Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menghayati Kejutan di Sebuah Gunung

23 Juni 2020   23:46 Diperbarui: 23 Juni 2020   23:47 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Dee, dulu para pekebun tembakau, kopi, dan kakao Belanda pasti bersusah payah menaklukkan daerah Besuki, Bondowoso, dan Jember. Pasti mereka membutuhkan banyak tenaga, uang, dan keberanian. Daerah yang dulu dianggap menyeramkan, alas gong liwang-liwung, berubah menjadi daerah yang padat penduduk dengan kedatangan mereka. Manusia-manusia Belanda itu memang ndak punya takut. Sementara, sejak kecil kita sudah dilarang untuk bermain di tempat-tempat berpohon besar, karena banyak penunggu ghaibnya.” Ivan mengganti topik pembicaraan setelah mereka saling diam beberapa saat, larut dalam keindahan pepohonan pinus di pinggir jalan.

“Tapi, bisa jadi kita dilarang karena orang tua kita punya maksud tertentu. Bayangkan, seandaianya kita semakin sering bermain di tempat-tempat yang dianggap keramat itu, kita tidak akan takut dan hormat lagi pada pohon-pohon besar. Nah, bisa saja suatu ketika, karena desakan ekonomi, kita tebang pohon-pohon itu. Maka, ndak ada lagi penahan air. Sumber air bisa kering. Hujan akan menjadi ancaman karena membawa tanah longsor.”

“Iya…ya? Masuk akal sekali itu. Kita yang dididik menjadi modern seringkali gagal memaknai hal-hal yang sedikit saja keluar dari hukum ilmiah. Maka, kita buru-buru menyebutnya sebaga takhayul, mitos, atau apalah namanya. Iya, kan? Aku masih ingat persis bagaimana dosen filsafat selalu mengatakan kalau yang terpenting bagi manusia itu adalah meng-ada dengan akal, aku berpikir maka aku ada.” Van semakin antusias.

“Betul. Padahal, ketika manusia-manusia Eropa berhasil dengan daya nalar-nya mampu menundukkan alam, mereka tidak hanya berhenti di situ. Mereka berlayar, melintasi samudra luas, menemukan wilayah-wilayah baru, untuk membuktikan kehebatan akal mereka, sekaligus mengambil kekayaan alam yang ada. Lahirlah penjajahan. Hebatnya lagi, mereka mau mempelajari budaya masyarakat yang dikatakan terpencil, tak beradab, suka berperang, ataupun suka memakan daging manusia. Padahal, mereka sendiri berasal dari suku-suku yang gemar sekali berperang. Alasan-alasan ketertinggalan pribumi itulah yang mereka gunakan untuk menjalankan misi pencerahan, mendidik pribumi dengan huruf dan bahasa mereka, matematika, ilmu alam, maupun ilmu bumi, sehingga mudah dikendalikan untuk kepentingan penaklukan.”

“Jadi, ada usaha menjelek-jelekkan budaya pribumi itu sekaligus bermisi politik? Wah…wah…benar-benar hebat mereka.”

“Benar, Van. Tapi, yang namanya budaya pasti tidak bisa diganti 100 %. Masyarakat pasti masih meyakini dan menjalankan sebagian tradisi warisan leluhur. Buktinya, slametan sampai sekarang masih hidup.”

“Beh…benar-benar seperti mendapat kuliah dari seorang profesor sejarah budaya. Luar biasa, Dee,” pujinya sambil memainkan mata.

“Ah, kamu, selalu saja begitu. Ndak usah menyanjung, nanti aku terbang,” kilah Nandi sambil balik menggodanya dengan senyuman genit.

“Lha, kalau kamu terbang, ya, aku segera menyusul. Lalu, kita membuat rumah di atas awan. Ndak perlu menanam kacang yang bisa menjalar, meninggi, dan menembus awan.”

“Ha…ha…ha…kayak film-filmnya Barry Prima dong. Juga kayak dongeng Jack dan kacang polong yang menembus langit. Van…Van…imajinasimu terlalu liar. Dasar aktivis seni cap kampus. Aneh-aneh saja.”

“Lho, jangan-jangan para pendekar zaman dulu bisa terbang karena mereka menemukan sebuah rumus yang dapat menihilkan gaya gravitasi bumi. Cuma karena nalar modern belum bisa membuktikannya, maka para pendekar itu hanya dianggap ada di dongeng. Lihat, saja Borobudur, Prambanan, Candi Dieng, Gedong Songo, dan banyak yang lain. Itu semua dibangun dengan teknik canggih. Karena peradaban sesudahnya ndak mampu membuat bangunan serupa, lalu dikatakanlah bangunan-bangunan itu dibuat dengan kekuatan ghaib, dalam satu malam pula. Padahal ya tidak. Jangan-jangan dongeng itu yang membuat orang-orang Belanda agar terkesan pribumi ndak punya teknologi dan pengetahuan yang canggih. Sehingga seperti kamu katakan tadi, penaklukan lebih mudah dilakukan karena mereka dijadikan inferior. Benar nggak?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun