Itu adalah rutinitas yang bisa disebut pengganti saat bulan "normal". Tidur siang kemudian menjadi masuk ke dalam agenda wajib saat Ramadan, walau awalnya terasa aneh.
Namun, kalau tidak dilakukan, tubuh akan dehidrasi. Jika parah, bukan tidak mungkin malah membuat tubuh sakit.
Itulah mengapa, ibu saya selalu menerapkan sebuah tradisi bernama "yang penting sahur". Sahur adalah kunci pertama dan utama dalam menjalankan praktik berpuasa sebulan penuh dengan tetap menjaga aktivitas dan produktivitas.
Saat bersahur, tidak harus menargetkan menu makanan atau minuman yang melebihi standar dari kehidupan biasanya. Menunya tetap boleh yang semampunya, namun dia tetap harus ada untuk bersahur.
Bahkan, pernah kami sekeluarga hanya bisa bersahur dengan mi instan dan minuman sereal instan. Tetapi, itu sudah bisa menjadi modal untuk mengarungi waktu produktif masing-masing.
Itu bahkan jauh lebih baik daripada tanpa bersahur. Apalagi, kalau dulu sewaktu SMP, jarak rumah dengan sekolah bisa dibilang jauh. Nyaris satu kilometer dan dilalui dengan berjalan kaki.
Suatu pemandangan yang dulu dianggap langka dan menggambarkan ketidakmampuan. Namun, justru dengan rutinitas itu, saya punya daya tahan tubuh yang bagus meski dibalut dengan perawakan kecil dan kurus.
Saat berpuasa pun berangkat ke sekolah tetap dengan berjalan kaki, dan ini yang kemudian mendorong saya untuk menganggap penting sahur. Apa saja menunya, yang penting sahur.
Saat berpuasa, saya menjadi tahu batas kemampuan tubuh saya, juga menjadi lebih mengenali kualitas tubuh. Ini yang kemudian membuat saya menjadi tidak banyak membantah batasan yang diberikan ibu terkait upaya 'memanjakan tubuh'.
Contohnya, mengonsumsi makanan pedas dan makanan/minuman terlalu manis. Kebetulan dua menu itu adalah musuh besar bagi tubuh saya.