Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ragam Konstruksi Perempuan dan Laki-laki dalam Iklan

8 Desember 2021   11:56 Diperbarui: 8 Desember 2021   12:21 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 3. Iklan Auto 2000, repro Kompas, 2/10/200

Hal itu menandakan betapa laki-laki mengutamakan pertimbangan- pertimbangan yang serba matang dalam menginvesatasikan kekayaan yang mereka miliki. Mereka tidak semata-mata menggunakannya untuk keperluan- keperluan sekunder, tetapi lebih memilih pada penggunaan untuk melipatgandakan keuntungan finansial. Artinya, rasionalitas laki-laki melalui iklan ini hendak ditegaskan lagi sebagai bentuk yang memang sudah seperti itu adanya. Superioritas patriarki kembali berlangsung dalam representasi tersebut.

Tentu representasi tersebut merupakan penegasan kembali wacana keutamaan laki-laki dalam ideologi patriarki, terutama dalam konteks bisnis. Laki-laki selama ini banyak digambarkan sebagai pebisnis-pebisnis sukses yang selalu mempunyai hitungan-hitungan matang dan cermat tentang kemungkinan- kemungkinan peluang matang. Hal itu bukan berarti bahwa tidak ada perempuan yang berhasil mengendalikan perusahaan.

Namun, selama ini wacana yang direpresentasikan dalam iklan lebih banyak menggambarkan citra-citra laki-laki yang mapan dan meyakinkan dalam menjalankan bisnisnya. Wacana tersebut sejalan dengan wacana-wacana lain yang berkaitan dengan peran laki-laki dalam rumah tangga yang diposisikan sebagai pencari nafkah dan wajib menghidupi semua anggota keluarganya. Pengetahuan tentang kematangan laki-laki yang berasal dari formasi diskursif tersebut pada akhirnya mempengaruhi pemahaman masyarakat di Indonesia sehingga wajar kalau laki-laki tetap diyakini sebagai ‘makhluk superior’.

Gambar 6. Iklan Standard Chartered Bank, repro Kompas, 13/04 2007  
Gambar 6. Iklan Standard Chartered Bank, repro Kompas, 13/04 2007  
Namun, meskipun sama-sama menampilkan fasilitas kredit, iklan dari Standard Chartered Bank (SCB), Gambar 6, ternyata menampilkan citra berbeda. Kalau dalam iklan BII, laki-laki dikonseptualisasikan sebagai sosok yang matang dalam hal pertimbangan-pertimbangan finansial, terutama investasi, dalam iklan SCB, sebaliknya. 

Iklan SCB menampilkan seorang perempuan karir tersenyum ceria sehabis belanja, dengan menenteng tas dari sebuah pusat perbelanjaan. Citra tersebut memang digunakan untuk menarik minat para perempuan karir agar mau menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan SCB, karena memberikan kemudahan-kemudahan yang dibutuhkan seorang perempuan karir.

Tentu saja, banyak perempuan karir yang beranggapan bahwa mereka berhak membelanjakan apa yang telah mereka peroleh dari kerja. Memang itu benar dan sah dalam konteks kontestasi ekonomi. Namun, dengan pandangan itu, mitos bahwa perempuan sebagai ‘makhluk belanja’, semakin menjadi wajar, meski dengan menggunakan kartu kredit yang sangat mungkin memberatkan keuangan mereka. 


Artinya mereka telah masuk ke dalam formasi wacana besar yang menempatkan perempuan dalam posisi subjek yang memang harus mengikuti ‘kodrat’ suka  berbelanja. Sehingga, sehebat apapun perempuan dalam karirnya, toh, ia tetap tidak bisa lepas dari tindakan untuk berbelanja. 

PEREMPUAN YANG MENENDANG

Gambar 7 adalah iklan dari telepon seluler Sony Ericsson generasi baru yang memadukan antara kemampuan komunikasi dan entertainment, dalam hal ini musik. Terlepas dari pesan tersebut, gambar perempuan yang melakukan gerakan akrobatik menendang, semacam gerakan beladiri capuera dari Brasil, mengkonstruksi makna tentang "kebebasan ekspresif perempuan". 

Tentu saja representasi seperti itu jarang kita jumpai ketika wacana feminisme belum berkembang. Pada masa lampau, perempuan yang berperilaku ‘liar’ dan terlibat dalam olah raga yang biasa dimainkan laki-laki, seperti bela diri, akan dianggap sebagai berperilaku menyimpang, dan dengan demikian diposisikan sebagai liyan yang bisa saja dikucilkan dari masyarakat. 

Gambar 7. Iklan Sony Ericson, repro Kompas, 26/9/2006
Gambar 7. Iklan Sony Ericson, repro Kompas, 26/9/2006
Namun, dalam kondisi kekinian di mana kebebasan pilihan ekspresif bagi perempuan lebih dihargai, perilaku atau aktivitas yang dulu menjadi dominasi laki-laki, mulai banyak dikerjakan pula oleh perempuan. Beladiri ataupun ataupun aktivitas-aktivitas publik yang mengandalkan kekuatan tubuh ataupun mengekspresikan kebebasan mulai banyak diisi oleh kaum perempuan yang dinamis, kuat, dan tidak semata-mata ‘menggunakan’ keseksian mereka untuk berkontestasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun