Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Penikmat Bola "Diospek Kejurnalisannya" dengan Bidang Lain

15 Januari 2022   17:58 Diperbarui: 15 Januari 2022   17:59 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jurnalis. Sumber: Pexels.com/Ketut Subiyanto

Istilah ospek cenderung identik dengan masa penataran bagi mahasiswa baru, atau kalau di sekolah disebut MOS. Masa Orientasi Siswa.

Saat menjalani masa ini, akan ada semacam tantangan untuk menumbuhkan nyali, kedisiplinan, komitmen, dan beradaptasi terhadap lingkungan baru yang ditempati. Ini berlaku kepada siapa pun.

Bahkan, juga masih berlaku sampai ke jenjang pekerjaan. Walaupun, tentu polanya berbeda.

Dalam urusan kepenulisan, juga tidak selamanya si penulis atau calon penulis mendapatkan tantangan sesuai dengan kemampuannya. Karena, kalau sesuai dengan kemampuannya, itu bukan tantangan.

Ketika pertama kali menulis di blog, saya juga masih belum sepenuhnya mencari tantangan. Walaupun, ketika membuat situs blog, itu sebetulnya sudah merupakan tantangan. Mengapa begitu?

Karena, dengan membuat situs blog, saya harus mulai berani menunjukkan apa yang dapat saya lakukan dengan blog tersebut. Saya tidak lagi hanya menulis lalu membacanya sendiri, melainkan mulai membuka peluang bagi orang lain untuk membaca tulisan saya dan mengetahui apa yang dapat saya lakukan.

Di sinilah, saya mulai harus berani menumbuhkan kepercayaan diri. Kepercayaan diri baru dapat muncul kalau ada yang bisa ditonjolkan. Artinya, yang ditonjolkan adalah kemampuan atau sisi terbaik dari saya.

Kalau belum ada keunggulan yang dapat diandalkan dan ditunjukkan ke ruang terbuka, maka sulit untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Itu pasti.

Di sinilah yang kemudian menjadi tantangan saya. Meskipun, saya suka membaca ulasan tentang sepak bola dan membaca berita tentang bola setiap bangun tidur di pagi hari, nyatanya saya belum pernah menulis tentang bola, kecuali lewat unggahan di akun Fanspage saat masih tren akun Fanspage pada awal dekade 2010-an.

Namun, mutu tulisan di situ jelas berbeda. Minimal tolok-ukurnya di jumlah kata. Di unggahan pada akun Fanspage, seorang admin dapat mengunggah tulisan hanya 100-200 kata. Namun, di blog, akan lebih baik kalau lebih dari itu.

Dari situlah saya mendapatkan tantangan meski masih di situs blog pribadi. Sampai kemudian, tantangan terasa meningkat setelah menulis di Kompasiana.

Meskipun, memulainya dengan tulisan tentang sepak bola. Tantangannya kali ini adalah membuka ruang yang lebih terbuka lagi dibanding situs blog yang memang belum dikelola secanggih blogger pada umumnya.

Tantangan terus berlanjut. Dari yang mencoba rutin membuat tulisan yang dapat memperoleh sematan "Pilihan" atau "Highlight", sampai memperoleh "Headline" atau "Artikel Utama".

Kemudian, topik yang ditulis pun makin beragam. Mau tidak mau itu harus dilakukan. Terutama ketika mengikuti blog competition, salah satunya dengan mengikuti "Samber THR".

Ketika menulis di Kompasiana, saya merasa bersyukur pernah memulai awal menulis di situs blog terlebih dahulu. Ini yang membuat tulisan saya tidak terlalu "ancur-ancuran" kalau menggunakan istilah di kalangan penggemar sepak bola masa kini.

Menariknya, ketika menulis di Kompasiana, saya juga menemukan pengalaman dalam menulis beragam topik. Bahkan tentang politik dan pemerintahan pernah saya tulis, meski jumlahnya sangat sedikit dan cenderung tidak berani menulis topik tersebut.

Baca juga: Tulisan 1, 2, dan 3.

Ini yang kemudian membuat saya cukup sering menolak kesempatan untuk menulis tentang politik dan pemerintahan. Hanya saja, saya bukanlah "The Ancient One" (Dr. Strange 2016) yang bisa melihat masa depan, lalu berupaya mengubahnya berkali-kali sampai akhirnya menyerah.

Maka dari itu, saya tidak menyangka jika tantangan saya ketika mencoba menulis di tempat yang baru untuk mengasah keterampilan menulis lebih baik lagi, ternyata tidak ada kaitannya dengan objek yang saya sukai, yaitu sepak bola.

Tulisan pertama saya untuk menjawab tantangan di tempat baru tersebut adalah tentang politik-pemerintahan. Di dalamnya terdapat perundang-undangan, yang kemudian menjadi fokus dari tulisan tersebut.

Menariknya, saya tidak menolak, dan justru merasa tertantang untuk menulisnya. Karena, kali ini bentuk tulisannya adalah berita.

Tulisan berita yang dimaksud. Sumber: via Jatimsatunews.com
Tulisan berita yang dimaksud. Sumber: via Jatimsatunews.com

Bentuk yang selama ini masih saya hindari, karena bersifat melaporkan, bukan mengulas atau menanggapi suatu kejadian. Jumlah katanya pun sebaiknya efektif, alias tidak kependekan juga tidak kepanjangan.

Jika dalam menulis artikel, sebaiknya dapat menyajikan fokus tulisan yang sejelas-jelasnya dan beralur. Maka, dalam menulis berita, sebaiknya lebih lugas meskipun tetap ada alurnya.

Pembukaan, isi, dan penutup tetap ada di berita. Hanya saja, tidak perlu disajikan secara rinci, yang penting fokus topiknya sudah jelas.

Unsur-unsur yang paling utama muncul dalam berita adalah menjawab pertanyaan yang berawal dari 'apa' dan 'mengapa'. Seperti, "apa isi RUU PPRT yang diusung oleh Adang Daradjatun", dan "mengapa fraksi PKS mendukung RUU PPRT dalam sidang paripurna DPR RI".

Tentu, semua proses kepenulisan menghadirkan pengalaman yang berbeda. Termasuk saat saya akhirnya berani menulis berita dan bukan tentang bidang yang saya sukai.

Pengalaman menariknya adalah pertama kalinya saya harus betul-betul mendengarkan kalimat yang diucapkan oleh figur yang berbicara untuk dimasukkan dalam bentuk kutipan ke dalam berita.

Supaya kalimatnya otentik, maka harus diputar berkali-kali sembari menulis setiap kata yang terucap. Inilah yang biasanya disebut sebagai transkrip.

Ilustrasi melakukan transkrip. Sumber: via Pexels.com/Ketut Subiyanto
Ilustrasi melakukan transkrip. Sumber: via Pexels.com/Ketut Subiyanto

Selama ini, saya tidak pernah membuat kutipan dari ungkapan seseorang ketika mencantumkan persepsinya, karena saya tidak suka menggunakan susunan kalimat yang sama dan persis.

Selain dapat meningkatkan persentase plagiasi--jika ungkapannya sudah beredar secara tekstual, juga dapat membuat saya harus mencermati setiap kata yang terucap dan harus menyalinnya ke bentuk tulisan yang tidak terutak-atik, demi menjaga keotentikannya.

Meski terasa ribet, namun pengalaman ini membuat saya senang. Setidaknya, pada masa ospek kejurnalisan ini, saya mendapatkan tantangan baru dan pengalaman baru, sekaligus pengetahuan baru.

Ketika menulis berita, seorang penulis tidak hanya berupaya memberikan informasi kepada pembaca, melainkan juga mencari informasi seputar fokus berita tersebut sebelum menyalurkannya ke pembaca.

Beruntung, keterampilan dalam mencari informasi sudah terbangun selama menulis artikel di blog dan Kompasiana. Ini membuat saya tidak terlalu kesulitan dalam menyuguhkan informasi ke dalam bentuk berita.

Selain itu, pengalaman menulis berita juga membuat saya belajar menulis efektif. Tidak irit, juga tidak boros.

Saya masih sangat pemula, dan masih sangat perlu untuk belajar menulis berita dengan cara banyak membaca berita. Pengalaman membaca tersebut kemudian diupayakan dapat diimplementasikan ke dalam bentuk penulisan berita.

Saya juga patut mengungkapkan salah satu proses lainnya yang memang dibutuhkan dalam proses penulisan berita, yaitu keberadaan proses komunikasi dan diskusi dengan pihak editor atau redaktur. Bahkan, dalam urusan pemilihan judul juga didiskusikan, sampai akhirnya tulisan saya dapat termuat.

Itu yang juga menjadi pengalaman menarik, meski bukan yang pertama kali. Namun, saya menjadi paham, bahwa dalam penulisan berita, seorang penulis sangat perlu untuk berkoordinasi dengan orang lain guna membentuk sajian berita yang sesuai target kolektif, bukan individu.

Artinya, ketika saya menulis berita, saya tidak boleh menutup diri terhadap segala kemungkinan yang harus ada dalam berita tersebut. Saya tidak boleh merasa apa yang saya tulis sudah tepat.

Itulah yang biasanya muncul dalam pikiran saya ketika menulis artikel. Ada kecenderungan sudah merasa menulis dengan tepat, padahal belum tentu demikian.

Artinya, menulis berita dapat membuat seorang penulis menjadi belajar untuk tidak egois dan tidak narsis. Penulis harus dapat menjadi pihak yang senetral mungkin, walaupun harus memperhatikan fokus yang ingin disampaikan lewat tulisannya--masih ada unsur subjektif.

Kurang-lebih, inilah yang ingin saya ceritakan lewat tulisan tentang masa pengospekan saya di dunia kejurnalisan. Dunia yang sebenarnya ragu untuk saya masuki, namun pada kenyataannya telah saya masuki.

Memang, masih di sejentik tepi dari bibir pintu masuknya. Namun, ini telah menjadi bagian dari saya untuk terus berproses dalam menulis.

Apabila pembaca ingin mengetahui bagaimana karya "ospek" saya di dunia kejurnalisan, silakan mengunjungi tautan ini. Semoga bermanfaat.

Malang, 13-14 Januari 2022

Deddy H. Suryanto

***

Terkait: Manfaat Menulis, Manfaat Belajar Teks Berita, Teknik Penulisan Berita.

Tersemat: Jatimsatunews.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun