Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika Politisi "Nyambi" Jadi Sastrawan

17 Desember 2018   21:51 Diperbarui: 18 Desember 2018   13:43 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Suarakan keluhanmu dengan caramu, bukan cara teman, saudara, atau orangtuamu" 

Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mulai sering melihat sajak-sajak liar mengudara di sosial media milik tokoh-tokoh publik. Selebritis, seniman, sastrawan (profesinya memang untuk bersajak/berkata-kata "indah"), pejabat, pebisnis, sampai politisi.

Sajak atau yang lebih dikenal dengan puisi oleh khalayak umum ini memang bisa menjadi senjata ampuh untuk meraih simpatisan dari masyarakat apalagi warganet---khususnya generasi milenial akhir. Mereka yang terbiasa dengan ungkapan-ungkapan semi galau namun terbumbui dengan maksud terselubung, akan sangat mudah untuk tertarik dengan cuitan-cuitan dari orang-orang yang kemudian dikenal sebagai figur publik.

Termasuk dengan fenomena penyairan yang dilakukan oleh politisi yang kemudian menjadi viral, yang kemudian seolah-olah karya dan penulisnya tersebut sudah dapat disejajarkan dengan para penyair "asli".

Unik, tapi memang itulah yang terjadi. Membuat politisi dan figur publik dari segi pemerintahan mulai terlihat nyambi jadi sastrawan dengan sajak-sajak penuh propagandanya. Apakah itu tidak boleh?

Boleh. Toh, politisi juga manusia, sama seperti mahasiswa-mahasiswa galau dengan masa putus pacarannya atau masa-masa sulit menempuh fase akhir sebagai maba. Mahasiswa basi. Tapi, bukan soal kebolehan dan soal persamaan hak sebagai orang yang boleh bersyair.

Tapi, ini tentang kesucian dari barisan kata-kata yang kemudian disebut secara gampang tanpa bersalah dengan menyebutnya sebagai puisi.

Apakah anda tahu apa itu puisi?
Apakah anda tahu ciri-cirinya?
Apakah anda tahu metodenya?
Teorinya?
Prinsipnya?

Itu yang sangat penting untuk diperhatikan sebelum orang tersebut menulis kata-kata yang kemudian dicap sebagai puisi. Apakah tulisan tersebut sudah layak disebut puisi dan penulisnya disebut penyair?

Ilustrasi dari nu.or.id
Ilustrasi dari nu.or.id
Seorang legenda hidup seperti Sapardi Djoko Damono saja, perlu berpuluh tahun menyelami samuderanya untuk bisa mentas membawa puisi.
Joko Pinurbo, Hasta Indriyana, Aan Mansyur, dan penyair lainnya yang kemudian sangat pantas disematkan "gelar" sastrawan saja tak bisa hanya mengandalkan satu dua puisinya untuk kemudian dapat disebut demikian.

Mereka juga tidak menjadikan "anak tangannya" itu untuk melakukan penggalangan massa. Mereka melakukannya untuk mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan, berdasarkan daya tangkapnya terhadap realitas di sekitarnya.

Mereka mencoba melukiskan keindahan dunia dengan bait-bait penuh makna terbaik untuk dapat diketahui oleh para pembaca. Mereka juga mendedikasikan hal tersebut untuk kebaikan negerinya bukan untuk mempengaruhi dan memecah-belah bangsa.

Mereka adalah cangkir pelindung air hangat dengan seduhan teh tak manisnya. Namun aromanya sangat harum. Merekalah sastrawan yang sepatutnya lebih diapresiasi oleh publik secara luas. Tak perlu mengenal mereka seperti apa, namun kenalilah karyanya. Sehingga kita dapat menilai seperti apa itu puisi yang sejatinya.

Lalu, bagaimana dengan puisi-puisi yang bercorak propaganda atau berlatar belakang politis---dari penulisnya? Mereka sah untuk hadir, bahkan puisi semacam itu juga pernah ada di Bumi ini---seperti Rusia, China atau Jepang*. 

Tapi, kita harus melihat seperti apa tujuan dari keberadaan puisi seperti itu, dan masihkan dapat berlaku untuk masyarakat Indonesia yang sudah sepatutnya lebih matang dalam menyikapi segala macam tulisan yang berserakan di laman sosial media.

Orang politisi tak haram untuk menyentuh puisi, namun seyogyanya mereka sadar terhadap apa tujuan dan isi yang ada di puisi---yang dihasilkannya---tersebut.
Begitu pula dengan masyarakat. Sangat disayangkan jika masyarakat juga gagal dalam menyikapi keberadaan politisi dan puisinya dengan sewajarnya.

Apresiasi boleh, namun tidak perlu dibesar-besarkan---yang perlu dibesarkan adalah kinerjanya yang seperti apa saat berkecimpung di ranah politik Indonesia. Sudahkah mereka (para politisi) memberikan pengaruh baik terhadap pembangunan dan pengembangan negara ini dengan karya politiknya? Jangan sampai mereka menutupi kekurangannya dalam berpolitik sehat dengan karya puisinya.

Apabila ingin menjadi pemuisi yang layak dielu-elukan masyarakat, seyogyanya lepas statusnya sebagai politisi dan mari berkarya dengan sehat dan kontekstual demi kemartabatan negeri ini.

Supaya Indonesia tak terlalu kebanyakan berita dan kasus yang sangat kurang penting untuk diperbincangkan. Apalagi jika sampai membuat para penikmat puisi dan sastra mulai kebingungan untuk menilai karya yang layak dibaca, diresapi dan diikuti pola pikirnya dengan karya yang bahkan seharusnya tidak dibaca.
Sayangi negeri ini dengan apa yang bisa masing-masing lakukan, sesuai dengan porsi, status dan perannya.

Jangan nyambi, jika belum kuat. Apalagi nyambi jadi sastrawan.

Malang,
16 Desember 2018
Deddy Husein S.

Catatan:
*) tentang seluk-beluk puisi propaganda yang dapat dilihat di buku Tifa Penyair dan Daerahnya yang ditulis oleh Hans Bague Jassin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun