Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Penulis

Peminat Sejarah, Budaya dan Kajian Keamanan Nasional. Cita-cita jadi anggota KOWAL tapi gagal karena mabuk laut. Ingin jadi WARA tapi phobia ketinggian. Ingin jadi Diplomat tapi TOEFL belum 600.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Revolusi Lumbung & Krisis Ketahanan Pangan Indonesia

25 Maret 2025   06:07 Diperbarui: 25 Maret 2025   06:07 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: Defrida) 

Indonesia adalah negara yang kaya akan warisan kuliner dan keanekaragaman pangan, sebuah kekayaan yang telah mengalami transformasi mendalam selama beberapa dekade terakhir. Artikel ini mengeksplorasi perjalanan kompleks sistem pangan Indonesia, dari keragaman tradisional menuju model monokultur yang kini mengancam kedaulatan pangan nasional.

Sebelum era modernisasi pertanian, kepulauan Indonesia merupakan miniatur keanekaragaman ekologis dan kuliner yang menakjubkan. Setiap wilayah memiliki karakteristik pangan unik yang tumbuh secara alami sesuai kondisi geografis dan iklim setempat. Di Sumatera, hutan tropis melahirkan budaya pangan berbasis sagu, singkong, dan ubi jalar. Pulau Jawa dengan sistem irigasi canggihnya mengembangkan budidaya padi sawah yang kompleks. Wilayah Nusa Tenggara yang kering menghasilkan jagung dan sorgum sebagai makanan pokok utama. Papua dengan ekosistem sagu yang melimpah, sementara Maluku mengandalkan kombinasi sagu, pisang, dan umbi-umbian.

Sistem pangan tradisional ini bukan sekadar tentang produksi makanan, melainkan sebuah ekosistem pengetahuan yang diwariskan turun-temurun. Setiap masyarakat memiliki hubungan mendalam dengan sumber pangan lokalnya, mengembangkan teknologi pengolahan, dan membangun ketahanan pangan berbasis komunitas. Pengetahuan ini mencakup praktik pertanian berkelanjutan, metode penyimpanan tradisional, dan ritual budaya yang terkait dengan siklus produksi pangan.

Dekade 1960-an menjadi momen kritis dalam sejarah pangan Indonesia. Program Revolusi Hijau, yang diinisiasi pemerintah Orde Baru, secara sistematis merombak sistem pangan tradisional. Program ini difokuskan pada peningkatan produksi padi melalui penggunaan varietas unggul, pupuk kimia, dan sistem pertanian modern. Tujuan utamanya adalah mencapai swasembada beras dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.

Dr. Prajarto Harjosuwito, seorang ahli pangan terkemuka dari Universitas Gadjah Mada, menggambarkan fenomena ini sebagai transformasi yang melampaui sekadar produksi pertanian. "Revolusi Hijau tidak hanya mengubah cara kita memproduksi makanan, tetapi secara fundamental merombak seluruh ekosistem pangan tradisional yang telah berkembang selama berabad-abad," katanya dalam sebuah kajian komprehensif [1].

Konsekuensi dari transformasi ini sangatlah kompleks. Pengetahuan kuliner tradisional perlahan terkikis, sistem pertanian berbasis keragaman digantikan oleh monokultur beras. Hampir 90 persen masyarakat Indonesia kini mengonsumsi beras sebagai makanan pokok, mengabaikan kekayaan pangan lokal yang sebelumnya menjadi tulang punggung ketahanan pangan komunitas.

Pergeseran menuju monokultur beras membawa dampak multidimensional. Secara ekologis, praktik ini menyebabkan penurunan signifikan keanekaragaman hayati. Lahan-lahan yang sebelumnya ditanami beragam jenis pangan kini didominasi oleh varietas padi tertentu. Petani tradisional kehilangan mata pencaharian dan pengetahuan warisan leluhur.

Dari perspektif ekonomi, biaya produksi semakin tinggi. Ketergantungan pada input eksternal seperti benih, pupuk, dan pestisida kimia menempatkan petani dalam posisi rentan. Sistem yang awalnya bertujuan meningkatkan produktivitas justru menciptakan ketidakmandirian ekonomi di tingkat komunitas.

Dekade terakhir menunjukkan rapuhnya sistem pangan nasional. Periode 2020-2023 menjadi catatan kelam dengan sejumlah krisis pasokan yang menggemparkan. Lonjakan harga beras mencapai 30-40 persen di beberapa daerah, disertai peningkatan signifikan impor beras. Ketidakstabilan ini mengungkap kerentanan sistemik dalam manajemen pangan nasional.

Kompleksitas geografis Indonesia sebagai negara kepulauan semakin memperburuk situasi. Infrastruktur terbatas dan biaya transportasi tinggi menjadi hambatan utama distribusi pangan. Setiap pulau menghadapi tantangan unik dalam memenuhi kebutuhan pangan, menciptakan ketimpangan produksi dan konsumsi yang signifikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun