“Kamu…itu..ya, ndak enak didengar mereka. Jangan nglantur. Ingat, ndak boleh macem-macem. Itu aturan mainnya. Titik!” Sekali lagi Nandi mengancamnya sambil memelankan suara. Lagi-lagi, Ivan hanya nyengir, lalu berkata,
“Yuk, balik. Aku ngantuk banget.”
Sembari menatap wajahnya di cermin, kembali peristiwa tadi hadir di benak Nandi. Bagaimana bisa ia memeluknya terlebih dahulu? Jangan-jangan, ia memang menginginkannya? Ah, mungkin benar, katanya, peristiwa tadi hanyalah kejutan, sesuatu yang sebenarnya juga ia harapkan dalam alam bawah sadar dan, mungkin, didengar para malaikat sehingga jadi terwujud.
Pukul 00.15, Nandi sudah bangun. Ia tidak menemukan Ivan di atas ranjangnya. Kemana? Ia menoleh ke kamar mandi, pintunya terbuka. Ia tengok keluar, tidak ada juga. Hujan lumayan deras menjadikan kondisi menakutkan bagi Nandi. Dalam kebingungan ia pergi menemui dan bertanya kepada penjaga. Lelaki berkumis tebal itu mengatakan kalau tadi pukul 00.00 seorang lelaki gondrong menuju musholla. Segera saja ia menyusulnya. Ternyata dia sedang duduk bersila. Nandi memilih duduk di teras musholla menunggunya. Hawa gunung benar-benar semakin dingin. Ia kembali menggigil.
“Dee, kenapa ke sini?” tanyan Ivan dari arah belakang.
“Aku tadi mencari-carimu. Kok aku ndak dibangunkan tadi?”
“Kamu tidur nyenyak banget. Ndak tega mau bangunin. Yuk, balik ke kamar. Hujan begini, kita nggak bisa menemui blue fire. Bukan rezeki kita. Semoga besok terang benderang.”
"Iya, Van. Belum rezeki. Ya sudah, kita istirahat saja."
Pukul 04.30, mereka sudah bangun. Iavan sudah sholat terlebih dahulu. Nandi segera mengambil wudhu untuk menunaikan Subuh, sekalian cuci-muka dan gosok-gigi. Ivan meminta selembar kertas dan pulpen. Selepas sholat, ia melihatnya masih menulis sesuatu.
“Nulis puisi?”
“Ndak, sekedar catatan singkat bahwa aku pernah ke sini bersama kamu.”