Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak Identitas Using Banyuwangi di Masa Kolonial

22 November 2021   09:00 Diperbarui: 22 November 2021   10:45 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penari seblang di era kolonial. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda

Keyakinan pada adat-istiadat dan semangat untuk bisa survive di tengah-tengah dominasi inilah yang menjadikan orang-orang Using muncul sebagai komunitas yang berkepribadian tangguh dan tidak pernah memadamkan semangat untuk menjaga soliditas dan solidaritas komunal. 

Tentu saja, hal itu dibutuhkan karena secara politis dan sosial, di zaman kolonial, mereka memang dikalahkan dan tidak mendapatkan posisi strategis dalam struktur birokrasi yang lebih banyak diisi oleh orang-orang Eropa dan Jawa Kulonan.

Apa yang menarik untuk diperbincangkan lebih jauh lagi adalah kenyataan bahwa komunitas Using juga terbuka dengan peradaban-peradaban baru yang masuk. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari pertemuan panjang dengan etnis-etnis lain, baik sebelum masa pra-kolonial maupun pada masa kolonial Belanda. 

Hasil dari pertemuan itu misalnya bisa dilacak melalui berbagai macam kesenian Using yang merupakan hasil interaksi dengan kekuatan estetik maupun religi dari etnis-etnis lain. Meskipun demikian, mereka tetap mengakuinya sebagai kekayaan Using. 

Menurut hipotesa historis yang dibuat oleh Hamid (2012), warga Blambangan adalah penerus ras Arya ("ras yang mulia" karena menurunkan raja-raja Jawa) yang terkenal dengan kepandaian dan kegagahan dari garis keturunan Bhre Wirabumi. 

Lukisan lanskap rumah di Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Lukisan lanskap rumah di Banyuwangi. Foto: Collectie Tropenmuseum Belanda
Sebagai ras unggul, selain ketangguhan dan keindahan fisik, mereka juga memiliki kekuatan kultural untuk bisa mempertahankan ciri khas, tetapi tetap berdialektika dengan pengaruh budaya luar tanpa harus larut dan tetap menjaga identitas mereka. Artinya, meskipun secara politis mereka dikalahkan oleh kekuatan dominan yang menindas, tetapi mereka tidak menutup diri sepenuhnya. Sebaliknya, pilihan untuk menyerap pengaruh luar merupakan siasat kultural untuk menegaskan kekuatan adaptif tanpa harus meluruhkan identitas asal sepenuhnya. 

Mereka menyadari bahwa menutup diri dalam eksklusivisme komunitas adalah pilihan yang hanya menjadikan eksistensi komunitas eks-Blambangan semakin tersisihkan. Apalagi, pemerintah kolonial Belanda mulai membuka wilayah Banyuwangi sebagai daerah pertanian dan perkebunan. Penjajah mendatangkan masyarakat dari Jawa (Mataraman, Panaragan), Madura, Bugis-Makassar, dan Mandar untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan (Anoegrajekti, 2010: 175). 

Kondisi ini menjadikan komunitas Using tidak bisa lagi menolak kehadiran etnis-etnis lain yang pada masa sebelumnya menjadi kekuatan dominan yang mengganggu eksistensi mereka. Meskipun orang-orang Using adalah pewaris sah dari bumi Banyuwangi, tetapi dalam urusan birokrasi kolonial mereka tidak menempati jabatan-jabatan strategis karena Belanda lebih memilih orang-orang Jawa untuk menduduki jabatan-jabatan strategis. Kondisi ini berlangsung hingga masa kemerdekaan. 

Menurut saya, marjinalisasi ini menjadi salah satu sebab muncul dan berkembangnya benih-benih solidaritas komunal di antara komunitas Using hidup di wilayah-wilayah pedesaan. Salah satu cara yang dilakukan adalah munculnya komitmen untuk melanjutkan adat-istiadat dan memobilisasi wacana-wacana yang tetap bisa menggerakkan energi komunal untuk memperkuat identitas. 

Menjadi wajar ketika sarjana Belanda memberikan penilaian yang berbeda terkait eksistensi komunitas Using di Banyuwangi pada masa kolonial. Dalam catatan Lekkerkerker, terdapat beberapa nilai dan praktik kultural yang membedakan identitas masyarakat Using dengan Jawa dan Madura di Banyuwangi.

Dari rakyat Blambangan yang tua itu hanya di Banyuwangilah terjadi suatu pemulihan kembali berkenaan dengan kesejahteraan dan jumlah mereka; apa yang dinamakan orang-orang "Using" (dari kata "Using", "sing", yaitu kata bahasa pribumi, sebenarnya suatu kata yang berasal dari bahasa Bali untuk arti "tidak"); orang-orang Using itu menunjukkan ke-liyan-an mereka dengan tajam sekali dari suku bangsa Madura di daerah tersebut, tetapi mereka juga menunjukkan ke-liyan-an mereka dari sejumlah besar pendatang orang Jawa dari Barat, yaitu yang dinamakan "orang-orang Kulon". 

Keberadaannya dari ketiga golongan bangsa yang jarang sekali berkumpul itu memberi kepada pemerintah daerah suatu corak timpang. Watak, bahasa, dan adat-istiadat orang Using sangat menyimpang dari yang dipunyai oleh orang-orang Jawa lainnya; mereka itu masih menerima misalnya kawin lari dan juga terkenal sekali atas sikap harga diri mereka, kejujuran mereka, keras kepala mereka, keengganan mereka untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada orang-orang Eropa. Disebabkan atas pemilikan mereka atas tanah ladang yang luas, maka orang-orang Using itu adalah petani-petani yang sejahtera. Juga kebiasaan sifat mereka untuk mencari hasil-hasil hutan masih kuat tertanam pada diri mereka. (Lekkerkerker, 2005: 78) 

Sama dengan Scholte, Lekerkerker menempatkan kekhususan kultural yang dimiliki oleh masyarakat Using. Meskipun pada awalnya gaya orientalisnya muncul dengan penyebutan budaya dan masyarakat Using yang menyimpang dari tradisi Jawa seperti kawin lari atau dalam bahasa lokal disebut kawin mlayokaken, Lekerkerker tetap memberikan apresiasi terkait kunggulan mereka yang memiliki sikap kesatria. Jujur, mempertahankan harga diri, keras kepala, dan tidak mau bekerja sebagai pembantu di rumah tangga Eropa merupakan identitas kultural terkait sikap hidup komunitas Using.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun