Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Perkosa Estetika" dan Debat Kusir Kesenian Teater

8 April 2021   14:49 Diperbarui: 8 April 2021   16:04 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah tulisan yang ada di pementasannya MASTER (5/4). Sumber: Dokumentasi MASTER

Karena, mereka juga seolah naif terkait bagaimana mereka bisa (masih) dipandang hebat oleh sekitarnya. Bukankah akan terlihat konyol ketika mereka memilih diam saat pandemi, tetapi mereka masih dianggap hebat sebagai seniman teater?

Cara pandang itu yang gagal merasuk ke pikiran saya yang hanya sebagai penonton, ketika melihat adanya perdebatan tentang kemunculan teater daring, yang dipicu oleh faktor upaya mempertahankan pakem teater yang dianggap lebih benar.

Padahal, saat ini bukan untuk memikirkan teater yang seperti apa yang benar, melainkan bagaimana membangunkan lagi teater di masa pandemi.

Selain itu, perdebatan tentang teater juga merujuk pada bagaimana upaya pertunjukan teater dapat memuaskan penonton. Ini bisa dilihat dari fakta yang ada di Parade Teater Saling Kunjung dengan tajuk "Udara Segar" yang diadakan oleh Dewan Kesenian Malang (DKM).

Pementasan Sagaloka di Parade Teater Saling Kunjung (6/4). Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.
Pementasan Sagaloka di Parade Teater Saling Kunjung (6/4). Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.
Menurut saya, semua pertunjukan di parade tersebut tidak ada yang sepenuhnya memuaskan penonton, khususnya kepada saya sebagai penonton murni. Namun, setiap pertunjukan tersebut memiliki daya tawar yang berbeda.

Daya tawar itu masih bisa diterima selama penonton juga mau bertahan sampai akhir. Kenapa demikian?

Karena, ini untuk mencegah adanya kesimpulan prematur terhadap pertunjukan tersebut. Kalau bayi prematur saja disangsikan peluang hidupnya, maka kesimpulan yang muncul secara prematur juga disangsikan kebenarannya.

Ini yang hampir sering saya temukan ketika menonton teater, yang kemudian membuat saya terheran-heran. Apakah menjadi orang hebat akan seperti itu? Jika begitu, saya akan mencabut angan saya menjadi orang hebat, agar tidak suka membuat kesimpulan prematur.

Saya tidak mengkritik orang yang tidak menonton secara penuh, tetapi saya mengkritik orang yang gemar membuat kesimpulan prematur. Menurut saya, orang yang tidak menonton secara penuh itu lazim terjadi, tetapi mereka seharusnya tidak membuat kesimpulan.

Alasan saya tidak mau membahas pementasan "1944 atau Lubang Gelap yang Menelan Segalanya" secara detail di artikel sebelumnya, karena untuk menghindari hal itu. Saya yang hanya menonton separuh akhir pementasan tersebut merasa belum tepat untuk membahas dampak pementasan itu.

Namun, ketika saya sudah berbincang dengan pihak penyajinya, saya menemukan pengertian bahwa tidak semua pementasan bersifat 'harus disimak dari awal hingga akhir'. Ada jenis-jenis pementasan yang dapat diambil intisarinya sesuai dengan apa yang penonton pahami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun