Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Kosong": Bagaimana Kita Memaknai Perempuan?

24 Desember 2020   15:35 Diperbarui: 25 Desember 2020   18:08 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster film. Gambar: Dokumentasi Hizart Studio/kOsOng

Dia adalah salah satu figur dari Purplecode_id. Ketika saya cari tahu lewat media sosial Purplecode_id, ini semacam komunitas yang konsentrasi terhadap pengetahuan-pengetahuan umum/khusus dan penting untuk diketahui generasi masa kini.

Salah satunya tentang pengetahuan terhadap anak dan perempuan. Maka, tidak heran jika mereka mendukung acara pemutaran film animasi dokumenter ini.

"... perempuan tetaplah perempuan meski belum/tidak punya anak. Lagipula, kalau anaknya gagal menjadi anak yang baik, ibunya juga tetap dianggap tidak sempurna sebagai ibu."

Kurang lebih, itulah pendapat paling penting dan dapat saya ingat ketika mendengar pernyataan Mbak Eni pasca pemutaran film. Saya pun setuju dengan pandangan itu, karena sampai kapan pun tidak ada keberhasilan yang sempurna dicapai oleh manusia, khususnya perempuan.

Pasti akan ada saja komentar negatif terhadap seseorang. Itulah mengapa, akan terasa banyak membuang energi jika terus menuruti tuntutan sosial yang tiada habisnya.

"Tekanan sosial selalu ada saat kita (khususnya perempuan) belum menikah, sudah menikah, dan sudah punya anak atau belum."

Pernyataan Mbak Eni kemudian disampaikan ulang--dan dipertegas--oleh Yulia Dwi kurang-lebih seperti kalimat tersebut. Mbak Yulia adalah moderator forum ini dan berasal dari komunitas Qbukatabu. Komunitas yang bergerak di layanan masyarakat dan berkonsentrasi pada pengetahuan seks, kesehatan, anak, dan perempuan.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan itu sekaligus gambaran sederhana yang saya sampaikan sebelumnya, tentu pembaca juga bertanya-tanya tentang bagaimana sih tim kreatif film ini dapat menghadapi gelombang emosi pada kisah yang dihadirkan para tokoh (narasumber) tersebut?

Pertanyaan itulah yang muncul dan disampaikan salah seorang partisipan bernama Jeje. Mbak Jeje menanyakannya dan dijawab oleh Chonie Prysilia selaku sang sutradara.

Menurut Mbak Chonie, gelombang emosi ada saat wawancara dan saat mendengar ulang rekaman itu. Namun, tantangan terbesarnya adalah memilah isi rekamannya agar tidak terlalu panjang, tetapi tetap pada esensi yang diharapkan.

Ketika sudah terpilah, barulah kisah-kisah itu disusun ke dalam bentuk cerita untuk dapat divisualisasikan ke bentuk animasi. Walau demikian, tim kreatif yang bergerak di bidang animasi ternyata tidak sepenuhnya tahu detail ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun