Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kurma Pilihan

Sebuah Tradisi "Yang Penting Sahur"

1 Mei 2021   16:53 Diperbarui: 1 Mei 2021   17:00 907 9
Berpuasa itu penuh tantangan, apalagi kalau dijalankan oleh para pelajar. Seperti yang saya alami dulu ketika masih bersekolah.

Saat pagi berangkat masih terasa biasa saja, karena memang saya jarang membiasakan diri bersarapan. Namun, setelah ada bel tanda istirahat, rasanya seperti aneh kalau tidak melakukan aksi membasahi kerongkongan dan mengisi lambung.

Itulah mengapa, biasanya beberapa hari atau sepekan awal Ramadan akan ada hari libur. Diharapkan ada adaptasi, walau berpuasa saat di rumah saja dengan seraya beraktivitas di sekolah cukup berbeda.

Belum lagi soal interaksi. Berpuasa dan masih harus berkomunikasi dengan teman terasa berbeda.

Bukan hanya faktor sahur makan apa dan jam berapa sikat giginya, keadaan di dalam lambung juga memengaruhi bau mulut dan pernafasan. Hanya saja, di usia sekolah terkadang belum sejauh itu informasi dan pengetahuan yang dimiliki.

Paling sering didengar adalah imbauan "jaga jarak" dan membatasi pembicaraan. Ini yang terkadang membuat saya sering dilanda keresahan, karena selalu ada larangan tanpa ada latar belakang yang jelas.

Orang sering mengatakan akibat tapi tidak menyampaikan juga sebabnya. Padahal, orang juga membutuhkan itu.

Namun, keresahan ini belum sepenting keresahan terkait daya tahan tubuh. Pada usia yang masih remaja dan tentunya lebih prima daripada guru-gurunya--kecuali guru Penjaskes, berpuasa seolah-olah menjadi halangan untuk aktif setiap hari.

Bahkan, itu terasa bagi saya yang sebenarnya tidak seaktif remaja lain. Hanya saja, berpuasa cukup sukses untuk membatasi keinginan saya untuk mampir-mampir sepulang sekolah.

Seperti singgah ke tempat rental PlayStation 2, atau ke Warnet untuk membuka Facebook dan Youtube. Atau, terkadang juga singgah sebentar ke warkop dekat rumah yang kebetulan sering menjadi markas menongkrong teman sekelas atau sekolah.

Akhirnya, ketika berpuasa, setelah pulang sekolah pasti istirahat. Sore harus bangun dan bersiap untuk ngabuburit ke masjid.

Itu adalah rutinitas yang bisa disebut pengganti saat bulan "normal". Tidur siang kemudian menjadi masuk ke dalam agenda wajib saat Ramadan, walau awalnya terasa aneh.

Namun, kalau tidak dilakukan, tubuh akan dehidrasi. Jika parah, bukan tidak mungkin malah membuat tubuh sakit.

Itulah mengapa, ibu saya selalu menerapkan sebuah tradisi bernama "yang penting sahur". Sahur adalah kunci pertama dan utama dalam menjalankan praktik berpuasa sebulan penuh dengan tetap menjaga aktivitas dan produktivitas.

Saat bersahur, tidak harus menargetkan menu makanan atau minuman yang melebihi standar dari kehidupan biasanya. Menunya tetap boleh yang semampunya, namun dia tetap harus ada untuk bersahur.

Bahkan, pernah kami sekeluarga hanya bisa bersahur dengan mi instan dan minuman sereal instan. Tetapi, itu sudah bisa menjadi modal untuk mengarungi waktu produktif masing-masing.

Itu bahkan jauh lebih baik daripada tanpa bersahur. Apalagi, kalau dulu sewaktu SMP, jarak rumah dengan sekolah bisa dibilang jauh. Nyaris satu kilometer dan dilalui dengan berjalan kaki.

Suatu pemandangan yang dulu dianggap langka dan menggambarkan ketidakmampuan. Namun, justru dengan rutinitas itu, saya punya daya tahan tubuh yang bagus meski dibalut dengan perawakan kecil dan kurus.

Saat berpuasa pun berangkat ke sekolah tetap dengan berjalan kaki, dan ini yang kemudian mendorong saya untuk menganggap penting sahur. Apa saja menunya, yang penting sahur.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun