Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Indonesia Tak Pernah Lepas dari Isu Agama?

5 Desember 2018   20:06 Diperbarui: 6 Desember 2018   14:58 2525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Umat muslim mengikuti aksi 212 di depan Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (21/2/2017). Aksi 212 tersebut digelar dalam rangka menuntut DPR agar segera mengambil tindakan agar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama diberhentikan dari jabatannya. (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

"Reuni 212 hanyalah ajang silaturahmi biasa, namun diviralkan" 

Sudah 73 tahun Indonesia merdeka. Sudah lebih dari 5 abad Indonesia memiliki perkembangan pada sosial dan peradabannya. Termasuk tentang agama. Memiliki awal peradaban agama yang mungkin tidak jauh beda dengan suku-suku asli di beberapa negara lain, seperti Aborigin di Australia, suku Maya di daratan Amerika tengah dan selatan, suku Indian di Amerika, dan suku-suku cerdas yang ada di daratan Afrika (Mesir) dan Jazirah Arab.

Indonesia secara bertahap memiliki peradaban berdasarkan keberadaan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Termasuk ketika Indonesia berhasil merdeka dan kemudian menjadi salah satu negara yang memiliki dan mengakui kemajemukan terhadap agama yang dianut oleh penduduknya.

Terdiri dari Pulau Sumatra sampai Pulau Papua (bagian barat), Indonesia memiliki keanekaragaman suku, ras, bahasa, nilai dan norma, sampai agama. Memang tidak dipungkiri bahwa selalu ada catatan yang menunjukkan bahwa yang ini jumlahnya lebih banyak, yang ini jumlahnya lebih sedikit. Untuk itulah, ada istilah mayoritas dan minoritas. Namun, mayoritas ada untuk mengayomi minoritas. Minoritas ada untuk mengisi hal-hal lain yang mungkin tidak/belum ada di mayoritas.

Mengenai agama di Indonesia, Islam adalah agama mayoritas, yang bahkan dengan jumlah penduduknya yang besar, Indonesia menjadi negara yang memiliki penduduk Islam terbanyak di dunia walau negara ini (sistem pemerintahannya) tidak seperti Arab Saudi dan negara-negara muslim lainnya.

Artinya, Indonesia memiliki keistimewaan di sini. Menandakan bahwa (agama) Islam sangat dekat dengan (penduduk) Indonesia. Keberagaman latar belakang sosial rupanya menjadikan Islam bisa memegang peranan penting untuk mengajarkan tentang pengayoman dan toleransi. Salah satu poin terpenting lainnya adalah keteduhan. Hal ini bisa dilihat ketika ada satu bulan yang sangat istimewa di kalender Islam, yaitu bulan Ramadan.

Di bulan inilah, masyarakat Indonesia benar-benar berada dalam situasi yang tenang, rukun, tentram, dan penuh kasih. Kedamaian sangat terasa dan tak dipungkiri membuat umat beragama non-muslim juga mengakui adanya keistimewaan di bulan ini dan selalu ampuh untuk menjadi momen yang tepat dalam berbagi sukacita dan keberkahan---tanpa memandang siapa dan dari mana.

Namun, di sisi lain ada juga fakta yang kurang menyenangkan dari mayoritas ini. Yaitu, keberadaan oknum-oknum yang membahayakan keamanan negara dengan melakukan tindakan kriminal yang mengatasnamakan agama Islam. Di sini kemudian membuat adanya istilah terorisme yang disematkan kepada Islam---seolah-olah ada ajaran tentang faham fanatisme yang berujung pada radikalisme.

Namun, Indonesia adalah negara yang sangat teguh dalam upayanya menjaga keutuhan negara dengan merangkul semua agama untuk dapat hidup berdampingan di bumi pertiwi yang (masih) rindang ini. Walau, potensi perpecahan tak pernah benar-benar surut---apalagi jika itu tentang agama, namun semakin ke sini (era yang lebih maju), masyarakat mulai dapat berpikir lebih dewasa. Termasuk generasi yang sudah tua. Mereka tahu apa yang tidak perlu dilakukan. Namun, di sisi lain, akibat perkembangan zaman bersama dengan kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi, pergolakan mulai kembali muncul.

Mudahnya mengakses berita dan kabar-kabar yang masih simpang-siur dan bahkan tidak semuanya 100% akurat, seringkali membuat masyarakat yang membacanya mengalami kesalahpahaman. 

Ini juga terjadi di ranah agama, yang mana kabar tentang adanya penistaan agama, pelecehan terhadap ajaran dan fahamnya, ternyata mampu membuat beberapa orang menjadi geram. Situasi ini kemudian semakin rumit ketika kabar tersebut menjadi kasus yang serius dan diusut sampai ke ranah pengadilan.

Termasuk ketika kasus tersebut sampai memunculkan gerakan (semacam gerakan sosial) yang menghimpun banyak masyarakat untuk mendemonstrasikan kekecewaannya terhadap pihak yang (dinilai) melakukan kesalahan tersebut. Tidak main-main bahwa gerakan ini menghimpun masyarakat (mayoritas) dari pelosok daerah untuk berangkat ke ibukota (Jakarta) hanya untuk menyuarakan ketidakpuasannya terhadap argumentasi pihak yang kebetulan berbeda latar belakang agamanya (minoritas).

Ilustrasi Reuni 212 di Monumen Nasional Jakarta (Suara.com/Muhaimin A Untung)
Ilustrasi Reuni 212 di Monumen Nasional Jakarta (Suara.com/Muhaimin A Untung)
Awalnya, publik menganggap bahwa ini hanya akan menjadi semacam demonstrasi biasa yang kadangkala dirasa perlu dilakukan agar ada tindakan tegas terhadap adanya kesalahan dari pihak tersebut (calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama---Ahok). 

Mungkin harapannya dengan adanya gerakan tersebut adalah agar masyarakat selalu hati-hati dan saling menghargai dalam berargumentasi tentang agama apalagi jika pembahasannya adalah lintas agama. Namun, ternyata gerakan itu menjadi semakin melebar dan kemudian kini malah ada gerakan reuni 212.

Sungguh unik.

Karena gerakan ini awalnya hanya sebuah gerakan menuntut kebenaran untuk ditegakkan namun kemudian menjadi ajang perkumpulan besar dan sangat menyiratkan adanya keganjilan (ada peran keterlibatan unsur politik) dan mengundang kecurigaan dari beberapa kalangan.

Benarkah ini hanyalah sebuah ajang silaturahmi biasa bagi umat Islam di Indonesia (walau tidak semua turut hadir---tidak dibayangkan jika semua hadir), atau ada tujuan lainnya?

Dan pentingkah adanya reuni 212 bagi umat Islam di Indonesia?

Kembali lagi pada fakta bahwa Islam di Indonesia sudah menjadi mayoritas, dan mayoritas itu sudah diakui dan diterima dengan baik oleh minoritas. Karena hidup berdampingan dengan tebaran kebaikan itu lebih penting, tanpa perlu repot-repot memilah-memilih apa agama dan apa sukumu.

Namun kebesaran agama Islam di Indonesia terlihat seperti menjadi tergoyahkan dengan fenomena adanya gerakan seperti 212 (yang kemudian menjadi reuni 212). Mengapa?

Karena jika dirunut awal mula adanya gerakan 212 ini adalah untuk menuntut keadilan terhadap kasus penistaan agama yang dilayangkan kepada Ahok. Namun, ketika Ahok akhirnya menjadi tahanan---mungkin ini adalah kasus pertama kali di Indonesia, yaitu adanya seorang tahanan agama. Di sini, gerakan 212 mungkin masih bisa dimaklumi/diterima oleh sebagian masyarakat. 

Namun, menjadi kurang dimaklumi ketika kemudian gerakan ini melahirkan reuni 212. Seolah-olah umat muslim di Indonesia sedang berpesta dalam keberhasilan mereka menjebloskan seorang tahanan---yang padahal dia adalah salah seorang putra bangsa yang sedang berupaya menjadi orang yang peduli dengan rakyat dan pemerintahan di Indonesia (tanah airnya).

Di sinilah letak ketidakwajaran adanya reuni 212. Menjadikan wajah agama sebesar Islam di Indonesia mulai terlihat tak bisa menjadi pengayom. Karena ternyata kaum mayoritas masih perlu membuktikan eksistensinya di depan publik---yang pastinya dilihat pula oleh kaum minoritas.

Reuni 212 memang ajang silaturahmi yang baik bagi umat Islam, namun tidak terlalu penting untuk diadakan jika hal ini hanya untuk memperlihatkan eksistensi dan bukti seberapa kuat umat Islam di Indonesia.

Islam di Indonesia sudah besar tanpa reuni 212.

Islam di Indonesia sudah penuh kasih sayang dengan bulan Ramadan.

Islam di Indonesia juga sudah penuh kedamaian dengan pemimpinnya yang dapat berlaku adil (dengan selalu terpilihnya pemimpin negaranya dari kaum mayoritas; 7 Presiden RI beragama Islam), yang rupanya juga mampu sangat peduli dengan kesejahteraan dari Sabang sampai Merauke. Apakah hal ini masih kurang?

---

Semoga Islam di Indonesia lebih dewasa bersama dengan jumlah penganutnya yang semakin besar. Islam sesungguhnya cinta damai, dan kasih sayang---sama seperti agama lainnya. 

Sama seperti agama yang lainnya pula, bahwa Islam mengajarkan kita untuk bisa memaafkan. Apalagi memaafkan kesalahan orang (dari agama yang berbeda) yang tidak cukup tahu (tafsir dan pengamalan) dengan apa yang sebenarnya ada di ajaran agama Islam.

Jadi, apakah Islam di Indonesia sangat perlu gerakan seperti Reuni 212?

Malang,
5 Desember 2018
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun