"iis..." suara kecil itu melanjutkan.
"Ah, adek, uda berapa kali ngompol sih. Ini seprai baru dicuci, uda ngompol lagi," Dena marah menjadi-jadi tanpa paham bahwa seorang anak 2 tahun masih wajar ngompol.
Dena meluapkan amarahnya malam itu. Sembari ke kamar mandi basuh kaki anaknya. Ia terus saja mengomel. Ia lupa bahwa anaknya yang masih kecil belum bisa menyerap informasi secara utuh. Ia lupa bahwa anaknya belum bisa berbuat layaknya seorang anak yang sudah sekolah. Ia lupa kalau anaknya masih perlu belajar.
Tak lama kemudian, botol-botol dibantingnya. Semua barang dibuang di depan anaknya. Si kecil takut, mulai menangis. Dena masih marah, membanting semua benda yang ada di dekatnya.
Dena mulai tersadar. Ia menatap wajah takut putrinya. Dipanggilnya dan mendekatlah di kecil. Memeluk ibunya, mengajak bicara dengan bahasa yang belum bisa dimengerti.
Air matanya mulai menetes. Ia menyesal. Benar-benar menyesal. Sudah berapa kali ia memarahi si kecil tanpa kesalahan fatal. Ia harusnya paham bahwa seorang balita masih belajar dan tugasnya mengajarkan banyak hal terhadapnya. Bukan malah memarahi tanpa sebab jelas. Dena tahu akar dari semua emosi ini adalah kesendirian. Tidak ada orang yang bisa diajak berkeluh kesah.
"Yah, maaf. Lahi-lagi aku marah ke adek. Aku banting semua barang. Dia takut, yah," ucap Dena sambil menangis.
"Hhhhh," terdengar nafas berat di seberang.
"Sabar, sayang. Kurangi emosi kamu. Secepatnya aku usahain kita bisa bareng lagi," suaranya menenangkan Dena yang menangis tersedu.