Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak Identitas Using Banyuwangi di Masa Kolonial

22 November 2021   09:00 Diperbarui: 22 November 2021   10:45 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari seblang di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Hal itu tentu tidak berlebihan karena dalam hal ekspresi memang komunitas Using-lah yang memiliki penanda kultural yang mampu memunculkan kemeriahan. Kebo-keboan, seblang Bakungan dan Olehsari, gandrung, kuntulan, dan barong Kemiren merupakan sebagian ritual dan kesenian yang diyakini berakar dari tradisi Using, meskipun dalam kenyataannya sudah menerima pengaruh sinkretis dari budaya-budaya lain. 

Namun, benarkah identitas Using yang dikonstruksi sebagai identitas kultural dominan di Banyuwangi tersebut sejak awal menjadi nama mereka tanpa campur-tangan ataupun rekayasa para pelaku kultural maupun aparatus negara? Dalam konteks apa sebenarnya istilah Using berkembang? 

Siapa saja yang berperan dalam mengkonstruksi ke-Using-an dalam ranah sosio-kultural? Kepentingan-kepentingan apa yang mereka mainkan? Bagaimana dinamika konstruksi identitas Using? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan saya uraikan dan menjadi warna dari tulisan ini.

Sebuah identitas etnis bukanlah sekedar warisan turun-temurun dari nenek-moyang. Lebih dari itu, ia muncul dan berkembangnya sebuah identitas juga tidak terlepas dari berbagai-macam peristiwa politik maupun sosial yang menimpa anggota komunitas etnis tertentu. 

Bahkan, identitas yang melekat kepada komunitas tertentu juga bisa tumbuh karena adanya identifikasi dari komunitas lain yang memosisikan etnis yang diidentifikasi sebagai liyan yang berbeda. Seringkali terjadi, sebuah komunitas etnis tertentu pada awalnya tidak mengindentifikasi diri mereka dengan "nama" atau "istilah" tertentu, tetapi orang luarlah yang memberikan label tersebut. 

Namun, karena sudah biasa dilabeli dan mereka pun tidak mempermasalahkannya, atau bahkan, merasakan kebanggaan tersendiri, maka para anggota komunitas tersebut pada akhirnya menerima dan membiasakan diri dengan sebutan tersebut. Dalam perkembangannya, identitas tersebut tentu akan berdialektika dengan kondisi zaman, sehingga tidak bisa hanya dipahami secara esensial dan sudah jadi sedari awalnya.

Lalu, bagaimana kita harus mendudukkan identitas Using? Pertanyaan ini sampai sekarang masih menjadi perdebatan, meskipun beberapa sarjana Belanda di era kolonial dan sarjana Indonesia di era pascakolonial sudah berusaha merekonstruksi kedirian masyarakat yang bertempat tinggal di Banyuwangi ini. 

Seorang warga Eropa bersama warga Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Seorang warga Eropa bersama warga Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Sebagian sarjana Belanda mendasarkan konstruksi mereka dari catatan harian yang dibuat oleh pejabat pemerintah kolonial dengan merujuk pada kekalahan prajurit Blambangan dalam peperangan melawan mereka. Sebagian intelektual Banyuwangi mengkonstruksi pendapat mereka dari penelusuran historis sejak masa Majapahit dan Belanda, penggunaan istilah Using dalam kehidupan kultural masyarakat, tafsir politiko-kultural terhadap kesenian gandrung. 

Sebagian lagi menolak atau mengkritisi labelisasi identitas Using (terkait bahasa, budaya, suku) karena dianggap merendahkan martabat masyarakat pewaris kejayaan Bhre Wirabumi (zaman Majapahit) dan Prabu Tawang Alun (pasca runtuhnya Majapahit). Sementara, para tokoh adat, budayawan, dan sebagian seniman tetap bersikukuh bahwa identitas dominan di Banyuwangi adalah Using karena kesenian, ritual, dan bahasa memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan Jawa dan Bali. 

Tentu saja, perspektif-perspektif tersebut memiliki kekhususan diskursif dan tujuan politiko-kultural yang didasarkan pada banyak pertimbangan; dari sudut pustaka, rasionalisasi personal dan komunal, serta kepentingan yang mendasari lahirnya tulisan dan pendapat tersebut.

Hal ini tentu menjadikan persoalan identitas Using di masa kini bersifat lebih kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, saya harus menafsir-ulang bermacam tafsir yang telah ditulis oleh para pakar ataupun yang diceritakan oleh para pelaku kultural, termasuk tokoh adat, budayawan, intelektual, wartawan, maupun pelaku sastra dan seni. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun