Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sebuah Tradisi "Yang Penting Sahur"

1 Mei 2021   16:53 Diperbarui: 1 Mei 2021   17:00 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makanan untuk bersahur. Sumber: Pexels/Foodie Factor

Berpuasa itu penuh tantangan, apalagi kalau dijalankan oleh para pelajar. Seperti yang saya alami dulu ketika masih bersekolah.

Saat pagi berangkat masih terasa biasa saja, karena memang saya jarang membiasakan diri bersarapan. Namun, setelah ada bel tanda istirahat, rasanya seperti aneh kalau tidak melakukan aksi membasahi kerongkongan dan mengisi lambung.

Itulah mengapa, biasanya beberapa hari atau sepekan awal Ramadan akan ada hari libur. Diharapkan ada adaptasi, walau berpuasa saat di rumah saja dengan seraya beraktivitas di sekolah cukup berbeda.

Belum lagi soal interaksi. Berpuasa dan masih harus berkomunikasi dengan teman terasa berbeda.

Bukan hanya faktor sahur makan apa dan jam berapa sikat giginya, keadaan di dalam lambung juga memengaruhi bau mulut dan pernafasan. Hanya saja, di usia sekolah terkadang belum sejauh itu informasi dan pengetahuan yang dimiliki.

Paling sering didengar adalah imbauan "jaga jarak" dan membatasi pembicaraan. Ini yang terkadang membuat saya sering dilanda keresahan, karena selalu ada larangan tanpa ada latar belakang yang jelas.

Orang sering mengatakan akibat tapi tidak menyampaikan juga sebabnya. Padahal, orang juga membutuhkan itu.

Namun, keresahan ini belum sepenting keresahan terkait daya tahan tubuh. Pada usia yang masih remaja dan tentunya lebih prima daripada guru-gurunya--kecuali guru Penjaskes, berpuasa seolah-olah menjadi halangan untuk aktif setiap hari.

Bahkan, itu terasa bagi saya yang sebenarnya tidak seaktif remaja lain. Hanya saja, berpuasa cukup sukses untuk membatasi keinginan saya untuk mampir-mampir sepulang sekolah.

Seperti singgah ke tempat rental PlayStation 2, atau ke Warnet untuk membuka Facebook dan Youtube. Atau, terkadang juga singgah sebentar ke warkop dekat rumah yang kebetulan sering menjadi markas menongkrong teman sekelas atau sekolah.

Akhirnya, ketika berpuasa, setelah pulang sekolah pasti istirahat. Sore harus bangun dan bersiap untuk ngabuburit ke masjid.

Itu adalah rutinitas yang bisa disebut pengganti saat bulan "normal". Tidur siang kemudian menjadi masuk ke dalam agenda wajib saat Ramadan, walau awalnya terasa aneh.

Namun, kalau tidak dilakukan, tubuh akan dehidrasi. Jika parah, bukan tidak mungkin malah membuat tubuh sakit.

Itulah mengapa, ibu saya selalu menerapkan sebuah tradisi bernama "yang penting sahur". Sahur adalah kunci pertama dan utama dalam menjalankan praktik berpuasa sebulan penuh dengan tetap menjaga aktivitas dan produktivitas.

Saat bersahur, tidak harus menargetkan menu makanan atau minuman yang melebihi standar dari kehidupan biasanya. Menunya tetap boleh yang semampunya, namun dia tetap harus ada untuk bersahur.

Bahkan, pernah kami sekeluarga hanya bisa bersahur dengan mi instan dan minuman sereal instan. Tetapi, itu sudah bisa menjadi modal untuk mengarungi waktu produktif masing-masing.

Itu bahkan jauh lebih baik daripada tanpa bersahur. Apalagi, kalau dulu sewaktu SMP, jarak rumah dengan sekolah bisa dibilang jauh. Nyaris satu kilometer dan dilalui dengan berjalan kaki.

Suatu pemandangan yang dulu dianggap langka dan menggambarkan ketidakmampuan. Namun, justru dengan rutinitas itu, saya punya daya tahan tubuh yang bagus meski dibalut dengan perawakan kecil dan kurus.

Saat berpuasa pun berangkat ke sekolah tetap dengan berjalan kaki, dan ini yang kemudian mendorong saya untuk menganggap penting sahur. Apa saja menunya, yang penting sahur.

Ilustrasi menu bersahur simpel; telur dadar. Sumber: Pexels/Klaus Nielsen
Ilustrasi menu bersahur simpel; telur dadar. Sumber: Pexels/Klaus Nielsen
Ketika sudah bersahur, di sanalah akan ada upaya untuk menjaga komitmen. Selain itu, berpuasa tidak hanya mengandalkan sahur, melainkan juga belajar mengelola daya tahan tubuh.

Saat berpuasa, saya menjadi tahu batas kemampuan tubuh saya, juga menjadi lebih mengenali kualitas tubuh. Ini yang kemudian membuat saya menjadi tidak banyak membantah batasan yang diberikan ibu terkait upaya 'memanjakan tubuh'.

Contohnya, mengonsumsi makanan pedas dan makanan/minuman terlalu manis. Kebetulan dua menu itu adalah musuh besar bagi tubuh saya.

Makanan yang pertama bisa membuat lambung tidak sehat dan pengaruhnya ke saluran pembuangan (anus). Sudah seharian harus berpuasa, tapi harus merasakan tubuh tidak nyaman akibat mengonsumsi makanan pedas saat berbuka puasa atau pun bersahur.

Begitu pula dengan makanan atau minuman yang terlalu manis. Di lidah memang sangat nikmat, dan seolah-olah lidah menari gembira. Tetapi, di pernafasan menjadi tidak baik. Akibatnya, batuk-batuk dan flu bisa menimpa.

Kalau sudah begitu, momen Ramadan bukan menjadi momen kontemplasi terhadap kehidupan, malah menjadi ajang menyakiti diri lewat kenikmatan yang dituntut oleh lidah. Itulah yang membuat tradisi "yang penting sahur" akan menjadikan diri lebih menghargai puasanya.

Tradisi ini yang kemudian berusaha saya jaga sampai kapan pun, termasuk ketika standar hidup meningkat. Peningkatan standar hidup entah karena status, ekonomi, dan kebutuhan biologis (faktor usia), menurut saya masih bisa dilalui dengan tradisi ini.

Karena, tradisi "yang penting sahur" yang diusung adalah nilai gunanya (esensinya). Bukan hanya terpatok oleh simbol-simbol lewat bentuk makanan/minumannya.

Ilustrasi menu sahur kompleks. Sumber: Pexels/Wibhas Onnom
Ilustrasi menu sahur kompleks. Sumber: Pexels/Wibhas Onnom
Memang, menu sahur yang bernutrisi tinggi akan mendorong tubuh untuk tetap prima dalam berpuasa, karena itu adalah kelaziman. Tetapi, menu sahur yang sederhana dan cenderung alakadarnya malah bisa membuat tubuh lebih termotivasi untuk menjaga niatnya berpuasa.

Kalau ingin selama puasa Ramadan tetap sehat dan kuat, salah satunya adalah mengutamakan bersahur terlebih dahulu, baru ke syarat-syarat yang lain. Ini sangat berguna bagi saya, dan mungkin bagi pembaca yang ingin mencoba untuk tetap dapat berpuasa walau dalam keadaan ekonomi kurang ideal seperti karena efek pandemi.

Tradisi ini juga bisa untuk membiasakan pelajar menghargai sarapan yang biasanya diabaikan, tapi berusaha dibiasakan oleh orang tuanya. Ketika sudah mengenal puasa, maka pelajar juga mulai tahu bahwa tubuh selalu butuh modal untuk menghasilkan energi yang kuat di pagi hari.

Jadi, tradisi "yang penting sahur" yang sudah dijalankan keluarga saya di masa lalu, rupanya juga bisa membuat saya tidak kaget dengan keadaan Ramadan saat ini. Termasuk, saat saya sudah mengenal tanggung jawab untuk tetap produktif selama Ramadan.

Malang, 1 Mei 2021
Deddy Husein S.

Tulisan sebelumnya: Masjid Favorit Sekaligus Penuh Kenangan

Terkait: Halodoc.com, Klikdokter.com, Kompas.com, dan Detik.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun