Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Media Sosial, Politik Post-Truth, dan Tantangan Kebangsaan

3 November 2021   11:16 Diperbarui: 3 November 2021   11:24 1494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayangnya, hasrat berpengetahuan sebagian penggiat sejarah atau aktivis kemanusiaan yang semestinya bisa menjadi sarana untuk menyebarluaskan informasi faktual terkait tragedi 65 guna melengkapi dan memperluas perspektif masyarakat malah dituduh ingin membangkitkan-kembali komunisme. Bahkan, di media sosial dan media online heboh pernyataan Panglima TNI soal perintah menonton bareng film G 30 S/PKI atau berita tentang adanya institusi yang mengimpor 5 ribu senjata atas nama Presiden Joko Widodo lebih menarik untuk diikuti dan disebarluaskan ketimbang mengutuk keras pembubaran acara seminar akademis terkait 65 di LBH Jakarta yang jelas-jelas telah membunuh nalar intelektual bangsa ini atau ketimbang menemukan kepentingan sebenarnya di balik mobilisasi tersebut (Heryanto, 2016). 

Apa yang tidak dipikirkan adalah betapa usaha-usaha konstruktif untuk rekonsiliasi tragedi 65 yang melibatkan pihak-pihak yang pernah terlibat menjadi berantakan dengan mobilisasi wacana tersebut. Adalah sebuah warisan yang buruk bagi generasi mendatang ketika mereka harus mendapatkan informasi sepihak yang berasal dari warisan rezim militeristik Orde Baru yang diyakini dan diteruskan sampai dengan saat ini.  

Perkembangan terkini di Indonesia terkait politisasi tragedi 65 dan peristiwa-peristiwa lain seperti gerakan 212 berbasis informasi penistaan agama oleh Ahok yang mengaduk-aduk sisi emosional masyarakat, khususnya mayoritas yang bersepakat dengan isu-isu yang dihembuskan oleh figur penting atau kelompok tertentu di tanah air, menunjukkan betapa peradaban politik bangsa ini sudah masuk ke dalam era "politik post-truth," politik pasca-kebenaran. 

Keunggulan media sosial yang dengan cepat bisa menyebarkan informasi tertentu ke jutaan manusia di sebuah negara, atau bahkan antarnegara, menjadikannya piranti baru yang berperan penting dalam perkembangan politik post-truth di era peradaban digital dan internet dewasa ini. Kecanggihan dan kecepatan media sosial dalam menyebarkan sebuah informasi, terlepas benar atau tidaknya, seringkali menjadikannya 'rujukan pertama' bagi para pengguna, ketimbang media online, apalagi cetak yang semakin sepi peminatnya saat ini. 

Kelihaian dalam memilih kalimat, kata, ungkapan, dan gambar yang bombastis menjadikan status yang dibuat seseorang atau kelompok tertentu di media sosial akan menyebarluas dan dalam sekejap menjadi viral, apalagi kalau berkaitan dengan isu-isu politik atau SARA yang mengendap dalam alam bawah sadar masyarakat. Tidak terhitung lagi, berita terkait perpolitikan nasional yang dimainkan melalui budaya politik post-truth, sehingga kita yang semestinya mengembangkan rasionalitas, menjadi bingung dan ragu harus bagaimana menyikapi trend tersebut. Bahkan, tidak sedikit intelektual yang terjebak dalam lingkaran berita yang diliputi "tabir kepalsuan", meminjam lagu Rhoma Irama.

Media sosial, sejatinya, memiliki fungsi-fungsi konstruktif dalam mengembangkan demokrasi dan memperkuat politik kebangsaan di sebuah negara. Selama revolusi Mesir, Januari-Pebruari 2011, media sosial seperti twitter, facebook, dan mailist group menjadi andalan mahasiswa dan rakyat untuk memperkuat wacana dan memperluas gerakan perlawanan untuk meruntuhkan rezim otoriter Housni Mubarak (Wilson, 2011; Alexander & Aouragh, 2014). Artinya, kecanggihan dan kecepatan media sosial bisa menjadi ajang konsolidasi demokrasi yang tidak bisa semata-mata mengandalkan pertemuan langsung karena ketatnya kontrol rezim negara terhadap aktivitas politik warganya (Li, Lee, & Ying Li, 2016). 

Sentimen kebangsaan bisa terus dipupuk melalui media sosial, khususnya melalui event-event olahraga, tagar solidaritas bencana alam, status kebhinekaan, ekspose keberhasilan pembangunan, dan yang lain. Bahkan, dalam banyak kasus, media sosial sekarang digunakan untuk memromosikan kekayaan pengetahuan, teknologi, dan budaya lokal/pribumi masyarakat di tengah-tengah menguatnya budaya global (Owiny, Mehta, & Maretzki, 2014), yang tentunya bisa menumbuhkan sense of solidarity dan sense of belonging para pengguna android terhadap kekuatan bangsanya. 

Dalam lingkup Indonesia, misalnya, banyak kaum muda yang menjadikan media sosial untuk memromosikan kekayaan budaya lokal dan pesona alam daerah mereka masing-masing. Inisiatif-inisiatif yang tumbuh di wilayah lokal ini menandakan bahwa sebagai bagian tak terpisahkan dari proses globalisasi, kaum muda itu mampu memanfaatkan dan memaksimalkan peradaban android melalui media sosial untuk menyebarluaskan kekayaan alam dan dinamika budaya lokal yang masih eksis. Cara tersebut memang tidak bombastis, tetapi mampu menjadi kekuatan soft diplomacy yang terbukti efektif. Demikian pula dalam hal solidaritas bencana, media sosial memainkan peran cukup signifikan karena kecepatannya mampu menggiring rasa empati publik dan bisa segera mengumpulkan donasi untuk meringan penderitaan para korban.

Sangat disayangkan ketika budaya politik post-truth menjadi lebih dominan dan menggeser peran strategis media sosial. Diakui atau tidak, bangsa ini memang masih menyimpan banyak permasalahan yang bisa dikomodifikasi oleh individu atau kelompok tertentu untuk kemudian diledakkan melalui viral di media sosial. Persoalan SARA, misalnya, bisa setiap saat dimanfaatkan untuk "memobilisasi kecemasan dan ketakutan" komunitas tertentu apabila individu atau kelompok yang berbeda dalam hal agama atau suku berkuasa. Mobilisasi semacam itulah yang, pada akhirnya, akan me-recall sentimen identitas yang menjadi struktur dalam sebuah komunitas, karena sama-sama merasakan keterancaman yang sebenarnya diintrodusir melalui bermacam informasi. 

Di era post-truth, gerakan politik identitas yang semestinya bisa menjadi kekuatan konstruktif untuk melawan penindasan kekuatan dominan yang ingin mengeksploitasi kekayaan alam sebuah negara dan daerah atau memarjinalkan komunitas tertentu (Walter, 2010;  Wane, 2009; Wilkes, 2006; Windborne, 2006; Todd, 2003), berubah menjadi kekuatan destruktif untuk memusuhi sesama anak bangsa yang semestinya bahu-membahu mengatasi masalah perbedaan untuk memromosikan kesetaraan sebagai sebuah bangsa. Apa yang menakutkan adalah ketika budaya politik post-truth menjadi ajang bagi individu atau kelompok tertentu untuk mengeruk kepentingan ekonomi-politik mereka dan mengabaikan bangunan kebangsaan. 

Politik post-truth menjadikan komunitas, masyarakat, dan bangsa rentan terhadap mobilisasi kepentingan yang sejatinya bukan untuk memberdayakan kebangsaan. Kecenderungan yang terjadi adalah memelihara dendam, kecemasan, dan ketakutan yang akan menghalangi perwujudan persatuan nasional. Sayangnya, yang diuntungkan dari keadaan ini bukanlah warga atau rakyat, tetapi kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan dan memobilisasi bermacam informasi tendensius. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun