Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takut Turun Takhta

23 Maret 2021   12:16 Diperbarui: 23 Maret 2021   12:58 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, kali ini tangan si bocah lelaki tak kunjung melingkar di pinggang perempuan. Kisah yang dibacakan pun mulai mendekati halaman akhir, dan kelihatannya si bocah lelaki masih terjaga.

"Kamu belum mengantuk?"
"Belum, Ma."
"Ceritanya sudah selesai. Apa harus kulanjutin ke jilid berikutnya?"
"Tidak usah, Ma."
"Ada yang ingin kamu ceritakan?"
"Bagaimana Mama tahu?"
"Hanya menebak."

"Mulailah bercerita!"
Giliran perempuan itu yang bersiap mendengarkan apa yang akan diocehkan bocah lelaki.

"Aku sebenarnya sangat senang melihat Mama sering di rumah. Tetapi, aku tidak tahu alasan Mama ada di rumah setiap hari. Ini tidak seperti dulu."
"Mama di rumah karena mama tidak bekerja di tempat yang sama. Juga tidak melakukan hal yang sama, walau masih ada kemiripannya."

"Apa pekerjaan Mama sekarang tetap seperti dulu?"
"Apa maksudmu?"
"Masih dapat membuat orang lain menghormati Mama."

Perempuan itu diam sejenak.

"Dari dulu mama tidak mencari penghormatan, sayang. Mama melakukan apa yang mama suka. Mama suka menggambar, maka mama menjadi arsitek. Itu juga agar Opa dan Oma merelakan mama tetap menggambar.
Kalau kemudian orang lain menghormati mama, itu adalah hak mereka. Bukan kewajiban.
Mengapa kamu memikirkan itu?"

"Orang-orang di sekolah selalu memandangku berbeda, karena mereka melihatmu, Ma. Apalagi, dulu Mama juga berada di balik pembangunan gedung sekolah.
Tapi, sejak Mama di rumah saja, aku mulai khawatir kalau mereka mulai menganggapmu biasa saja. Itu artinya, aku juga akan dibiarkan mendapatkan ancaman.
Agar tidak seperti itu, aku masih mengatakan kalau Mama masih bekerja seperti biasa."

"Mulai sekarang, katakan saja kalau mama sudah tidak menjadi arsitek. Jawablah secara jujur."
"Memangnya, Mama sekarang menjadi siapa? Apa yang membuat Mama tetap bisa dianggap hebat oleh mereka?"

Perempuan itu menyentuh dada bocah lelaki.
"Mama sekarang lebih menjadi mama. Dan, kamu yang akan membuat mama tetap bisa dianggap hebat."
"Jadi, aku harus menjadi arsitek?"
"Tidak. Kamu harus menjadi apa yang kamu sukai."

"Itu seperti saat kamu mendengar kisah di komik yang mama bacakan. Paling pentingnya adalah kamu mengetahui dirimu suka dengan ceritanya. Tapi, tidak harus kamu menamatkan cerita itu.
Kalau kamu bosan, atau tahu bahwa itu tidak penting lagi bagimu, kamu bisa mengakhirinya."

"Seperti tadi?"
"Iya.
Itulah yang juga mama lakukan dalam hal bekerja. Mama suka menggambar, tapi tidak selamanya mama menjadi arsitek. Masih banyak status yang dapat menaungi minat menggambar mama."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun