Mohon tunggu...
Dian Savitri
Dian Savitri Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar dan perantau

Berkelana ratusan kilometer dari kampung halaman, mengumpulkan pengalaman demi secercah harapan di masa tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf, Sayang

17 September 2019   10:59 Diperbarui: 17 September 2019   12:38 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cantik.tempo.co/read/1095142/6-sebab-ibu-mengalami-depresi-setelah-melahirkan 

Baru tiga bulan Dena menjadi seorang ibu. Seorang putri kecil yang dinanti selama sembilan bulan lahir juga ke dunia. Detik itu juga ia mulai membiasakan diri hidup berdua dengan bayi mungilnya. Ya, dia bekerja di kota lain dan ditugaskan di sana sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.  

Kebahagiaan yang ia dambakan selepas melahirkan nyatanya cuma angan belaka. Hampir setiap hari stres mendera ibu muda itu. Pasca melahirkan ia melawan masalah ASI yang tak kunjung ada. Di hari ketiga, si bayi mulai menangis kencang, meminta perutnya diisi. Dena didesak orang tuanya untuk memberikan saja susu formula.

"Kasihan anakmu, kasih aja susu formula. Sembari menunggu ASI yang belum keluar," begitu kata ibu Dena.

"Tapi, bu, saya pengen si dedek minum full ASI," kataku menyanggah.

"Ah, gak liat apa anakmu nangis kenceng gitu. Nurut aja, nanti ibu belikan susunya".

Tekanan demi tekanan muncul di hari-hari selanjutnya. Setelah ASI yang akhirnya keluar, Dena harus puas dengan omelan ayahnya yang protes akan perilaku suaminya. Memang, pasca melahirkan suami Dena mendapat cuti selama dua minggu.

"Itu gimana sih suami kamu. Kerjaannya tidur mulu. Gak bantuin istri ngurus anak".

Omelan ayahnya sudah mirip sarapan yang harus ditelan Dena setiap hari. Ia pun tak habis pikir terhadap sikap suaminya yang cuek. Tak sekalipun ia melihat kesusahan istrinya yang masih melawan rasa sakit jahitan sehabis melahirkan. Begadang tiap malam menyusui si bayi dan paginya masih merendam popok yang basah terkena ompol.

Di tengah stres yang melanda, Dena masih bersyukur tidak melakukan tindakan melewati batas. Akhir-akhir ini kerapkali muncul berita seorang ibu melukai anaknya dan parahnya lagi membunuh si bayi karena merasa sendiri.

Ya, rasa tertekan yang  melanda sebagian besar ibu muda muncul karena merasa sendiri mengurus bayi. Tidak ada keterlibatan orang lain, khususnya suami yang secara sukarela berbagi beban.

Satu bulan berlalu, Dena bersiap menempati rumahnya di kota ia bekerja. Artinya, ia pun harus bersiap hidup berdua dengan anaknya. Suaminya akan pulang satu bulan sekali karena padatnya jadwal pekerjaan di kota lain. Sekarang, Dena dan suaminya berjarak sehari semalam perjalanan darat. 

Satu bulan, dua bulan dan enam bulan berlalu. Tiba-tiba usia anaknya menginjak satu tahun. Ada satu kejadian yang tidak akan dilupakan Dena sumur hidupnya.

"Apa gak bisa minta ijin pulang lebih awal? Anak kamu ulang tahun loh. Ulang tahun pertama. Minggu depan".

"Maaf, sayang. Gak bisa. Kalau gak mau ngerayain tanpa aku, bisa kan bagi nasi kuning aja," suara di seberang terdengar di tengah sibuknya jemari mengetik papan tik komputer.

"Setidaknya kamu bisa pulang," ucap Dena masih merajuk.

Percakapan alot itu berujung pada keputusan suami Dena yang tidak bisa pulang cepat. Suasana hati Dena semakin memburuk. Ketika ia lelah mengurus anaknya sendirian, ia merasa sendiri ketika hatinya sedang kacau.

Perasaan itu terus ia pendam sampai anaknya berusia dua tahun. Usia di mana seorang anak mampu memahami berbagai hal. Ternyata, semakin dipendam, semakin perasaan benci menguat. Dena menjadi pribadi yang mudah marah kepada anaknya. Anak kecil yang belum paham mana benar dan salah.

"Ih, adek kok ngompol lagi sih. Uda diajarin bilang 'pipis' masih aja ngompol," gerutu Dena malamm itu.

Di tengah lelahnya fisik setelah seharian beraktivitas di kantor, ia harus melawan rasa kantuk di malam hari demi menemani anaknya. Seringkali ia tertidur selepas magrib dan terbangun karena sentuhan si kecil yang terus memanggil.

"Bu..bu..," suara pelan itu terdengar

"Apa dek?" Dena menjawab sekenanya dengan mata masih menutup.

"iis..." suara kecil itu melanjutkan.

"Ah, adek, uda berapa kali ngompol sih. Ini seprai baru dicuci, uda ngompol lagi," Dena marah menjadi-jadi tanpa paham bahwa seorang anak 2 tahun masih wajar ngompol.

Dena meluapkan amarahnya malam itu. Sembari ke kamar mandi basuh kaki anaknya. Ia terus saja mengomel. Ia lupa bahwa anaknya yang masih kecil belum bisa menyerap informasi secara utuh. Ia lupa bahwa anaknya belum bisa berbuat layaknya seorang anak yang sudah sekolah. Ia lupa kalau anaknya masih perlu belajar.

Tak lama kemudian, botol-botol dibantingnya. Semua barang dibuang di depan anaknya. Si kecil takut, mulai menangis. Dena masih marah, membanting semua benda yang ada di dekatnya.

Dena mulai tersadar. Ia menatap wajah takut putrinya. Dipanggilnya dan mendekatlah di kecil. Memeluk ibunya, mengajak bicara dengan bahasa yang belum bisa dimengerti.

Air matanya mulai menetes. Ia menyesal. Benar-benar menyesal. Sudah berapa kali ia memarahi si kecil tanpa kesalahan fatal. Ia harusnya paham bahwa seorang balita masih belajar dan tugasnya mengajarkan banyak hal terhadapnya. Bukan malah memarahi tanpa sebab jelas. Dena tahu akar dari semua emosi ini adalah kesendirian. Tidak ada orang yang bisa diajak berkeluh kesah.

"Yah, maaf. Lahi-lagi aku marah ke adek. Aku banting semua barang. Dia takut, yah," ucap Dena sambil menangis.

"Hhhhh," terdengar nafas berat di seberang.

"Sabar, sayang. Kurangi emosi kamu. Secepatnya aku usahain kita bisa bareng lagi," suaranya menenangkan Dena yang menangis tersedu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun