Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Pentingnya Merevisi Tulisan Sebelum Dipublikasikan atau Dibaca Orang Lain

29 April 2019   18:40 Diperbarui: 4 Mei 2019   19:32 1076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi revisi. (Tes.com)

"Sudah berapa kali Anda membaca tulisan Anda setelah selesai menulisnya?"

Pertanyaan ini terkadang dianggap menyebalkan. Namun, sering terdengar dan kita ketahui pertama kali saat menyerahkan karya tulis kita ke orang lain untuk dibaca maupun dikomentari oleh mereka.

Biasanya, kita akan menyerahkan hasil buah tangan kita tersebut ke orang yang kita anggap lebih tahu dalam hal kepenulisan daripada kita. Hal ini wajar saja, karena, kita selalu perlu mendapatkan timbal-balik dari orang yang membaca tulisan kita selain sekadar mendapatkan pujian kuno, "Wah, keren!"

Sebagai penulis pemula atau bahkan (katanya) masih belum layak disebut penulis, biasanya akan melakukan hal tersebut. Mencari orang yang lebih paham tentang penulisan dan kemudian disodori karya untuk dikomentari, bahasa kerennya adalah "diberi kritik dan saran". 

Mencari orang yang tepat adalah perlu dan harus diperhatikan, karena tidak semua orang yang paham teori dan praktik penulisan akan dapat kita pahami kritik dan sarannya (krisar).

Terkadang, kita malah semakin bingung dengan kritikan orang tersebut, apalagi jika tidak ada saran yang dapat menunjang penilaian terhadap karya tulis kita. Maka, dengan kejadian semacam itu membuat kita akan semakin tidak tahu apa yang salah dan bagaimana cara membenarkannya.

Sehingga, langkah pertama kita adalah mencari dan mengenali dulu orang-orang yang paham akan teori dan praktik terhadap penulisan. Baik itu dari bidang ilmiah ataupun sastra. 

Biasanya, mereka yang paham tentang sastra juga akan memiliki pemahaman yang cukup juga mengenai teori dasar dan teori penulisan umum ataupun karya tulis lainnya yang sedang banyak ditemukan di berbagai media.

Artinya, secara garis besar, pastikan orang itu telah mengetahui secara dasar maupun secara tingkat-tingkatan dalam kepenulisan. Namun, sebaiknya orang yang diajak diskusi tersebut adalah orang yang aktif di bidang penulisan tersebut. Misalnya, berbicara soal penulisan sastra, maka, seyogyanya bersama orang yang aktif dalam sastra. Begitupula jika, berbicara soal karya ilmiah, maka, seyogyanya juga bersama orang yang aktif di bidang karya ilmiah.

Selain itu, kita perlu mengenalinya secara karakter atau minimal kita tahu cara bicaranya dan bagaimana maksud kalimat-kalimat di dalam perbincangannya. Agar kita tahu arah pembicaraannya dan menangkap maksudnya---biar tidak salah paham. Salah paham inilah yang perlu diminimalisir ketika kita sedang berada dalam ruang diskusi mengenai karya yang sudah kita buat dan sedang dibutuhkan tanggapan dari orang lain, khususnya dari orang yang paham tentang penulisan tersebut.

Nah, tahap selanjutnya, setelah kita menemukan orang yang dapat menilai dan menanggapi karya tulis kita adalah belajar merevisi karya sendiri. Loh, bukannya seharusnya kita lebih dulu bisa merevisi karya sendiri sebelum karya kita dinilai orang lain? Betul. Namun, kemampuan kita merevisi haruslah memiliki dasar dan pembanding.

Dasar, artinya kita sudah mempelajari teori dalam menulis kreatif. Entah itu karya ilmiah, artikel, reportasi, maupun karya sastra. Minimal teori dasar atau pengantar. Setelah itu, kita harus memiliki pembanding.

Pembandingnya adalah orang lain, di sini bisa langsung memiliki figurnya (kenal dengan orangnya), maupun dengan karyanya (mempelajari karyanya). Di sinilah letak dari pentingnya kita mengenal orang yang paham terhadap cara menulis yang benar dan baik sesuai dengan bidang karya yang sedang kita hasilkan.

Nah, ketika kita belum menemukan pembanding, maka cara merevisi kita masihlah hanya berkutat pada interpretasi teori yang sudah kita baca dan dipahami, tanpa adanya pembanding. Maka, batas revisi kita masih berada dalam revisi secara dasar menulis bukan pada pemahaman atau filosofi yang terkandung di dalam tulisan tersebut. Sehingga, revisi kita tanpa adanya pembanding hanya akan berputar-putar tiada henti pada selera dan kecocokan---sudah tepat atau belum menuliskan A dan B secara bersama ataukah perlu diganti atau hanya ditulis salah satunya saja.

Lalu, bagaimana ketika ada pembanding?

Ketika ada pembanding, maka, ada bentuk konkrit lain yang dapat menjadi rujukan maupun menjadi alasan kita untuk berhenti merevisi ketika kita sudah tahu alasan di balik tulisan kita. Karena, ketika kita sudah mengenali karya orang lain/mengenali filosofi berkarya orang lain, maka, kita lambat-laun juga akan mengenali karya kita dan bagaimana caranya untuk merevisi karya kita untuk lebih baik lagi.

Misalnya, menulis cerita pendek (cerpen) dengan latar belakang tokoh adalah penyair dan latar belakang masalah adalah kemiskinan. Apa yang akan direvisi oleh penulisnya sendiri ketika tidak memiliki pembanding?

Penulis "hanya" akan merevisi komposisi kalimat, penggunaan dasar PUEBI, struktur atau alur cerita, bahkan salah ketik juga harus direvisi---karena ini juga sangat penting, hingga permasalahan kecocokan pada pewujudan cerita dengan pembangunan kerangka cerita. Masih sangat internal.

Hal ini akan berbeda dengan ketika sudah memiliki pembanding, atau karya kita sudah dapat disetorkan ke orang yang 'terpercaya' untuk dikomentari atau dikrisar.

Misalnya di sini adalah karya Agus Noor, yaitu cerpen "Mati Sunyi Seorang Penyair". Maka, yang direvisi adalah kemunculan tokoh yang harus disertai peran dan keterkaitan terhadap pembangunan cerita (apakah tokoh F itu penting?), kemudahan dalam menemukan makna cerita itu dan dapat dimengerti oleh pembaca (biasanya setiap tulisan seperti cerpen atau karya sastra akan menyimpan makna dan pesan untuk pembaca); hingga alasan mengapa harus menulis cerita seperti itu (motivasi penulis); dan mengapa harus dengan cara yang seperti itu (biasanya penulis akan memiliki gaya khas dalam berkarya dan ini sangat berpengaruh dalam penyampaian cerita dan pesannya).

Di sanalah, kita bisa mulai berkembang dan mulai dapat menanamkan filosofi ke dalam karya kita. Termasuk, kita dapat mengetahui arah revisi kita akan ke mana.

Sehingga, merevisi karya tulis itu tidak hanya sekali, melainkan berkali-kali. Jika karya tulis berupa tugas akhir bagi mahasiswa (tidak usah dibaca: skripsi) saja bisa berkali-kali terevisi, hanya untuk dapat lulus dan (sebenarnya) belum tentu sudah maksimal. Namun, dengan adanya orang lain sebagai pembanding dan kemudian dengan keberadaan orang lain tersebut, maka jumlah merevisi kita akan meningkat.

Seiring dengan upaya merevisi yang banyak itulah, kualitas tulisan kita akan meningkat, dan tetap perlu diingat bahwa, lebih baik kita merevisi sendiri terlebih dahulu sebelum ditanggapi orang lain. Namun, revisilah berdasarkan kepunyaan dasar dan pembanding, agar tindakan revisi kita tidak hanya sekadar memperbaiki susunan kata, melainkan penting-tidaknya kata itu hadir di dalam tulisan kita.

Maka, bersama artikel ini, urutan berkarya (tulis-menulis) kita adalah menulis; membaca (entah berapa kali); merevisi (entah berapa kali); menyetorkan ke orang lain (entah ke siapa)/membaca karya orang lain yang serupa (entah punya siapa); merevisi lagi (bisa lebih banyak atau malah lebih sedikit yang direvisi tapi malah lebih sulit); yang terakhir adalah dipublikasikan (dibaca lebih dari dua orang).

Apakah itu terlihat sulit dan panjang prosesnya?

Sepertinya memang begitu.

Inilah yang kemudian membuat kita sering kehilangan tenaga/mood untuk kembali menulis dan/atau semakin giat menulis. Karena, penulis pemula (embrio/debutan) itu banyak, tapi yang tetap konsisten menulis "sampai mati" itu yang tidak banyak. Apalagi jika kualitasnya tetap konsisten atau malah semakin bagus. Sedikit.

Jika, sebelumnya kita "digedor" di awal artikel dengan kalimat "sudah---berapa kali---kah Anda membaca tulisan Anda?"

Maka, sekarang kita "dibayang-bayangi"oleh kalimat,

"Sudah berapa kalikah Anda merevisi tulisan Anda sebelum dibaca orang lain?"

Malang, 6 Februari-29 April 2019
Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun