Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Masa Lalu dalam (Cerita) Masa Kini: Poskolonialisme dan Tantangan-tantangannya dalam Kapitalisme Global (1)

30 Oktober 2021   09:10 Diperbarui: 30 Oktober 2021   11:38 866
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, karena peniruan yang menghasilkan budaya hibrid atau parsial itu berada di garis-batas, sebagian “tradisi ibu” mereka masih terjaga. Itulah bentuk resistensi yang dikonseptualisasikan Bhabha; resistensi yang dikonstruksi secara diskursif dalam praktik tulisan maupun kehidupan sehari-hari yang tidak sepenuhnya menerima kebebasan mutlak maupun sekulerisasi sebagai karakteristik budaya dominan; metropolitan. Itulah mengapa karya-karya representasional seperti karya sastra dan film tentang subjek diaspora Asia maupun Afrika di Eropa maupun Amerika Serikat selalu menyisakan “ruang transisi di garis-batas” yang dengannya subjek pascakolonial-diasporik mampu survive dengan cara memasukkan sebagian pengetahuan modern di negara-negara induk ke tengah-tengah budaya ibu. 

Sementara, kehadiran mereka juga memberikan warna baru bagi wilayah metropolitan karena negosiasi sebagian budaya ibu dalam praktik representasional dan diskursif yang dilakukan para penulis—sebagai salah satu bentuk minoritas-sebagai-agen—mampu masuk ke dalam pengetahuan kultural metropolitan sehingga stereotipisasi terhadap liyan Asia maupun Afrika ataupun perbedaan biner ikut terganggu. Salman Rushdie, terkait novelnya The Satanic Verses, mengatakan: 

“The Satanic Verses merayakan hibriditas, ketidakmurnian, kebercampuran, transformasi-transformasi yang memunculkan kombinasi-kombinasi baru dan tak terkira dari manusia, budaya, ide, politik, film, dan lagu….Percampuran, kumpulan campur-aduk, sedikit dari sini sedikit dari sana merupakan cara bagaimana kebaruan memasuki dunia. Adalah sebuah kemungkinan besar bahwa migrasi massal memberi pada dunia, dan saya mencoba untuk mencakupnya. The Satanic Verses dtujukan untuk perubahan-melalui-fusi, perubahan-melalui-penggabungan. Ia adalah senandung-cinta untuk diri-diri yang terpinggirkan.” (dikutip dalam Mishra, 2007: 224).

“Wacana minoritas” sebagai produk dari “minoritas produktif” di tengah-tengah budaya metropolitan memang tampak tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti prosedur-prosedur kekuasaan hegemonik, tampak menjadi bagian dari aliansi dalam masyarakat di negara induk, termasuk menggunakan bahasa Inggris. Namun, mereka mampu mengubah garis-batas atau batasan kultural biner yang menjadikan mereka sebagai subjek dalam ketidakterlihatan, menjadi kosmopolitan tetapi tidak sepenuhnya, yang sekaligus meresistensi dan membalik kekuasaan tersebut. 

Menurut Bhabha (1998: 126-127), kondisi “wacana minoritas” dalam karya-karya representasional maupun kehidupan sehari-hari yang ditandai deteritorialisasi, kedekatan politis, dan nilai kolektif memang tidak bisa menjawab permasalahan agensi dalam artian aksi nyata. Deskripsi agensi dalam tulisan minoritas adalah melampaui “kategori tradisional dari dua subjek”. Mereka dapat secara senyap menemani prosedur-prosedur hegemoni sebagai tindakan “yang tidak berbicara” dari kekuasaan; tetapi ketikakmenentuan rujukan atau “ketidakterlihatan” juga bisa menjadikan mereka sebagai ritual yang “tidak terbicarakan” dari resistensi dan pembalikan. Minoritas produktif yang bergerak melampaui “kategori dua subjek” mengartikulasikan kemunculan minoritas sebagai bentuk identifikasi melalui proses afektif dari “ketakutan”. 

Dalam kondisi ketakutan di tengah-tengah mayoritas dominan, bagian terdalam dari wacana minoritas menyentuh titik keterbelakangan atau ketertinggalannya dari budaya dominan dan kemudian mengaktifkan deteritorialisasi bahasa Inggris, misalnya, dilepaskan dari fungsi metaforis sebagai bentuk kekuasaan subjek metropilitan. Adalah penggunaan bahasa yang membebaskannya dari fungsi “metaforisnya” dan mengubah tindak tuturnya ke dalam fenomena garis-batas: melintasi batasan dan mengubah batas, di mana satu bahasa bisa memenuhi fungsi tertentu bagi satu material dan fungsi lainnya untuk material lain. Agensi minoritas muncul melalui ketakutan untuk memproduksi kondisi afektif dari pilihan terkait harus melakukan sesuatu, atau bahkan gagal untuk menangkap harapan emansipatoris, tetapi dalam keduanya, dihadapi sebagai pilihan.

Sebagai “politik-kultural”, pemikiran Bhabha juga menjadi kritik terhadap kebangkitan pemikiran dan gerakan berbasis identitas esensial, baik dalam lingkup nasional sebuah negara maupun transnasional, yang digunakan untuk membuka ruang perbedaan rasial, etnis, bangsa, wilayah maupun agama demi mencapai tujuan-tujuan politis tertentu (1998: 59). Pembunuhan terhadap Muslim Bosnia di semenanjung Balkan, genosida di Rwanda, pertikaian kelompok Hindu dan Muslim di India, maupun gerakan pemertahanan ras kulit putih di Inggris maupun Amerika Serikat dengan eksploitasi terhadap subjektivitas migran-liyan, hanyalah sedikit contoh bagaimana mobilisasi identitas berbasis klaim-klaim terhadap “budaya asli” yang bercampur kepentingan politik untuk memapankan kelompok partikular tanpa menimbang kemungkinan terbentuknya budaya lintas-batas telah mengembalikan manusia pada sejarah panjang liyanisasi dan kolonialisasi.

Dalam konteks Indonesia, persoalan serupa juga berlangsung dalam tataran yang lebih kompleks. Sejarah panjang Orde Baru yang memosisikan budaya lokal masyarakat pedalaman di banyak daerah sebagai liyan yang harus “dididik”, dalam artian ditertibkan, telah mengakibatkan “bara dalam sekam” di negeri ini. Represi terhadap ekspresi budaya lokal berbasis etnis maupun ras di masa Orde Baru yang diikuti ketidakadilan aspek ekonomi dan politik memunculkan dendam-dendam politik yang diperkuat dengan sudut pandang “kita” masyarakat pribumi dengan “mereka” masyarakat pendatang. 

Maka, ketika bergulirnya reformasi yang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia diyakini sebagai fase politiko-kultural untuk keluar dari kepemimpinan otoriter, oleh sebagian besar masyarakat pedalaman diyakini pula sebagai “momen pembebasan” dari ‘penjajahan’ Jakarta dan Jawa serta etnis lain seperti Madura. Peristiwa genosida etnis Madura di Sampit adalah contoh kongkrit betapa mobilisasi sentimen kultural sebagai dalih pemertahanan identitas etnis dan tentunya, penguasaan akses politik dan ekonomi telah menyemaikan hasrat-hasrat untuk membunuh, bukannya hasrat-hasrat untuk terus melampaui garis batas kultural sebagai visi baru bagi komunitas tanpa harus mengorbankan sepenuhnya budaya lokal mereka.

Sementara, bagi kelompok minoritas atau masyarakat lokal yang mampu bersiasat secara produktif terhadap narasi-narasi modernitas yang dibawa rezim negara, subjektivitas mereka memang menjadi bersifat kompleks (Setiawan, 2011, 2009). Di satu sisi, mereka mengapropriasi pesona modernitas, seperti transaksi pasar, gaya hidup, maupun pentingnya pendidikan berorientasi Barat, sebagaimana yang diwujudkan rezim negara dalam pembangunan. Pesona-pesona modernitas yang hadir dalam narasi media maupun proyek-proyek pembangunan menjadi begitu dominan dalam ruang hidup masyarakat, sehingga hasrat meniru begitu kuat. 

Di sisi lain, mereka tidak mau membunuh budaya lokal mereka karena keutamaan mereka untuk memperkuat solidaritas komunal di tengah-tengah perjumpaan dengan etnis-etnis mayoritas. Dalam kondisi demikian, apa-apa yang diidealisasi secara nasional tidak mampu mengubah secara menyeluruh identitas kultural di wilayah lokal. Pun budaya lokal tidak bisa lagi dikatakan sepenuhnya tradisional, tetapi sebuah kompleks yang di dalamnya berlangsung negosiasi ketradisionalan di tengah-tengah modernitas yang berlangsung secara massif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun