Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Penulis

Peminat Sejarah, Budaya dan Kajian Keamanan Nasional. Cita-cita jadi anggota KOWAL tapi gagal karena mabuk laut. Ingin jadi WARA tapi phobia ketinggian. Ingin jadi Diplomat tapi TOEFL belum 600.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Naga dan Elang Dimulai : Asia-Pasifik Bersiap Memasuki "Cold War 2.0"

4 April 2025   23:49 Diperbarui: 5 April 2025   00:41 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi Perang Dagang US - China. Foto : Defrida) 

Memasuki kuartal kedua tahun 2025, tensi geopolitik global kembali meningkat tajam menyusul keputusan China pada Jumat, 4 April 2025, untuk memberlakukan tarif impor sebesar 34% terhadap seluruh produk Amerika Serikat yang akan mulai diberlakukan pada 10 April 2025. Kebijakan ini merupakan langkah balasan yang simetris terhadap keputusan Presiden Donald Trump beberapa hari sebelumnya, yang mengenakan tarif serupa terhadap produk-produk China sebagai bagian dari paket kebijakan yang disebut sebagai "Liberation Day". Eskalasi perang dagang ini tidak hanya memperburuk hubungan bilateral kedua negara ekonomi terbesar dunia tersebut, tetapi juga menciptakan gelombang ketidakpastian yang signifikan terhadap arsitektur perdagangan global dan secara khusus berdampak pada lanskap geopolitik di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik.

Langkah retaliasi China ini tidak berhenti pada penetapan tarif yang setara. Pemerintah Beijing secara simultan mengambil serangkaian tindakan yang menyasar berbagai dimensi hubungan ekonominya dengan Amerika Serikat. China mengajukan gugatan formal ke World Trade Organization (WTO), dengan argumen bahwa kebijakan tarif Amerika Serikat merupakan "praktik perundungan unilateral yang membahayakan stabilitas tatanan ekonomi dan perdagangan global" serta "secara serius melanggar aturan WTO, merusak hak dan kepentingan legitimate anggota WTO, dan melemahkan sistem perdagangan multilateral berbasis aturan dan tatanan ekonomi dan perdagangan internasional". Pernyataan resmi ini menunjukkan bahwa China berupaya memposisikan dirinya sebagai pembela sistem perdagangan multilateral yang ironisnya sering dikritik oleh negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, sebagai aktor yang melakukan praktik perdagangan yang tidak adil.

Intensifikasi konflik dagang ini semakin diperparah dengan keputusan China untuk memperketat pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earths), khususnya samarium dan gadolinium, yang merupakan bahan baku krusial dalam industri manufaktur kedirgantaraan, pertahanan, dan sektor medis. Kebijakan ini memiliki implikasi strategis yang mendalam mengingat China menguasai sekitar 85% produksi global logam tanah jarang, sehingga memiliki leverage signifikan dalam rantai pasok teknologi global. Penangguhan impor ayam dari dua pemasok Amerika Serikat, Mountaire Farms of Delaware dan Coastal Processing, dengan alasan penemuan furazolidone (obat yang dilarang di China) dalam pengiriman, serta penambahan 27 perusahaan Amerika Serikat ke dalam daftar sanksi perdagangan atau kontrol ekspor, semakin menegaskan bahwa perang dagang ini telah bergeser dari sekadar persoalan neraca perdagangan menjadi konfrontasi teknologi dan keamanan yang lebih komprehensif.

Dampak langsung dari eskalasi perang dagang ini terlihat jelas pada pasar global. Indeks S&P 500 Amerika Serikat mengalami penurunan tajam sebesar 4,8% pada 3 April 2025, sementara indeks Nasdaq 100 turun 5,4% , penurunan terbesar sejak Juni 2020. Pasar Eropa tidak luput dari gejolak serupa, dengan indeks CAC 40 Prancis turun sekitar 4%, DAX Jerman anjlok hampir 5%, dan FTSE 100 Inggris merosot 4,3%. Futures indeks S&P 500 bahkan terkoreksi lebih dari 3%. Volatilitas pasar ini mencerminkan kekhawatiran investor global terhadap dampak perang dagang yang berkelanjutan terhadap pertumbuhan ekonomi global dan stabilitas rantai pasok internasional.

Dalam konteks geopolitik Asia Tenggara dan Asia Pasifik, intensifikasi perang dagang AS-China ini menciptakan dinamika yang kompleks dan multidimensional. Kawasan ini, yang ditandai dengan interdependensi ekonomi yang tinggi dengan kedua negara adidaya tersebut, kini dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keseimbangan diplomatik dan ekonomi di tengah tekanan untuk berpihak. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah lama menganut prinsip centrality dan netralitas dalam menghadapi rivalitas kekuatan besar, namun prinsip ini semakin sulit dipertahankan seiring dengan intensifikasi konflik dagang yang semakin menyentuh aspek-aspek strategis seperti teknologi, keamanan, dan rantai pasok kritis.

Fenomena "decoupling" atau pemisahan rantai pasok AS-China yang telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir kemungkinan akan semakin intensif sebagai konsekuensi dari eskalasi perang dagang ini. Perusahaan-perusahaan multinasional, baik yang berbasis di Amerika Serikat maupun yang memiliki eksposur signifikan terhadap pasar Amerika Serikat, akan semakin termotivasi untuk merelokasi atau mendiversifikasi operasi manufaktur mereka keluar dari China untuk menghindari tarif yang semakin tinggi. Tren "China+1" atau strategi diversifikasi ke negara-negara alternatif di Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Indonesia akan semakin menguat, menciptakan peluang sekaligus tantangan baru bagi negara-negara tersebut.

Bagi Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan pasar domestik yang substansial dan sumber daya alam yang melimpah, eskalasi perang dagang ini menghadirkan momentum strategis sekaligus risiko sistemik yang perlu diantisipasi dengan cermat. Indonesia memiliki posisi yang relatif unik di antara negara-negara ASEAN, dengan hubungan ekonomi yang cukup seimbang dengan Amerika Serikat dan China. Volume perdagangan Indonesia dengan China mencapai sekitar USD 110 miliar pada tahun 2023, sementara dengan Amerika Serikat sekitar USD 37 miliar. Meskipun demikian, Amerika Serikat tetap merupakan salah satu investor terbesar di Indonesia, khususnya di sektor energi, manufaktur, dan layanan keuangan.

Dalam menghadapi situasi yang semakin kompleks ini, Indonesia perlu menghindari beberapa sikap yang dapat memperburuk posisinya dalam konfigurasi geopolitik regional. Pertama, Indonesia harus menghindari keberpihakan eksplisit dalam konflik dagang ini, baik dalam pernyataan diplomatik maupun dalam kebijakan ekonominya. Pendekatan "equidistance" atau menjaga jarak yang setara dengan kedua kekuatan besar merupakan strategi yang paling rasional untuk melindungi kepentingan nasional jangka panjang Indonesia. Melalui forum multilateral seperti ASEAN, APEC, dan G20, Indonesia dapat mempromosikan dialog konstruktif untuk deeskalasi ketegangan perdagangan global sambil tetap menjaga otonomi strategisnya.

Indonesia juga perlu menghindari ketergantungan berlebihan pada investasi dari salah satu negara, baik AS maupun China. Diversifikasi sumber investasi asing menjadi imperatif strategis untuk mengurangi kerentanan terhadap tekanan geopolitik. Portofolio investasi yang terlalu condong ke salah satu pihak tidak hanya dapat mengundang tekanan politik dan ekonomi dari pihak lainnya, tetapi juga mengurangi fleksibilitas Indonesia dalam manajemen risiko geopolitik. Pengalaman negara-negara seperti Australia, yang mengalami dampak signifikan dari pembatasan perdagangan China sebagai respons terhadap keselarasan kebijakan luar negerinya dengan Amerika Serikat, menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia.

Dimensi lain yang perlu dihindari oleh Indonesia adalah adopsi kebijakan proteksionisme yang berlebihan sebagai respons terhadap ketidakstabilan ekonomi global akibat perang dagang. Meskipun terdapat dorongan politik domestik untuk melindungi industri nasional di tengah volatilitas global, isolasionisme ekonomi justru dapat meminimalkan potensi Indonesia untuk memanfaatkan peluang dari reorganisasi rantai pasok global. Sebaliknya, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai destinasi investasi alternatif yang menarik dengan menawarkan stabilitas politik, kepastian hukum, dan lingkungan bisnis yang kondusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun