Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"ENTAH" dan Teater Daring (Bagian 2)

1 April 2021   06:18 Diperbarui: 1 April 2021   13:06 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan dalam Trailer - Sumber: Youtube/ARTmediaNET

Ini adalah lanjutan dari bagian pertama pembahasan tentang pementasan teater dari Teater Pribumi yang mengusung naskah "ENTAH", karya Ekwan Wiratno. Sebelum membaca bagian ini, alangkah baiknya untuk membaca bagian pertama. (Spoiler alert!)

Pada bagian ini saya akan mengajak pembaca melangkah ke pembahasan ketiga, yaitu tentang pementasan dengan naskah "ENTAH". Apakah ada misi khusus dengan naskah tersebut?

Saya sebenarnya menjadi orang beruntung, karena pernah membaca naskah yang kebetulan juga ditulis oleh orang yang saya kenal. Ini yang membuat saya punya kesempatan turut mendengar diskusi terkait apa isi dari naskah tersebut.

Itu yang membuat saya menangkap naskah itu menarik sekaligus unik. Karena, dapat menjebak asumsi pembacanya. Apakah pembaca akan menelaah kisah tersebut sebagai tragedi rumah tangga atau lainnya.

Itu pula yang saya nantikan dari pementasan ini. Kira-kira, adakah pesan tertentu yang dapat dikaitkan dengan fenomena masa kini (kontekstual) dengan pementasan tersebut?

Jika mengikuti jalannya cerita dari awal sampai menjelang akhir, saya masih berusaha mencarinya. Sampai saya harus menemukan dua pemikiran dari pementasan ini.

Pertama, apakah pementasan ini akan membentuk asumsi bahwa hidup bersama penulis itu rumit? Kedua, apakah pementasan ini akan membentuk asumsi bahwa menjadi penulis bisa berisiko (dianggap) gila?

Jika memang begitu, maka saya akan segera kabur dari biduk "tulis-menulis". Saya juga takut dihindari oleh perempuan, dan tentunya saya juga takut menjadi (dianggap) gila.

Tetapi, selain asumsi receh itu, saya juga menemukan satu hal menarik dari pementasan tersebut, yaitu tentang kebanggaan menjadi penulis. Ketika menjadi penulis, kita bisa memikirkan adegan di dalam kisah yang ditulis menjadi seolah-olah nyata. Menjadi penulis juga bisa memikirkan hal lain yang tidak dipikirkan orang kebanyakan.

Menurut saya, itu suatu kelebihan. Karena, terkadang tidak semua orang bisa membayangkan apa yang rasanya mustahil menjadi ada. Minimal dalam bentuk tulisan, dan itu tidak lepas dari peran penulis.

Cuplikan dalam Trailer - Sumber: Youtube/ARTmediaNET
Cuplikan dalam Trailer - Sumber: Youtube/ARTmediaNET
Itulah mengapa, saya menganggap pementasan ini sebenarnya untuk mengangkat itu. Sekalipun, ini masih asumsi saya pribadi. Saya tidak tahu bagaimana asumsi penonton lain, apalagi pemikiran dari lubuk terdalam sutradaranya.

Pembahasan keempat yang tak kalah menarik adalah tentang label pertunjukan teater yang dilakukan Teater Pribumi bersama naskah "ENTAH". Sebenarnya, secara pribadi saya menganggap pelabelan pementasan yang dilakukan secara daring ini tidak perlu dilakukan.

Hanya saja, kalau disuruh memilih antara istilah 'teater virtual' dengan 'teater daring', maka saya memilih istilah 'teater daring'. Alasannya, istilah 'daring' merupakan singkatan dari 'dalam jaringan'. Artinya, istilah ini lebih merujuk pada perantara alias pengantar, alih-alih bentuknya.

Berbeda dengan istilah 'virtual' yang memiliki persamaan kata dengan 'mirip' dan 'maya'. Artinya, istilah ini lebih dekat dengan bentuknya, yaitu sesuatu yang mirip akan cenderung disebut virtual.

Contoh sederhana adalah ketika saya memainkan gim Play Station sepak bola seperti Pro Evolution Soccer (PES), maka itulah yang disebut virtual game. Permainan yang berusaha meniru aslinya. Artinya, virtual itu lebih merujuk pada sesuatu yang 'menyerupai' dan 'seolah-olah'.

Jika label pementasan yang disajikan lewat platform digital disebut 'teater virtual', maka apakah pementasan itu menjadi seolah-olah teater? Seandainya saya menjadi pembuat pementasan tersebut, dan saya bisa mengontrol porsi pementasan itu dalam kaidah keteateran, maka saya tidak bisa menerima anggapan itu dengan ikhlas.

Apalagi, jika kemudian pementasan teater disuguhkan dengan cara mendokumentasikan lewat video belaka. Maka, itu jelas masih disebut teater. Termasuk pementasan "ENTAH", yang sekali lagi masih saya anggap sebagai teater, bukan seolah-olah teater.

Sebuah adegan dalam pementasan. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Sebuah adegan dalam pementasan. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Pembahasan kelima, alias yang terakhir adalah tentang unek-unek saya sebagai penonton.

Poin pertama yang menjadi unek-unek saya adalah tentang soundtrack-nya. Menurut saya, jika lagu ini hanya dirilis tanpa pementasan naskahnya, akan sedikit janggal.

Khususnya pada liriknya di bagian awal. Susunannya masih cenderung seperti bertutur, alias ingin mengungkapkan segalanya. Padahal, awalan musik sudah terlihat mulai ingin memacu suasana menjadi tinggi.

Namun, ketika mendengar liriknya, terasa ingin "jatuh" alias kembali ke level mendayu bukan menuju puncak. Baru ketika masuk ke reff/chorus, lagu ini menjadi enak didengarkan.

Perlu beberapa waktu untuk membiasakan diri mendengar lagu ini dengan menyimak liriknya. Dan, secara pribadi telinga saya sangat terbantu dengan akhir adegan "ENTAH", yang kemudian disambung dengan lagu "Terbelenggu".

Jikalau ternyata lagu ini berangkat dengan lirik puisi, maka saya membayangkan bahwa efektivitas lirik juga tetap perlu diperhatikan. Ini seperti lagu "Kupeluk Hatimu" dari NOAH yang juga dibuat liriknya oleh orang lain, bukan sang musisinya.

Dalam proses kreatif "Kupeluk Hatimu", Ariel mendiskusikan liriknya dengan para penulis lirik yang dilibatkan. Artinya, sang musisi tidak menerima bulat lirik tersebut. Karena, bagaimanapun musisilah yang menggarap karya finalnya, bukan penulis lirik.

Soal inspirasi lewat "Cerita Tentang Gunung dan Laut" dari Payung Teduh, saya mengapresiasinya. Sekalipun, saya menerka jika konsep naskah lakon yang dikabarkan menjadi ide lagu Payung Teduh itu mungkin tidak seemosional naskah "ENTAH".

Namun, kalau ternyata naskah lakon yang bersinggungan dengan "Cerita Tentang Gunung dan Laut" juga sarat emosi yang meluap, maka Payung Teduh berhasil membuat lirik yang awalannya tidak terkesan memaksa masuk. Tapi, bisa saja, ini karena yang membuat liriknya juga ada campur tangan sang musisi langsung.

Unek-unek ini bukan berarti menganggap lagu "Terbelenggu" tidak bagus. Justru, ada sisi yang tepat dari lagu ini, yaitu dibawakan oleh Andre Kurniawan yang memiliki ciri khas vokal meninggi, jika merujuk pada lagu "Luka yang Luruh" dan "Satu Sore".

Perbedaannya, dua lagu itu bisa mencampurkan nada yang tidak bergejolak alias tidak saling berlomba untuk memiliki nada tertinggi antara vokal dengan musik. Artinya, porsinya pas. Tidak berlebih.

Hanya saja, "Terbelenggu" memang berusaha didesain berbeda dengan lagu pada umumnya, dan ini masih bisa diapresiasi sebagai bagian inovasi pementasan ini. Sekaligus, dapat menunjang misi sutradara untuk merangkul potensi-potensi hebat para seniman yang dimiliki Tuban.

Poin kedua dari unek-unek saya adalah kebocoran logika ruang. Ada beberapa contoh yang dapat menunjukkan kebocoran ini.

Pertama adalah lewat gestur si TUAN ketika diberitahu NYONYA terkait kedatangan KAWAN. Sepintas, ada gestur pada matanya langsung memandang arah ruang tamu, yang idealnya dia tidak bisa melihatnya karena masih tersekat tembok.

Contoh kedua juga masih dari si TUAN yang dilakukan secara beruntun dalam satu adegan pemberitahuan kedatangan KAWAN tersebut. Ia dengan cepat menyapa KAWAN, meski tidak lama bergerak dari kursi menuju pintu ruang kerjanya.

Adegan antara TUAN dan KAWAN dalam pementasan. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Adegan antara TUAN dan KAWAN dalam pementasan. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Contoh ketiga adalah pembagian ruang lewat pencahayaan. Dengan ukuran panggung yang kabarnya hanya 4x6 meter itu, saya sedari awal sudah berusaha meyakini bahwa titik-titik yang tidak dijatuhi cahaya adalah batas-batas ruang.

Namun, ketika ada pergerakan dan penempatan NYONYA di kunjungan kedua dari KAWAN, saya melihat fungsi titik gelap itu menjadi "titik mati" tokoh. Tokoh di situ menjadi pasif, padahal jika melihat TUAN dan KAWAN menyadari kedatangan NYONYA, maka titik itu seharusnya hidup.

Saya sebenarnya awam terhadap hal ini jika merujuk pada teori dan teknis. Namun, saya menangkap kejanggalan ini karena saya sebelumnya memperhatikan alur perpindahan dan penempatan dari tokoh JONGOS. Menurut saya, tokoh ini bisa menjadi patokan sadar ruang, bahkan ketika harus beradegan di dalam ruang kerja TUAN yang sempit.

Adegan antara JONGOS dan TUAN. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Adegan antara JONGOS dan TUAN. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi/Artmedianet
Itulah mengapa, ketika ada sedikit kejanggalan, itu sedikit terasa, walau tidak banyak mengganggu 'perasaan' penonton. Atau, mungkin yang menangkap ini hanya saya?

Kedua poin unek-unek itu menurut saya hanya sedikit dari rasa senang saya menonton pementasan ini. Sebagai penonton awam, saya merasa tiket 20.000 rupiah tidak sayang untuk menonton pertunjukan ini.

Bahkan, saya berharap dengan keberadaan pementasan ini dapat mendorong para penggiat teater untuk kembali bangkit. Pementasan teater tidak lagi kalah oleh situasi pandemi, walaupun tentu dengan upaya yang lebih keras untuk mewujudkannya.

Jadi, selamat berkarya para rekan penggiat teater Indonesia! Semoga selalu ada dukungan dan semangat untuk terus berkarya.

Posternya. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi.
Posternya. - Sumber: Dokumentasi Teater Pribumi.
Malang, 27 Maret 2021
Deddy Husein S.

Catatan: Semua sisipan gambar sudah atas izin pemiliknya melalui narahubung pementasan.


Silakan dibaca:
6 Fungsi Naskah dalam Pertunjukan Teater,
Fungsi, Kedudukan, dan Struktur Naskah Drama/Teater,
Proses Kreatif Kupeluk Hatimu,
Teknik Blocking dalam Teater dan Mengapa Aktor Mesti Menguasainya,
Apa Itu Virtual,
Apa itu Daring,
Daring dan Luring,
Sebuah Penelitian Semiotika tentang "Cerita tentang Gunung dan Laut".

Baca tulisan saya lainnya: Sweeney Todd, dari Bioskop ke Panggung Teater

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun