Walau kondisinya berbeda, namun secara atmosfer dalam membangun ekspektasi penonton seperti saya, terasa seperti dejavu dengan Piala AFF 2010.
Yakni, muncul harapan bahwa Indonesia bisa menuntaskan mimpinya untuk tampil di Piala Dunia setelah 1938 dengan perjuangan yang kali ini bernama Indonesia, bukan Hindia Belanda.
Tetapi, ketika harapan itu makin membumbung tinggi karena hanya berjarak 180 menit, namun kenyataannya kembali tidak sesuai ekspektasi.
Apalagi, di balik kegagalannya pun terdapat beragam drama.
Dari pergantian pelatih di tengah jalan, pemanggilan pemain, penggunaan formasi, pendekatan bermain, hingga yang paling menjadi sorotan adalah daftar susunan pemain (DSP) dan susunan 11 pertama.
Deretan drama internal tersebut makin rumit dengan jalannya laga, khususnya seperti saat melawan Irak.
Beragam keputusan wasit Ma Ning asal China seperti menjadi momok bagi Jay Idzes dan kolega. Ditambah pula mereka susah mencetak gol.
Akhirnya, jangankan untuk menang atau pun lolos ke Piala Dunia 2026, mencetak gol dari skema bola hidup (open play) saja susahnya setengah mati.
Pemandangan ini kemudian membuat saya seperti kembali pada 15 tahun lalu. Yakni, gagal melihat happy ending dalam sebuah perjalanan Timnas.
Bedanya, saya mengalami di usia yang tidak lagi bocah, sehingga kekecewaan saya bukan hanya atas dasar mimpi pribadi tapi juga ikut bersimpati atas kesedihan para pemain.
Pemain seperti Thom Haye, Calvin Verdonk, Sandy Walsh, hingga Jordi Amat berada di ambang gagal tampil di Piala Dunia untuk selamanya sebagai pesepak bola.