Meskipun demikian, resepsionis penginapan, seorang perempuan setengah baya, mengatakan hanya tinggal ada satu kamar dengan ranjang ganda. Sesaat, Nandi dan Ivan saling berpandangan. Lagi-lagi, dia hanya mengangkat bahu. Nandi memutuskan untuk menempati kamar itu. Setelah menyerahkan KTP, mereka diantar oleh seorang room boy menuju kamar yang menghadap puncak Ijen.
Ivan langsung melemparkan tubuhnya ke atas kasur, sementara Nandi meletakkan tas di atas lemari duduk. Tidak lama si room boy mengantarkan dua cangkir kopi. Setelah Nandi memberinya uang 10 ribu sebagai tips, ia segera berlalu. Karena dingin ia tidak berani mandi dan memilih mencuci-muka dan menggosok gigi di kamar mandi.
“Sana, cuci-muka. Seger kok,” ucap Nandi ketika merebahkan tubuh di atas ranjang.
“Hemmm…mana berani. Dingin banget. Ndak usah deh, besok saja.” Ivan lebih memilih memasangkan selimut di badan dan kakinya.
“Jorok banget, sih. Cepet cuci-muka, sekalian gosok gigi. Ada dua sikat gigi kok.”
“Kan kita ndak mau ngapa-ngapain, jadi kalaupun aku ndak gosok gigi, ndak ada pengaruhnya ke kamu.” Mendengar jawaban itu Nandi melempar guling ke arahnya, tepat mengenai kepala.
“Amit…amit. Jangan sampai berani macem-macem, meski kita satu kamar!” ancamnya sambil sedikit bercanda.
“He…he…he…maaf, Dee. Bercanda kok,” ujar Ivan sambil cengengesan.
Ia segera bangun, lalu menuju kamar mandi. Sementara, Nandi merapikan rambut dan mengusap pipiku dengan sedikit bedak. Sambil bercermin ia memikirkan-kembali ucapannya.
“Kalau sampai nanti malam, karena kondisi yang begitu dingin, kami bedua terjebak dalam sebuah percumbuan, gimana ya? Apa itu salah? Ah, aneh sekali pikiran ini.”
Nandi tersadar, ketika Ivan sudah kembali dari kamar mandi dengan rambut basah-terurai.