Lasmi Pertiwi"Â
Demikian isi surat dari Lasmi.
Sekembalinya ke Bandung, kuutarakan semuanya kepada ke orang tuaku. Ternyata mereka sangat suka cita mendengarnya.
Tidak dilamakan lagi, seminggu sesudah aku minta restu pada orang tua dan saudara-saudaraku, aku bersama rombongan keluarga berangkat menuju kediaman Lasmi di Sumedang.Â
Tidak sulit mencari alamatnya, hanya dalam tempo kurang lebih tiga jam, sampailah kami ke tempat yang dituju.
Diantar oleh seorang penduduk setempat yang mengenal  keluarga Lasmi,  kami pun tiba di rumah Lasmi.
Sebuah rumah semi permanen, namun kelihatan bersih dan asri. Tak ada penyambutan sama sekali. Suasananya kelihatan sepi-sepi saja. Setelah beberapa kali uluk salam, barulah pintu rumah ada yang membuka.
Seorang laki-laki tua berpeci songkok hitam, kemeja putih, ke bawahnya bersarung kotak-kotak biru putih. Di belakangnya, seorang ibu tua berbusana kebaya sahaja. Keduanya tampak bersih dan berwibawa. Mempersilahkan kami masuk ke rumah itu..
Suasana di dalam rumah, terasa adem dan tertata rapi.. Beberapa foto menempel di dinding. Diantaranya ada foto Lasmi sedang duduk di balik sebuah pot bunga. Anggun sekali. Lasmi, Â kemana dia? Apa mungkin sedang ada di dalam menunggu dipanggil orang tuanya? Jantungku terasa begitu degdegan. Tak sabar ingin sekali segera melihatnya.
Setelah berbasa basi, ayah Lasmi menanyakan maksud dan tujuan kami semua. Salah seorang yang kami percayai sebagai juru bicara menjelaskannya.
Mendengar penjelasan juru bicara kami, tampak wajah ayah Lasmi murung sekali. Malah istrinya menundukan wajah dalam-dalam, Â seperti hendak menyembunyikan kesedihan mendalam.