Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gandrung Banyuwangi Pascareformasi: Antara Pelestarian dan Dekapan Politik

6 Desember 2021   06:28 Diperbarui: 6 Desember 2021   06:36 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung gandrung di kawasan pantai Watu Dodol. Foto: Dok. Banyuwangibagus.com

Di masa pasca Reformasi, rupa-rupanya, polarisasi ini masih hidup. Pada zaman RAL, Hasnan Singodimayan masih sering dimintai pendapat oleh bupati ketika menghadapi permasalahan atau mendapatkan sorotan publik terkait kebijakan budayannya, sampai-sampai Hasnan seringkali diolok-olok sebagai "orangnya bupati". Sementara, Armaya dan kelompoknya dalam Pusat Studi Budaya Banyuwangi (didirikan tahun 1996) lebih memilih mengkader intelektual dan sastrawan muda untuk melakukan kritik terhadap dinamika kebudayaan Banyuwangi.

Dari konflik kultural yang berlangsung di masa RAL ini kita bisa membaca bahwa identitas komunal Using yang diusik, meskipun berawal dari peristiwa sepele, bisa memunculkan kemarahan dan bangkitnya solidaritas di antara para pelaku seni dan budayawan. Sayangnya, keutuhan di antara mereka belum bisa mengerucut menjadi gerakan perlawanan terhadap kekuasaan RAL. 

Apakah ini karakteristik dari para pelaku kultural di Banyuwangi dalam menghadapi permasalahan terkait eksistensi mereka? Paling tidak, dari masa Orde Baru hingga kepemimpinan Samsul Hadi dan RAL, para pelaku kultural memang tidak dalam satu suara sehingga sangat sulit membuat front bersama. 

Ataukah karakteristik ini lahir karena semangat resistensi sebagaimana ditunjukkan oleh para pahlawan yang mereka agung-agungkan telah dinihilkan atau dihilangkan dari subjektivitas kultural komunitas Using? Kalau kita tilik lagi, semangat kompromi para pelaku kultural memang sudah dibangun sejak Orde Baru di mana mereka diberikan kesempatan untuk merayakan ekspresi kultural Using, tetapi tidak untuk memperkuat narasi perlawanan. 

Akibatnya, ketika ada beberapa pihak yang ingin melawan, energinya tidak langsung menjadikan "teriakan bersama" yang melibatkan para pelaku kultural karena mereka memang tidak terbiasa kontra terhadap kebijakan budaya yang ditempuh rezim negara.

Artinya, kepentingan-kepentingan politiko-kultural yang bisa dimainkan para pelaku kultural di tingkat bawah akan segera menguap; bukan karena rezim penguasa tidak memedulikan, tetapi karena kekuatan suara para pelaku tidak pernah mewujud sebagai kesatuan yang bisa menjadi nilai tawar di hadapan rezim. 

Inilah salah satu kelemahan ketika identitas Using, khususnya yang dikonstruksi dalam ranah kesenian seperti gandrung, hendak dijadikan kekuatan untuk memobilisasi kekuatan komunal. Hal itu ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ada komunitas-komunitas Using tertentu yang tidak menyukai kesenian gandrung. Ketidakutuhan ini sekaligus menegaskan bahwa secara praksis Using bukanlah kesatuan utuh yang mudah digerakkan untuk melawan kekuatan dominan yang oleh sebagian aktor diposisikan mengancam identitas komunal.

PEMBAJAKAN & POLITISASI IDENTITAS 

Kesenian, diakui atau tidak, adalah ekspresi kultural yang paling kentara untuk membaca identitas sebuah komunitas etnis, selain bahasa tentunya. Masalahnya adalah pemunculan, penyemaian, penumbuhan, dan pengembangan kesenian lokal tidak berada dalam ruang nir-intervensi. Pemerintah daerah sebagai rezim penguasa memiliki hak atas nama pelestarian budaya etnis tertentu untuk bisa terlibat atau memanfaatkan kekayaan kultural masyarakat melalui kebijakan-kebijakannya. 

Meskipun dikatakan bahwa pengaruh dari kebijakan-kebijakan tersebut menjadikan identitas bukan sebagai sesuatu yang mapan, pasti, dan memungkinkan retak berdasarkan kondisi zaman (Anoegrajekti, 2010: 181), rezim penguasa tetaplah mampu memainkan relasi-relasi strategis dalam bermacam representasi gandrung dalam dinamika dan gerak perubahan manusia-manusia Using dan Banyuwangi. 

Keutuhan makna heroisme terus-menerus disebarluaskan dalam beragam teks dan pendapat lisan para budayawan. Meskipun para pelaku gandrung acuh tak acuh dengan konstruksi makna tersebut, usaha diskursif rezim nyatanya mampu menjadikan gandrung sebuah medan ideologis yang bisa dimainkan; memperkuat makna identitas Using sekaligus membajaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun