kerja elegannya memandang empat pintu masuk yang berisi pilihan-pilihan yang berkaitan dengan penggunaan uang—pintu 1 “café”, pintu 2 "distro", pintu 3 "pertambangan, dan pintu 4 "argibisnis". 

Apa yang mesti diperhatikan adalah ukuran masing-masing pintu tersebut. Pintu 1 dan 4 berukuran sama, pintu 3 paling besar, dan pintu 2 berukuran paling kecil dan terletak paling jauh. Dari model pencitraan tersebut kita menangkap makna bahwa si laki-laki akan memilih salah satu dari pintu tersebut, atau bahkan memilih untuk masuk ke semua pintu itu karena ia mendapatkan pinjaman investasi dari bank. 

Namun dari sisi representasi, iklan tersebut menyampaikan satu pandangan ideologis tentang "kematangan rasionalitas laki-laki dalam bisnis". Mengapa demikian? Perhatikan ukuran masing-masing pintu. Pintu “pertambangan” dicitrakan dalam ukuran yang paling besar. Hal itu menandakan bahwa pintu inilah yang kemungkinan akan dipilih si laki-laki pertama kali ketika ia mendapatkan pinjaman dari bank. 

Pertambangan, bagaimanapun, merupakan sasaran investasi yang menjanjikan keuntungan finansial yang cukup besar, apalagi dengan melimpahkan sumber daya mineral di Indonesia yang setiap saat dieksplorasi dengan beragam kemudahan regulasinya. Pilihan kedua, bisa jadi akan jatuh pada nomor 4 dan 2. 

Namun, dari segi prioritas bisa ditebak bahwa yang akan dipilih adalah pintu “agribisnis”. Dalam konteks bisnis, peluang agrobisnis sampai saat ini masih terbuka karena potensi lahan yang cukup subur di Indonesia dan potensi pasar domestik maupun internasional. Pintu “café” sangat mungkin menjadi pilihan berikutnya. 

Kontekstualisasi dari café adalah sebagai tempat untuk melepas kepenatan dari semua aktivitas bisnis ataupun menjamu relasi- relasi bisnis. Pintu “distro” merupakan pilihan terakhir karena tempat ini behubungan dengan kebutuhan pakaian-pakaian modis untuk keperluan- keperluan aktivitas kasual. 

Hal itu menandakan betapa laki-laki mengutamakan pertimbangan- pertimbangan yang serba matang dalam menginvesatasikan kekayaan yang mereka miliki. Mereka tidak semata-mata menggunakannya untuk keperluan- keperluan sekunder, tetapi lebih memilih pada penggunaan untuk melipatgandakan keuntungan finansial. Artinya, rasionalitas laki-laki melalui iklan ini hendak ditegaskan lagi sebagai bentuk yang memang sudah seperti itu adanya. Superioritas patriarki kembali berlangsung dalam representasi tersebut.

Tentu representasi tersebut merupakan penegasan kembali wacana keutamaan laki-laki dalam ideologi patriarki, terutama dalam konteks bisnis. Laki-laki selama ini banyak digambarkan sebagai pebisnis-pebisnis sukses yang selalu mempunyai hitungan-hitungan matang dan cermat tentang kemungkinan- kemungkinan peluang matang. Hal itu bukan berarti bahwa tidak ada perempuan yang berhasil mengendalikan perusahaan.

Namun, selama ini wacana yang direpresentasikan dalam iklan lebih banyak menggambarkan citra-citra laki-laki yang mapan dan meyakinkan dalam menjalankan bisnisnya. Wacana tersebut sejalan dengan wacana-wacana lain yang berkaitan dengan peran laki-laki dalam rumah tangga yang diposisikan sebagai pencari nafkah dan wajib menghidupi semua anggota keluarganya. Pengetahuan tentang kematangan laki-laki yang berasal dari formasi diskursif tersebut pada akhirnya mempengaruhi pemahaman masyarakat di Indonesia sehingga wajar kalau laki-laki tetap diyakini sebagai ‘makhluk superior’.

Gambar 6. Iklan Standard Chartered Bank, repro Kompas, 13/04 2007  
Gambar 6. Iklan Standard Chartered Bank, repro Kompas, 13/04 2007  
Namun, meskipun sama-sama menampilkan fasilitas kredit, iklan dari Standard Chartered Bank (SCB), Gambar 6, ternyata menampilkan citra berbeda. Kalau dalam iklan BII, laki-laki dikonseptualisasikan sebagai sosok yang matang dalam hal pertimbangan-pertimbangan finansial, terutama investasi, dalam iklan SCB, sebaliknya. 

Iklan SCB menampilkan seorang perempuan karir tersenyum ceria sehabis belanja, dengan menenteng tas dari sebuah pusat perbelanjaan. Citra tersebut memang digunakan untuk menarik minat para perempuan karir agar mau menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan SCB, karena memberikan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan seorang perempuan karir.

Tentu saja, banyak perempuan karir yang beranggapan bahwa mereka berhak membelanjakan apa yang telah mereka peroleh dari kerja. Memang itu benar dan sah dalam konteks kontestasi ekonomi. Namun, dengan pandangan itu, mitos bahwa perempuan sebagai ‘makhluk belanja’, semakin menjadi wajar, meski dengan menggunakan kartu kredit yang sangat mungkin memberatkan keuangan mereka. 

Artinya mereka telah masuk ke dalam formasi wacana besar yang menempatkan perempuan dalam posisi subjek yang memang harus mengikuti ‘kodrat’ suka  berbelanja. Sehingga, sehebat apapun perempuan dalam karirnya, toh, ia tetap tidak bisa lepas dari tindakan untuk berbelanja. 

PEREMPUAN YANG MENENDANG

Gambar 7 adalah iklan dari telepon seluler Sony Ericsson generasi baru yang memadukan antara kemampuan komunikasi dan entertainment, dalam hal ini musik. Terlepas dari pesan tersebut, gambar perempuan yang melakukan gerakan akrobatik menendang, semacam gerakan beladiri capuera dari Brasil, mengkonstruksi makna tentang "kebebasan ekspresif perempuan". 

Tentu saja representasi seperti itu jarang kita jumpai ketika wacana feminisme belum berkembang. Pada masa lampau, perempuan yang berperilaku ‘liar’ dan terlibat dalam olah raga yang biasa dimainkan laki-laki, seperti bela diri, akan dianggap sebagai berperilaku menyimpang, dan dengan demikian diposisikan sebagai liyan yang bisa saja dikucilkan dari masyarakat. 

Gambar 7. Iklan Sony Ericson, repro Kompas, 26/9/2006
Gambar 7. Iklan Sony Ericson, repro Kompas, 26/9/2006
Namun, dalam kondisi kekinian di mana kebebasan pilihan ekspresif bagi perempuan lebih dihargai, perilaku atau aktivitas yang dulu menjadi dominasi laki-laki, mulai banyak dikerjakan pula oleh perempuan. Beladiri ataupun ataupun aktivitas-aktivitas publik yang mengandalkan kekuatan tubuh ataupun mengekspresikan kebebasan mulai banyak diisi oleh kaum perempuan yang dinamis, kuat, dan tidak semata-mata ‘menggunakan’ keseksian mereka untuk berkontestasi. 

Mereka adalah subjek-subjek dari sebuah wacana zaman yang mulai bergeser menuju community of choice. Artinya dari jenis kelamin apapun orang, mereka bisa merelasikan diri dengan pilihan-pilihan yang tidak lagi dibatasi oleh hitam putih konsensus tradisi lama. Dengan mengedepankan kemampuan, mereka bisa memilih untuk berkontestasi dalam mengekspresikan diri mereka dalam ruang-ruang sosial yang dulu ditabukan. 

Tentu saja, hal itu bukan berarti bahwa seorang perempuan harus merelasikan dirinya dengan struktur dan pola aktivitas laki-laki untuk bisa ‘dilihat’ dalam arena publik atau untuk mengatakan bahwa perempuan yang merdeka tetap saja harus merelasikan dirinya dengan tradisi patriarki sehingga mereka tetap saja terhegemoni. 

Perempuan, dalam konteks tersebut, bisa dikatakan sedang melakukan kontestasi untuk menegosiasikan kemampuannya, yang tidak sekedar berada dalam wilayah domestik. Dengan menggunakan tubuhnya sebagai wujud ekspresi, perempuan memperoleh kebebasan yang selama ini banyak dipenjara oleh norma-norma sosial yang diproduksi dan direproduksi oleh tradisi laki-laki.

KEHARMONISAN DALAM BERBAGI

Terlepas dari masih kuatnya, tradisi patriarki dalam masyarakat, sebenarnya terdapat satu wacana yang mulai berkembang yakni relasi harmonis antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan rumah tangga, masyarakat, maupun negara. Konsep ini sebenarnya sudah berlangsung lama dalam masyarakat lokal, meskipun dominasi laki-laki masih lumayan kuat. 

Gambar 8. Iklan HP Samsung, repro Kompas 29/7/2006
Gambar 8. Iklan HP Samsung, repro Kompas 29/7/2006
Gambar 8 merupkaan iklan telepon seluler, Samsung, secara denotatif bercerita tentang sepasang kekasih yang tiduran di atas tanah lapang, sembari mendengarkan musik dari masing-masing telepon mereka—dan dengan lagu yang sama. Dengan mengusung Semangat berbagi dalam kebersamaan, diharapkan mampu menarik minat anak muda untuk membelinya telepon jenis ini. 

Terlepas dari pesan rayuan tersebut, iklan ini berusaha menawarkan satu ideologi keharmonisan dalam berbagi, yang semestinya dipunyai oleh manusia, terutama dalam konteks relasi antara perempuan dan laki-laki. Pesan mitis tersebut, merupakan wacana besar yang bersifat idealistis, di tengah-tengah ketimpangan gender yang masih berlangsung hingga hari ini pada sebagian masyarakat dunia. 

Meskipun demikian, dalam konteks lokalitas, konsep keharmonisan bukanlah hal yang baru. Dalam kehidupan masyarakat desa relasi perempuan dan laki-laki bisa berjalan secara harmonis karena adanya kekuatan tradisi yang dijalankan turun-temurun. Perempuan dan laki- laki bahu-membahu dalam menjalankan aktivitas pertanian maupun kehidupan sosial. 

Dalam kehidupan masyarakat modern, wacana tersebut sebenarnya juga mulai banyak dikembangkan. Tidak hanya sebatas dalam hal memaduh kasih yang mensyaratkan kesalingpahaman, tetapi juga dalam persoalan pekerjaan. Wacana yang berkembang bukan lagi konteks dominasi di mana dalam pekerjaan kaum laki-laki lebih banyak memperoleh akses dengan meng-eksklusi peran perempuan dalam aspek-aspek minor, tetapi juga meng-inklusi perempuan dalam peran-peran strategis pekerjaan. 

Dan, konsep keharmonisan tersebut, bukan dalam hal perempuan dengan keseksiannya berperan penting dalam transaksi-transaksi bisnis serta mengimbangi pertimbangan- pertimbangan rasional laki-laki, tetapi perempuan sebenarnya juga mampu menggunakan kecerdasannya dalam mengambil keputusan-keputusan penting. 

Prinsip yang dikedepankan adalah kerjasama yang saling melengkapi berdasarkan kemampuan, dan bukan berdasarkan tubuh semata. Memang wacana tersebut belum sepenuhnya diterima dan dilaksanakan, tetapi bisa menjadi semangat yang terus disosialisasikan di wilayah-wilayah pekerjaan. 

Gambar 9. Iklan Deposito BPTPN, repro 7/10/2006
Gambar 9. Iklan Deposito BPTPN, repro 7/10/2006

Gambar 9 merupakan iklan Deposito BTPN yang dengan jelas menggambarkan seorang suami dan istri yang bersama-sama mengasuh anak semata wayangnya dalam nuansa kebahagiaan. Nuansa keharmonisan dan ketenangan menjadi target dari BTPN karena ingin menekankan betapa dengan deposito yang ditawarkan, suami istri akan tenang dalam memenuhi keperluan rumah tangganya, termasuk keperluan anaknya. 

Sekali lagi, ini adalah konsep tentang "keharmonisan dalam berbagi", terutama dalam mengatur persoalan rumah tangga, lebih khusus bagaimana mendidik anak. Seorang suami bersama- sama istrinya sangat mungkin dan memang bisa untuk berbagi dalam bermacam persoalan rumah tangga. Artinya, mitos ini mendukung wacana tentang keutuhan rumah tangga dalam relasi gender yang adil dan stara, bukan lagi didasarkan pada dominasi, tetapi kesepahaman untuk menjalankan fungsi dan peran kooperatif. 

IKLAN & RAGAM IDEOLOGI GENDER: SIMPULAN

Ragam analisis yang sudah disampaikan, paling tidak, menunjukkan betapa iklan dalam media tidak bisa semata-mata dianggap sebagai institusi ‘penyubur’ hegemoni patriarki, sebagaimana yang selama ini banyak digeneralisir oleh beberapa kajian, meskipun masih ada juga iklan yang masih berusaha menyuburkan hegemoni patriarki. 

Iklan, bagaimanapun, merupakan sebuah medium representasi yang diperebutkan kekuatan-kekuatan wacana yang ada dalam masyarakat. Iklan, dengan beragam tubuh laki-laki dan perempuan yang pada awalnya ditujukan untuk ‘merayu massa’ dari analisis representasi ternyata bisa ‘menawarkan’ muatan-muatan ideologis yang mungkin dianggap wajar oleh para pembaca. 

Dan memang kewajaran itulah yang menjadikan persoalan ideologi terkonstruk sebagai sesuatu yang natural sehingga interplasi subjek berjalan dengan tanpa disadari. Artinya iklan tidak bisa lagi digeneralisir semata-mata menjadi medium penyebaran dan penguatan ideologi kapitalis, tetapi bisa berpotensi subversif, melawan dan memberikan kejutan bagi hegemoni ideologi patriarki. 

Wacana feminis, melalui iklan, mampu memberikan tawaran baru tentang peran strategis perempuan dalam kontestasi. Dengan kata lain, tubuh dalam iklan merupakan tubuh ideologis yang ‘terpecah-pecah’ (fragmented) sebagai akibat negosiasi ragam wacana ideologis yang berkembang dalam masyarakat. 

Dari kajian partikular ini, paling tidak bisa dikonseptualisasikan beberapa temuan berkaitan dengan kelelakian dan keperempuanan serta perannya dalam pemunculan ragam mitos dan wacana ideologis kepada subjek-subjek pembaca. Tubuh laki-laki dalam wujudnya yang lebih rapi, sopan, elegan, dan intelek (dalam arti tidak semata-mata menonjolkan penonjolan otot dan keperkasaan)  dalam iklan (Gambar 1 dan 2) merupakan alat representasi, berupa tanda visual, yang cukup efektif dalam memapankan keberlangsungan dan keberlanjutan hegemoni ideologi patriarki dalam masyarakat, terutama dalam sektor pekerjaan.

Serupa dengan kelelakian, keperempuanan dalam iklan juga menjadikan tubuh sebagai sebuah alat negosiasi mitos dan wacana ideologis yang tengah berkembang. 

Pertama, dengan pencitraan dinamis, tetapi tetap harus seksi (Gambar 2), tubuh perempuan menjadi boomerang bagi subjek perempuan karena cenderung mengurungnya dalam panoptikon gaya baru yang di satu sisi memberi kebebasan bagi perempuan berkontestasi dalam wilayah kerja, tetapi dengan catatan harus tetap menjaga keseksiannya agar tetap sedap dipandang mata. Artinya ideologi patriarki tetap memainkan hegemoninya melalui ‘politik seolah-olah’ memberikan kebebasan, sehingga subjek perempuan merasa dihargai dan berkenan untuk tetap merawat tubuhnya untuk kemudian dijadikan ‘objek pandangan’ laki-laki. 

Kedua, tubuh perempuan dalam citra elegan dan dinamisnya (Gambar 3) mampu menjadi tanda bagi kedinamisan, kecerdasan, dan kemampuan perempuan dalam dunia karir. Ketiga, citra liar perempuan (Gambar 4 dan 7) merupakan alat subversif untuk mendobrak tatanan mapan bercampur tabu dari kuasa patriarkal yang menganggap perempuan tidak pantas melakukan pekerjaan ataupun aktivitas di luar kodratnya yang lemah lembut.

Dalam konteks kedua dan ketiga representasi perempuan dalam iklan-iklan tersebut bisa diasumsikan sebagai alat negosiasi bagi kepentingan perempuan. Apabila kondisi ini mampu terus disebarkan sebagai wacana, tidak menutup kemungkinan bisa menjadi ‘blok historis’ baru yang akan mampu menawarkan tandingan untuk melawan hegemoni lama dalam pertarungan wacana. 

Namun, itu semua membutuhkan perjuangan yang mampu menjadi kesadaran dari para perempuan, terutama mereka yang mempunyai akses terhadap institusi publik, seperti lembaga pendidikan ataupun media, dan juga sinergitas dengan kekuatan-kekuatan reformatif lainnya seperti kelompok akademisi kritis/organik maupun LSM.

Yang tidak kalah penting adalah representasi kelelakian dan keperempuanan dalam citra harmonis (Gambar 8 dan 9). Tubuh laki-laki dan perempuan dalam citra yang akrab dan ramah menunjukkan betapa sebenarnya laki-dan perempuan mampu melakukan sharing dalam suasana yang cukup harmonis, padu, dan setara. 

Ini merupakan satu nilai ideal yang bisa menjadi alternatif perjuangan bagi kesetaraan gender yang tidak harus semata-mata menyalahkan laki-laki. Karena, toh, laki-laki juga merupakan subjek dari wacana ideologis yang sudah berlangsung dan bertransformasi turun-temurun.

Tanpa menegasikan fungsi kapitalisnya, iklan, berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, sebenarnya bisa menjadi alat populis untuk mempertarungkan wacana untuk memunculkan wacana baru serta bisa berperan dalam memperluas kesadaran publik tentang kesetaraan gender, tentu saja, kalau para pembuatnya mampu mengapresiasi dan menegosiasikan wacana kesetaraan gender dalam karya iklan mereka. 

Kesadaran itulah yang ke depan harus diperjuangkan, khususnya di jagat media. Karena media merupakan budaya populer yang mampu mempengaruhi perubahan. Sudah saatnya para aktivis dan pemikir feminis melakuakn gerakan untuk mengkampanyekan kesadaran gender kepada para praktisi iklan dan media untuk menciptakan produk-produk yang secara kreatif mampu menyebarkan kesadaran gender di tengah-tengah masyarakat. 

Strategi dan teknik representasi bisa dijadikan sebagai entry point karena persoalan itu akan berkaitan langsung dengan politik penandaan yang disampaikan kepada publik. Sekapitalis apapun sesutau, selalu tersisa nilai subversif yang bisa dinegosiasikan, tentu kalau ada keberanian untuk berpikir dan bertindak, sehingga muncul karya-karya kreatif yang tidak hanya melayani modal, tetapi juga sedikit banyak menawarkan pencerahan dengan cara-cara yang populis. 

BAHAN BACAAN

Abdullah, Irwan.2002. “Tubuh: Ekspansi Pasar dan Reproduksi Ketimpangan Gender”, dalam Adi Wicaksono, dkk (ed). Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Identitas Budaya Massa. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.

Barthes, Roland.1972. Mythologies. New York: Hill and Wang.

Bennet, Tony.1986. “Introduction: the turn to Gramsci” dalam Tony Bennet, Colin Mercer, and Janet Woollacott. Popular Culture and Social Relation. Philadelphia: The Open University Press.

Foucault, Michel.1980. Power/Knowledge. Brighton: Harvester.

Foucault, Michel. 2002. Arkeologi Pengetahuan. (terj. oleh H.M. Mochtar Zoerni). Yogyakarta: Qalam.

Hall, Stuart.1982. “Rediscovery of ideology: the return of the repressed”, dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennet, James Curran, and Janet Woollacott (eds). Culture, Society, and the Media. London: Metheun.

Hall, Stuart. 1996. “The problem of ideology, Marxism without guarantees”, dalam David Morley and Kuan-Hsing Chen. Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.

Hall, Stuart. 1997. “The Work of Representation” dalam Stuart Hall (ed). Representation: Cultural Representation and Signifying Practices.vLondon: Sage Publication in association with The Open University Press.

Sunardi, ST.2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik.

Walby, Sylvia. “Theorizing Patriarchy” dalam Jurnal Sociology, vol. 23 no. 2, Mei 1989.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun