Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Perkosa Estetika" dan Debat Kusir Kesenian Teater

8 April 2021   14:49 Diperbarui: 8 April 2021   16:04 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah tulisan yang ada di pementasannya MASTER (5/4). Sumber: Dokumentasi MASTER

Ini adalah tulisan yang sebenarnya sengaja disimpan setelah tulisan sebelumnya hadir dengan judul "MASTER dan Membeli Secangkir Kopi". Dalam ulasan sederhana itu saya sempat menyinggung tentang istilah 'Perkosa Estetika' yang muncul dalam pementasan "1944 atau Lubang Gelap yang Menelan Segalanya".

Istilah itu muncul dalam bentuk tulisan besar di dinding panggung pementasan, yang kemudian terus meneror pikiran saya tentang apa yang ada di balik tulisan tersebut. Apakah ini ada kaitannya dengan isi pementasan tersebut, atau malah "menunggangi" pementasan tersebut?

Kemudian, saya mencoba menangkap pemikiran sederhana yang mungkin berkaitan dengan istilah tersebut. Dimulai dari arti per kata, 'perkosa' dan 'estetika'.

Perkosa dalam terjemahan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti paksa. Sebenarnya, ada kata 'keras', 'gagah', dan 'kuat', tetapi itu lebih merujuk pada istilah 'perkasa', alih-alih 'perkosa'.

Istilah 'perkosa' kemudian "memanjang" dengan istilah 'memerkosa', yang berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan. Bahkan, juga berarti melanggar (menyerang dan sebagainya) dengan kekerasan.

Kemudian, estetika dalam terjemahan KBBI berarti "cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadapnya". Arti lainnya, kepekaan terhadap seni dan keindahan.

Jika digambarkan secara runut, maka 'perkosa estetika' bisa berarti memaksa nilai-nilai keindahan terhadap dunia seni. Mengapa harus seni?

Karena, seni dan/atau kesenian sangat identik dengan nilai-nilai keindahan, dan itu juga ada di KBBI. Salah satunya dapat ditemukan dalam penjelasan pertama, yaitu "keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya)".

Inilah yang kemudian saya pikir, bahwa pesan yang ada di balik istilah 'perkosa estetika' ada kaitannya dengan dunia kesenian, yang kemudian saya tangkap ada di Malang, Jawa Timur. Alasannya sederhana, pementasan ini ada di Kota Malang, maka sang penyaji pasti ingin memuat pesan yang terkait (related) dengan kehidupan seni di Malang.

Pemahaman sederhana saya adalah tentang bagaimana kesenian di Malang mungkin ditangkap sang penyaji mempunyai kecenderungan memaksa nilai-nilai tertentu ke dalam praktik perwujudan seni. Jika kemudian dikaitkan dengan jenis pertunjukan tersebut, mungkin pula ada kaitannya dengan keadaan seni teater di Malang.

Namun, di sisi lain, saya juga berpikir bahwa istilah ini sebenarnya tidak hanya terkait dengan apa yang terjadi di Malang, namun juga di daerah lain. Hal ini saya dasari dengan pengamatan sekilas saya ketika ada pementasan teater daring yang dilakukan Teater Pribumi beberapa waktu lalu.

Baca juga: "ENTAH" dan Teater Daring (Bagian 2)

Di situ saya menangkap adanya perdebatan tentang identitas teater ketika disajikan secara daring. Apakah itu masih disebut teater?

Hal inilah yang kemudian membuat pelaku teater menjadi berkubu-kubu, antara penganut "mazhab" lama dan "mazhab" baru. Apakah pertunjukan teater yang diunggah di Youtube akan menyalahi kodratnya sebagai seni pertunjukan teater?

Problematika ini sebenarnya memang dipicu oleh keadaan. Bagaimana teater bisa tetap hidup dalam situasi masih ada pandemi Covid-19?

Artinya, dalam perdebatan ini kemudian harus memunculkan pertanyaan baru. Apakah teater mau terus menunggu keadaan menjadi kondusif sepenuhnya agar dapat kembali beraksi seperti sedia kala?

Ini seperti melihat teater dipaksa untuk menjadi 'Beruang Kutub'. Padahal, teater tidak punya keahlian hibernasi, sekalipun para pelakunya bisa melakukan hibernasi.

Teater adalah suatu hal yang bisa memudar dan mati. Teater juga bisa disandingkan dengan rumah, yang bisa roboh atau pun kumuh jika sudah takberpenghuni.

Teater juga bisa menjadi langka dan hilang dari peradaban. Karena, teater tidak bisa hidup sendiri. Itulah kenapa, teater harus tetap berani muncul ke permukaan saat pandemi hadir.

Memang, akan sangat butuh perjuangan lebih besar dari sebelumnya. Tetapi, itulah konsekuensi yang harus ditanggung oleh mereka yang sudah secara implisit menjadi 'altruis' dalam berteater.

Saya sebut 'altruis', karena seringkali saya melihat atau mendengar pelaku teater lebih mengutamakan keinginannya untuk berkarya daripada mencari uang lewat berteater. Sekalipun, terkadang lewat teater, mereka dapat menyambung hidup juga.

Itulah mengapa, ketika teater 'dipaksa' mati sejenak saat pandemi, itu adalah tindakan tidak tepat. Bahkan, kalau kemudian yang memaksa adalah orang-orang bermazhab lama, itu juga konyol.

Karena, mereka juga seolah naif terkait bagaimana mereka bisa (masih) dipandang hebat oleh sekitarnya. Bukankah akan terlihat konyol ketika mereka memilih diam saat pandemi, tetapi mereka masih dianggap hebat sebagai seniman teater?

Cara pandang itu yang gagal merasuk ke pikiran saya yang hanya sebagai penonton, ketika melihat adanya perdebatan tentang kemunculan teater daring, yang dipicu oleh faktor upaya mempertahankan pakem teater yang dianggap lebih benar.

Padahal, saat ini bukan untuk memikirkan teater yang seperti apa yang benar, melainkan bagaimana membangunkan lagi teater di masa pandemi.

Selain itu, perdebatan tentang teater juga merujuk pada bagaimana upaya pertunjukan teater dapat memuaskan penonton. Ini bisa dilihat dari fakta yang ada di Parade Teater Saling Kunjung dengan tajuk "Udara Segar" yang diadakan oleh Dewan Kesenian Malang (DKM).

Pementasan Sagaloka di Parade Teater Saling Kunjung (6/4). Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.
Pementasan Sagaloka di Parade Teater Saling Kunjung (6/4). Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.
Menurut saya, semua pertunjukan di parade tersebut tidak ada yang sepenuhnya memuaskan penonton, khususnya kepada saya sebagai penonton murni. Namun, setiap pertunjukan tersebut memiliki daya tawar yang berbeda.

Daya tawar itu masih bisa diterima selama penonton juga mau bertahan sampai akhir. Kenapa demikian?

Karena, ini untuk mencegah adanya kesimpulan prematur terhadap pertunjukan tersebut. Kalau bayi prematur saja disangsikan peluang hidupnya, maka kesimpulan yang muncul secara prematur juga disangsikan kebenarannya.

Ini yang hampir sering saya temukan ketika menonton teater, yang kemudian membuat saya terheran-heran. Apakah menjadi orang hebat akan seperti itu? Jika begitu, saya akan mencabut angan saya menjadi orang hebat, agar tidak suka membuat kesimpulan prematur.

Saya tidak mengkritik orang yang tidak menonton secara penuh, tetapi saya mengkritik orang yang gemar membuat kesimpulan prematur. Menurut saya, orang yang tidak menonton secara penuh itu lazim terjadi, tetapi mereka seharusnya tidak membuat kesimpulan.

Alasan saya tidak mau membahas pementasan "1944 atau Lubang Gelap yang Menelan Segalanya" secara detail di artikel sebelumnya, karena untuk menghindari hal itu. Saya yang hanya menonton separuh akhir pementasan tersebut merasa belum tepat untuk membahas dampak pementasan itu.

Namun, ketika saya sudah berbincang dengan pihak penyajinya, saya menemukan pengertian bahwa tidak semua pementasan bersifat 'harus disimak dari awal hingga akhir'. Ada jenis-jenis pementasan yang dapat diambil intisarinya sesuai dengan apa yang penonton pahami.

Ini pula yang membuat kritik seandainya muncul, bukan untuk menghakimi sang penyaji. Melainkan, mempertanyakan apa misi penyaji terhadap pementasan itu.

Apakah sang penyaji ingin mengajak penonton larut ke dalam cerita, atau mengajak penonton merenungkan informasi yang mereka peroleh lewat pertunjukan itu dengan kehidupan penonton masing-masing.

Kebetulan, saat menonton pementasan tersebut, saya lebih dominan memperhatikan tulisan 'Perkosa Estetika', bahkan sampai pentasnya bubar. Ini yang kemudian saya coba bahas di tulisan ini, karena menurut saya bisa saja relevan dengan apa yang ingin disampaikan penyaji maupun apa yang saya temukan sendiri.

Menurut saya, tulisan itu juga dapat menjadi alarm bagi semua seniman yang masih menciptakan debat kusir terkait mana yang benar dan mana yang paling bagus. Sebenarnya, itu bisa terjadi, kalau dasar yang diperdebatkan masih satu koridor.

Hanya saja, biasanya saya menemukan perdebatan itu muncul dengan masing-masing membawa pemahamannya sendiri yang tidak satu koridor.

Misalnya, pihak penonton memprotes pertunjukan dengan membawa aliran 'realisme', namun pertunjukan yang diprotes mengusung paham 'nonrealisme', contohnya 'epic' atau 'absurd'. Perdebatan itu tidak akan menemukan titik temunya, karena sudah jelas berbeda koridor.

Itulah kenapa, saya terkadang heran jika masih menemukan adanya orang yang mengatakan bahwa dirinya mendapatkan 'sense of humanism' dari proses belajar teater, namun ternyata masih tidak mau mendengarkan dan mencoba mengerti inti dari adanya perbedaan. Padahal, jika ia sadar dengan adanya kemanusiaan, maka dia juga sadar dengan adanya perbedaan.

Saya secara pribadi seringkali dipusingkan oleh atmosfer perdebatan antarseniman teater yang biasanya hanya mau menunjukkan apa yang ia bawa, tanpa mau membawa pulang apa yang diberikan orang lain. Minimal secuilnya, atau jika daya tangkapnya tinggi maka ia dapat membawa pulang intisarinya.

Intisari itu yang kemudian dapat dikroscek kebenarannya lewat proses mencari tahu atau membaca literatur tentang apa yang telah dikatakan orang lain. Jika hal ini yang terjadi, maka yang akan tercipta dalam lingkaran pertemuan antarseniman teater adalah diskusi dan pertukaran dialektika.

Inilah yang nantinya dapat membuat teater tidak hanya sekadar hidup, tapi berkembang. Dia akan dapat menyesuaikan diri dengan zaman dan tingkat daya intelektualitas senimannya.

Mereka tidak seharusnya hanya mengingat sejarah, tetapi juga menciptakan sejarah baru. Inilah yang menjadi resep seni-seni lainnya, seperti musik, film, sastra, hingga tari untuk terus meresap ke sendi-sendi masyarakat di era yang semakin modern.

Menurut saya, akan menjadi percuma kalau para pelaku teater sudah jamak berasal dari lingkup akademisi, tetapi pola pikir dan pola aksinya masih seperti orang-orang yang disangsikan nilai-nilai keberadaannya. Padahal, kehadiran mereka seharusnya dapat membuat teater tidak seperti--yang dianggap orang lain--sarangnya (maaf) "orang gila", dan tidak hanya berupaya bersembunyi dengan perisai altruis dan hobi.

Tanpa mereka mengunggulkan nilai penting tentang hobi, semua pelaku seni lainnya juga pasti begitu. Tetapi, pada akhirnya kesenian dapat bertahan ketika ia digerakkan dengan cara profesional.

Cara yang profesional itulah yang pasti akan membutuhkan adanya literasi. Membaca, memahami, dan mewujudkannya dengan berbagai hal yang bisa dilakukan untuk membuat kesenian itu punya dasar kuat dan tidak terkesan "ajaib".

Cara mewujudkan literasi terhadap kesenian, khususnya teater, bisa lewat ruang berkarya di panggung, kemudian berkarya bersama perkembangan teknologi, hingga memunculkan dan mendukung adanya penulisan terkait teater.

Dengan cara-cara begitu, saya sebagai penonton teater yakin, bahwa teater akan dapat berkembang. Bukan hanya sekadar hidup dan berusaha merawat fundamental yang terkadang sudah keropos, dan tak kunjung diperbaharui.

Jadi, saya berharap tidak ada lagi upaya 'memerkosa' teater dengan 'estetika' yang terkadang sudah sulit dibuktikan kebenarannya. Lebih baik terus bergerak maju dengan amunisi-amunisi baru seperti tajuk 'Udara Segar', agar teater tidak hanya menjadi "orang sepuh" yang kian rapuh di dunia seni.

Malang, 8 April 2021
Deddy Husein S.

Rujukan: KBBI

Silakan dibaca: Different Types of Drama (Egyankosh.ac.in), Theatre and Technology (Researchgate.net), dan Theorizing Theatre Design and Technology in an Age of Postmodernism (Researchgate.net).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun