Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas Indonesia Gagal Lolos Piala Dunia 2026, Kesedihan Piala AFF 2010 Terulang

12 Oktober 2025   21:25 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:25 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dean James, Thom Haye, dan Calvin Verdonk dalam laga Timnas Indonesia vs Irak di Kualifikasi Piala Dunia 2026 ronde 4. (Sumber: Kompas)

Timnas Indonesia gagal lolos ke Piala Dunia 2026 usai kalah 0-1 dari Irak di laga terakhir Kualifikasi Putaran Keempat.

Laga Irak vs Indonesia pada Minggu (12/10) dini hari WIB di King Abdullah Sports City Stadium, Jeddah itu tampak menjadi mimpi buruk bagi penggemar sepak bola nasional terutama saya.

Memang, saya masih tidak menyangka bahwa Indonesia bisa berada di momen yang cukup dekat dengan pintu masuk ke Piala Dunia seperti saat ini.

Tetapi, ketika memang Indonesia berada sedekat ini, maka saya pun berharap Garuda benar-benar bisa terbang ke Piala Dunia 2026.

Tetapi, ketika itu gagal terwujud, saya pun cukup sedih. Karena terasa seperti melihat Timnas Indonesia pada Piala AFF 2010.

Kala itu, peluang juara pertama kali di Piala AFF tampak sangat mungkin. Namun, di atas lapangan ternyata tidak demikian. Indonesia harus kembali menjadi peringkat kedua alias runner up.

Jika melihat di antara deretan edisi Piala AFF yang pernah saya tonton, 2010 adalah yang paling disayangkan jika dibanding dengan 2016 dan 2020--digelar 2021 karena pandemi Covid-19.

Sebab, pada edisi itulah, Indonesia diperkuat paduan yang ideal antara pemain senior, pemain muda, dan tambahan pemain naturalisasi serta keturunan yang sesuai kebutuhan.

Komposisi tersebut bahkan masih kurang terlihat saat ini dengan diperkuat deretan nama yang berkarier di Eropa. Mengapa saya sebut demikian?

Karena, pemain seperti Thom Haye (30 tahun), Jordi Amat (33 tahun), Marc Klok (32 tahun), Sandy Walsh (30 tahun), dan Joey Pelupessy (32 tahun) adalah pemain senior berdasarkan usia, namun secara jam terbang dengan Garuda di dada tidak sebanyak pemain seusia mereka di timnas lain.

Bahkan, Stefano Lilipaly yang sudah berusia 35 tahun baru mengemas 34 penampilan bersama Garuda.

Bandingkan dengan Jalal Hasan (34 tahun) di Irak yang telah bermain 94 laga, Rebin Sulaka (33 tahun) 53 laga, dan Osama Rashid (33 tahun) 43 laga.

Arab Saudi juga mempunyai Salem Al Dawsari (34 tahun) dengan 99 laga, Mohamed Kanno (31 tahun) 65 laga, dan Saleh Al Shehri (31 tahun) 46 laga.

Situasi beberapa pemain Irak dan Saudi tersebut dulu juga terjadi pada Indonesia 2010.

Pemain seperti Bambang Pamungkas bahkan mempunyai 63 penampilan sebelum 2010. Artinya, ketika ia bermain di usia 30 tahun pada 2010, ia memang matang secara level timnas.

Kematangan ini sangat dibutuhkan, karena tekanan dalam bermain di timnas dan klub terkadang berbeda. Di sinilah, pemain yang telah lama membela timnas akan mempunyai nilai lebih dibanding yang baru bergabung.

Maka dari itu, Indonesia berada di situasi ideal pada 2010 untuk ukuran bermain di AFF. Mereka mempunyai pemain senior yang memang senior secara caps di Timnas, dikombinasikan dengan tenaga segar ala pemain muda yang sedang semangat membuktikan diri.

Lalu, dilengkapi dengan pemain naturalisasi yang haus gol seperti Cristian Gonzales, serta pemain keturunan Irfan Bachdim yang juga bersemangat membuktikan kecintaannya terhadap negara asal ayahnya.

Dengan kombinasi seideal itu, saat itu saya berharap Indonesia bisa juara Piala AFF. Namun, ternyata harapan itu sirna dengan segala dramanya.

Seperti sorotan laser ke pemain Indonesia, dugaan pengaturan skor, hingga isu gaya hidup yang tak mencerminkan atlet sepak bola profesional dan berkorelasi dengan performa di atas lapangan.

Lantas, bagaimana dengan Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026?

Walau kondisinya berbeda, namun secara atmosfer dalam membangun ekspektasi penonton seperti saya, terasa seperti dejavu dengan Piala AFF 2010.

Yakni, muncul harapan bahwa Indonesia bisa menuntaskan mimpinya untuk tampil di Piala Dunia setelah 1938 dengan perjuangan yang kali ini bernama Indonesia, bukan Hindia Belanda.

Tetapi, ketika harapan itu makin membumbung tinggi karena hanya berjarak 180 menit, namun kenyataannya kembali tidak sesuai ekspektasi.

Apalagi, di balik kegagalannya pun terdapat beragam drama.

Dari pergantian pelatih di tengah jalan, pemanggilan pemain, penggunaan formasi, pendekatan bermain, hingga yang paling menjadi sorotan adalah daftar susunan pemain (DSP) dan susunan 11 pertama.

Deretan drama internal tersebut makin rumit dengan jalannya laga, khususnya seperti saat melawan Irak.

Beragam keputusan wasit Ma Ning asal China seperti menjadi momok bagi Jay Idzes dan kolega. Ditambah pula mereka susah mencetak gol.

Akhirnya, jangankan untuk menang atau pun lolos ke Piala Dunia 2026, mencetak gol dari skema bola hidup (open play) saja susahnya setengah mati.

Pemandangan ini kemudian membuat saya seperti kembali pada 15 tahun lalu. Yakni, gagal melihat happy ending dalam sebuah perjalanan Timnas.

Bedanya, saya mengalami di usia yang tidak lagi bocah, sehingga kekecewaan saya bukan hanya atas dasar mimpi pribadi tapi juga ikut bersimpati atas kesedihan para pemain.

Pemain seperti Thom Haye, Calvin Verdonk, Sandy Walsh, hingga Jordi Amat berada di ambang gagal tampil di Piala Dunia untuk selamanya sebagai pesepak bola.

Mungkin, jika mereka menjadi pelatih sepak bola dan sukses, bisa saja mereka akan tampil di Piala Dunia. Tetapi, untuk bisa tampil sebagai pemain, akan menjadi makin sulit secara usia.

Pada 2030 mendatang, Thom Haye dan Sandy Walsh sudah 35 tahun, Kevin Diks 34 tahun, Calvin Verdonk 33 tahun.

Apalagi Jordi Amat, ia bakal berusia 38 tahun. Sangat uzur untuk ukuran pesepak bola, apalagi jika ia lama bermain di Liga Indonesia yang menurut mantan interpreter timnas Jeong Seok Seo (Jeje) mempunyai intensitas permainan yang tak seketat liga lain dan ajang internasional.

Karena itu, ketika melihat Thom Haye dan Calvin Verdonk menangis, serta Sandy Walsh berkaca-kaca saat menatap ke arah suporter di tribun King Abdullah, itu membuat saya juga ikut sedih.

Walau demikian, sebagai saksi perjalanan jatuh-bangun Timnas Indonesia sejak lebih dari 15 tahun, saya masih berharap akan ada masanya untuk Indonesia bisa kembali berada di titik ini, yakni tinggal dua pertandingan lagi menuju Piala Dunia.

Jika saat ini Indonesia bisa merasakan bermain hingga ke tahap ronde keempat, maka di masa depan harapannya bisa menuntaskannya pada ronde ketiga untuk meraih tiket ke Piala Dunia. Semoga! (***)

Ditulis oleh penyuka sepak bola yang masih awam, Deddy HS.

Malang, 12 Oktober 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun