Mohon tunggu...
Achmat Amar Fatoni
Achmat Amar Fatoni Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Brawijaya

Why so Serious?

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Manusia di Dataran Tinggi Tibet Sedang Mengalami Evolusi

10 Februari 2025   14:40 Diperbarui: 10 Februari 2025   14:40 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Tibet (https://id.m.wikipedia.org/wiki/Orang_Tibet) 

Manusia selalu berkembang dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Salah satu contoh menakjubkan dari evolusi ini dapat ditemukan di Dataran Tinggi Tibet. Di ketinggian lebih dari 3.500 meter, dengan kadar oksigen yang jauh lebih rendah dibandingkan dataran rendah, komunitas manusia mampu bertahan dan berkembang.

Adaptasi Terhadap Hipoksia di Dataran Tinggi

Pada umumnya, manusia yang berada di lingkungan dengan kadar oksigen rendah akan mengalami hipoksia, kondisi di mana tubuh tidak mendapatkan cukup oksigen untuk berfungsi dengan baik. Contoh kasus umum adalah para pendaki gunung yang mengalami mabuk ketinggian. Namun, penduduk asli Tibet menunjukkan adaptasi biologis yang memungkinkan mereka bertahan dalam kondisi ini.

Cynthia Beall, seorang antropolog dari Case Western Reserve University, menjelaskan bahwa adaptasi ini sangat menarik karena tekanan yang dialami dapat diukur secara kuantitatif. Penelitian yang dipublikasikan pada Oktober 2024 oleh Beall dan timnya mengungkap bahwa penduduk Tibet memiliki ciri khas dalam sistem peredaran darah mereka yang membantu pengangkutan oksigen lebih efisien.

Keberhasilan Reproduksi dan Seleksi Alam

Penelitian ini mengamati 417 wanita berusia 46 hingga 86 tahun yang tinggal di Nepal pada ketinggian sekitar 3.500 meter di atas permukaan laut. Mereka mencatat jumlah kelahiran hidup per wanita dan mengukur tingkat hemoglobin dalam darah, yang berfungsi mengangkut oksigen ke jaringan tubuh.Menariknya, wanita dengan tingkat kelahiran hidup tertinggi memiliki saturasi oksigen dalam hemoglobin yang lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa adaptasi ini meningkatkan pengangkutan oksigen ke jaringan tubuh tanpa mengentalkan darah, sehingga mengurangi beban kerja jantung.

Faktor Budaya dan Evolusi Manusia

Selain faktor biologis, penelitian juga menemukan bahwa faktor budaya memainkan peran dalam tingkat keberhasilan reproduksi. Wanita yang melahirkan di usia muda dan memiliki pernikahan yang lebih lama cenderung memiliki lebih banyak anak. Meskipun demikian, perbedaan fisiologis tetap menjadi faktor utama dalam adaptasi ini.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seleksi alam masih berlangsung. Wanita dengan fisiologi yang paling sesuai dengan lingkungan dataran tinggi memiliki lebih banyak anak yang mampu bertahan dan meneruskan sifat-sifat adaptif ini. Studi ini, yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, memberikan bukti bahwa manusia terus berkembang menyesuaikan dengan tantangan lingkungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun