Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kekerasan Seksual di Kampus Harus Dicegah dan Ditangani

13 November 2021   21:35 Diperbarui: 14 November 2021   11:11 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelecehan seksual | Foto dari megapolitan.kompas.com

Hadirnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penangangan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi (lebih dikenal dengan Permendikbud PPKS, tetapi saya menyebutnya Permendikbudristek PPKSDLPT) menuai pro dan kontra. 

Pihak yang pro berpendapat bahwa Permendikbudristek PPKSDLPT ini akan menjadi produk hukum yang bisa mencegah dan menghentikan mata rantai kekerasan seksual yang masih terjadi di perguruan tinggi. Mengapa demikian? 

Karena isinya memang cukup komprehensif, dari urusan definisi dan kategori, aturan dan sistem pencegahan, sanki kepada subjek yang melakukan tindak kekerasan, hingga sanki kepada perguruan tinggi yang lalai dan abai menangangi pencegahan dan memberikan sanksi kepada pelaku. 

Komprehensifnya isi Permendikbudristek PPKSDLPT diharapkan bisa menjadi acuan bagi pergurutan tinggi untuk benar-benar memberikan suasana kampus yang menentramkan bagi para mahasiswa. 

Sementara, pihak-pihak yang kontra menyoroti semangat liberal yang terkandung dalam Permen ini. Pasal yang dipermasalahkan beberapa kategori kekerasan seksual yang menyertakan ungkapan "tanpa persetujuan korban" yang tercantum dalam Pasal 5 Ayat 2. 

Beberapa kategori kekerasan seksual dalam Pasal 2 Ayat 2 yang dianggap bermasalah adalah (b) memperlihatkan alat kelamin; (f) mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual; (g) mengunggah  foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual; (h) menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual; (i) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; (j) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban; (k) membuka pakaian korban. 

Kategori tersebut dianggap bermasalah karena semuanya diikuti dengan ungkapan "tanpa persetujuan korban" atau "tidak disetujui korban". 

Dalam logika mereka yang kontra, kalau dengan persetujuan berarti bukan dianggap kekerasan seksual. Kalau ada pihak-pihak di perguruan tinggi suka sama suka untuk melakukan hubungan seksual, mengikuti logika mereka, tidak bisa dikategorikan kekerasan seksual. Secara logika kebahasaan memang bisa saja ditafsirkan demikian. 

Namun, mereka yang kontra semestinya memahami konteks di balik ungkapan tersebut. Apa yang dimaksudkan dengan "tanpa persetujuan" jelas menunjukkan konteks relasi kuasa antara pelaku-korban yang bersifat dominan-subordinat. 

Pelaku adalah pihak-pihak yang bisa memaksakan hasrat seksualnya kepada korban karena mereka punya kuasa yang cukup dominan. Mereka yang melakukan kekerasan seksual dalam bentuk apapun tentu tidak membutuhkan persetujuan dari korban. 

Jadi, saya memahami konteks "tanpa persetujuan" tidak bisa dijadikan landasan untuk melegalisasi hubungan seksual ketika ada persetujuan. 

Alih-alih, ungkapan tersebut dimaksudkan untuk menegaskan bahwa ada ketidaksetaraan relasi yang menjadikan pihak-pihak dominan melakukan tindakan seksual semaunya sendiri. 

Namun, demikian, pemahaman tersebut memang membutuhkan kecerdasan dalam memahami konteks. Bagi pihak-pihak yang tidak sampai berpikir kontekstual, tentu bisa saja menerima nalar yang diajukan mereka yang kontra Permendikbudristek PPKSDLPT.

Kritik tersebut, menurut saya, bisa menjadi pintu masuk bagi Kemendikbudristek dan kementerian-kementerian lainnya untuk menggandeng linguis yang tidak hanya memahami bahasa secara struktural dan deskriptif, tetapi juga memahami konteks dan aspek kritis dari sebuah ekspresi kebahasaan. 

Akan sangat disayangkan kalau peraturan-peraturan yang dimaksudkan untuk kebaikan menimbulkan kegaduhan hanya karena tafsir yang menimbulkan keriuhan. 

Maka, akan lebih baik kalau Mas Menteri Dikbudristek menerima kritik tersebut sebagai pintu masuk untuk melakukan revisi dalam aspek bahasa tanpa mengubah substasi pencegahan dan sanksi sebagaimana diidealisasi. 

Mas Menteri bisa meminta masukan linguis, ahli hukum, pakar gender, pakar kajian budaya, dan pakar kekerasan seksual untuk memperbaiki ungkapan-ungkapan yang bisa memunculkan tafsir yang merugikan. 

Bagi saya pribadi, semua kritik yang dilontarkan terhadap Permendikbudristek PPKSDLPT tidak boleh menyurutkan langkah Kemendikbudristek untuk menerapkan permen ini. 

Berbagai tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi Indonesia menjadi noda hitam yang mencoreng institusi yang seharusnya mencerdaskan generasi muda. 

Selama ini, pihak kampus ragu untuk menindak pihak-pihak tertentu yang melakukan kekerasan seksual karena ketidakjelasan aturan perundang-undangan. 

Civitas akademika perlu mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam menjalankan tri dharma perguruan. Mereka perlu terbebas dari monster-monster yang mengancam kehidupan mereka di kampus. 

Para penentang yang ingin menggagalkan Permendikbudristek PPKSDLPT seharusnya menelaah lebih lanjut bermacam kasus kekerasan seksual yang tidak hanya menimbulkan trauma dan ketakutan mendalam. Lebih dari itu, para korban harus terancam masa depan mereka. 

Mahasiswa yang menjadi korban, misalnya, seringkali sudah malas dan tidak bersemangat untuk melanjutkan kuliah.

Saya tahu persis betapa korban kekerasan seksual mengalami fase-fase menakutkan dalam kehidupan mereka. Sampai-sampai ada yang berniat bunuh diri. Ini tentu sangat berbahaya bagi masa depan generasi penerus. 

Perguruan tinggi memang harus memiliki landasan hukum untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Beberapa kasus kekerasan seksual seringkali berujung damai ataupun pendiaman karena pihak kampus tidak memiliki cukup keberanian untuk bertindak dan memproses serta memberikan sanksi. 

Saya sendiri punya pengalaman mendampingi mahasiswi yang pernah mengalami kekerasan seksual. Dari situ saya jadi tahu betapa sulitnya korban mengurai trauma dan ketakutan yang ia rasakan. 

Awalnya, ada beberapa kolega dan pihak yang menyarankan agar kasus tersebut diselesaikan secara damai. Si pelaku dipersilahkan minta maaf. 

Namun, bagi saya dan beberapa kolega yang ikut mendampingi si korban, kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan yang terlalu keji di lingkungan perguruan tinggi. Mengapa? Karena mengingkari tanggung jawab untuk mengedukasi manusia-manusia penerus negara dan bangsa serta menciptakan teror batin dan pikiran. 

Saya beruntung, pimpinan di Universitas Jember sangat proaktif, meskipun kasus tersebut terjadi sebelum dikeluarkannya Permendikbudristek PPKSDLPT. 

Begitu si korban berani speak up, saya dan kolega segera menyampaikan ke pimpinan agar berani memprosesnya secara hukum. Dan, begitu sampai ke menteri pada waktu itu, M. Natsir, keputusan tegas langsung dibuat: si pelaku dipecat dari pekerjaannya sebagai ASN Dosen. 

Universitas kami tidak pernah merasa malu dengan kasus tersebut, karena keberanian memproses kasus tersebut merupakan bentuk perjuangan untuk memutus mata rantai kekerasan seksual yang menganggu civitas akademika dan melahirkan banyak ketakutan.

Apa yang terjadi di kampus tempat saya bekerja dan keberanian pimpinan untuk bertindak menjadi rujukan bagi perguruan tinggi lain untuk memproses kekerasan seksual di lingkungan kampus. Apalagi, sampai dengan tahun 2021, kasus kekerasan seksual di kampus masih bisa dibilang banyak. Namun, tidak semua diproses karena bermacam pertimbangan yang merugikan korban. Dengan adanya Permendikbudristek PPKSDLPT, hal-hal seperti itu diharapkan tidak terjadi lagi. 

Berdasarkan pengalaman itulah, saya mendukung sepenuhnya Permendikbudristek PPKSDLPT. Pelaksanaannya bisa menjadi ikhtiar serius untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan biadab di lingkungan yang semestinya mencerdaskan dan memuliakan manusia. 

Suara-suara yang mengatakan permen ini menyuarakan liberalisme tidak usah terlalu digubris karena mereka melakukan generalisasi terhadap aturan yang baik dengan pemahaman yang salah kaprah. Mereka seringkali menyalahkan liberalisme ketika ada kebijakan yang dianggap bertentangan dengan ideal mereka. Sementara, liberalisme itu sangat kompleks dan menjadi kekuatan utama modernisme, meskipun banyak kritik yang bisa dilontarkan.

Mengatakan Permendikbudristek PPKSDLPT mengandung liberalisme dengan makna yang sangat negatif merupakan cara kelompok kontra untuk memunculkan ketidaksukaan publik yang belum tahu isi dari peraturan ini. Lebih ironisnya, generalisasi liberalisme yang disempitkan maknanya merupakan tindakan yang kurang bijak karena menjadikan bangsa ini berpikiran sempit. 

Lebih baik, Kementerian menggelar banyak diskusi di perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan untuk memberikan pemahaman kepada publik. Dengan cara itulah, bangsa ini bisa tahu kekuatan dan kelemahan Permendikbudristek PPKSDLPT untuk kemudian bersama-sama menyuarakan kritik dan perbaikan demi kepentingan bersama. 

Mas Menteri harus mau menerima kritik, tetapi jangan pernah takut untuk melanjutkan peraturan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun