Mohon tunggu...
Dian Savitri
Dian Savitri Mohon Tunggu... Guru - Seorang pengajar dan perantau

Berkelana ratusan kilometer dari kampung halaman, mengumpulkan pengalaman demi secercah harapan di masa tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf, Sayang

17 September 2019   10:59 Diperbarui: 17 September 2019   12:38 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cantik.tempo.co/read/1095142/6-sebab-ibu-mengalami-depresi-setelah-melahirkan 

"iis..." suara kecil itu melanjutkan.

"Ah, adek, uda berapa kali ngompol sih. Ini seprai baru dicuci, uda ngompol lagi," Dena marah menjadi-jadi tanpa paham bahwa seorang anak 2 tahun masih wajar ngompol.

Dena meluapkan amarahnya malam itu. Sembari ke kamar mandi basuh kaki anaknya. Ia terus saja mengomel. Ia lupa bahwa anaknya yang masih kecil belum bisa menyerap informasi secara utuh. Ia lupa bahwa anaknya belum bisa berbuat layaknya seorang anak yang sudah sekolah. Ia lupa kalau anaknya masih perlu belajar.

Tak lama kemudian, botol-botol dibantingnya. Semua barang dibuang di depan anaknya. Si kecil takut, mulai menangis. Dena masih marah, membanting semua benda yang ada di dekatnya.

Dena mulai tersadar. Ia menatap wajah takut putrinya. Dipanggilnya dan mendekatlah di kecil. Memeluk ibunya, mengajak bicara dengan bahasa yang belum bisa dimengerti.

Air matanya mulai menetes. Ia menyesal. Benar-benar menyesal. Sudah berapa kali ia memarahi si kecil tanpa kesalahan fatal. Ia harusnya paham bahwa seorang balita masih belajar dan tugasnya mengajarkan banyak hal terhadapnya. Bukan malah memarahi tanpa sebab jelas. Dena tahu akar dari semua emosi ini adalah kesendirian. Tidak ada orang yang bisa diajak berkeluh kesah.

"Yah, maaf. Lahi-lagi aku marah ke adek. Aku banting semua barang. Dia takut, yah," ucap Dena sambil menangis.

"Hhhhh," terdengar nafas berat di seberang.

"Sabar, sayang. Kurangi emosi kamu. Secepatnya aku usahain kita bisa bareng lagi," suaranya menenangkan Dena yang menangis tersedu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun