Mohon tunggu...
Deddi Ajir
Deddi Ajir Mohon Tunggu... Alumni Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang

Saya seorang pensiuan berpengalaman di bidang pemerintahan dengan kemampuan analisis dan komunikasi yang baik. Terbiasa bekerja secara tim maupun mandiri, saya selalu berkomitmen memberikan hasil terbaik dan terus belajar untuk berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Harmoni di Ujung Kabut (2)

12 Oktober 2025   01:38 Diperbarui: 12 Oktober 2025   01:38 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

"Harmoni di Ujung Kabut"

Episode 2: Musyawarah dan Perdebatan

Balai adat Nagari Koto Gadang pagi itu penuh sesak oleh suara dan wajah-wajah yang terbagi antara harap dan khawatir. Suasana yang biasanya tenang berubah menjadi ladang perdebatan yang membara. Kaum muda dan tua duduk berhadapan, membawa suara hati masing-masing, seolah sedang menimbang antara masa lalu dan masa depan yang saling bertarung.

Raja berdiri di tengah ruangan. Tubuhnya tegap, wajahnya penuh keyakinan. Ia menyuarakan harapan generasi muda yang ingin melihat nagari tidak hanya setia pada adat, tetapi juga selaras dengan tuntunan Islam yang sejati. Suaranya lantang namun penuh hormat:

"Adat kita adalah warisan yang tak ternilai, tapi bukankah agama yang kita anut mengajarkan kita untuk terus belajar dan memperbaiki diri? Kita harus membuka ruang untuk perubahan, agar adat dan iman bisa berjalan beriringan tanpa saling bertolak belakang."

Namun, pandangan Raja itu tidak disambut dengan mudah. Datuk Kayo, sang kepala suku yang memegang teguh nilai-nilai leluhur, mengangkat tangannya dengan bijak. Suaranya berat, penuh kewibawaan:

"Adat bukan hanya aturan yang bisa diubah sesuka hati, anakku. Ia adalah pondasi yang menopang kehidupan kita sejak dahulu. Islam datang menyapa kita dalam bingkai adat, bukan untuk merusaknya. Jika kita mengganti adat seenaknya, kita kehilangan jati diri, hilang akar yang menancap dalam tanah yang kita pijak."

Perdebatan pun bergulir. Suara-suara kaum muda mengemuka, menyerukan perubahan agar adat tidak menjadi belenggu yang mengekang kebebasan dan keimanan mereka. Sementara itu, kaum tua mempertahankan adat dengan alasan kehormatan dan kelestarian budaya.

Di tengah gelombang kata-kata dan argumentasi, Sari duduk termenung di sudut balai. Wajahnya tampak sayu, hatinya bergetar oleh gelora yang berkecamuk. Ia menyaksikan dua dunia yang ia cintai --- adat keluarganya dan agama yang mengikat hatinya --- saling berseberangan.

Diamnya penuh arti, tanda kegundahan yang dalam. Bisakah cinta Raja dan Sari bertahan di tengah badai perbedaan yang membelah nagari dan jiwa?

"Bisakah cinta mereka bertahan di tengah badai perbedaan ini?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun