Mohon tunggu...
Debby Marantika
Debby Marantika Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswi Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

YouTube https://www.youtube.com/channel/UC8VTuJZJ4c3rFH-I0pHAePQ Instagram @DEBBY_MARANTIKA10

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Korelasi Ilmu Fisika dan Teknologi dengan Covid-19

15 Agustus 2020   13:16 Diperbarui: 15 Agustus 2020   13:18 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pejuang mahasiswa (dokpri)

Tercatat dalam beberapa bulan terakhir ini Indonesia dan dunia di kejutkan dengan wabah virus corona. Virus ini mulai muncul di berbagai daerah seperti Sars ditahun 2002 dan Mers di tahun 2012. WHO menjelaskan terdapat Corona virus yang baru diidentifikasi oleh otoritas Cina, Virus ini yaitu Sars Cov dan Mers Cov pada 9 Januari 2020.

Severe acute respiratory syndrome (Sars Cov) pertama kali ditemukan di China pada tahun 2002, sedangkan Middle East Respiratory Syndrome (Mers Cov ) pertama kali dilaporkan di Arab saudi pada tahun 2012.

Berawal dari kecemasan publik terhadap kasus Covid-19 yang menyebabkan kasus positif terus meningkat dan ribuan korban jiwa berguguran, hingga kini para ahli sepakat untuk terus menelaah hipotesa terbarunya.

Covid-19 yang mana erat kaitannya dengan berbagai ilmu sains, kini akan ditinjau dari perspektif ilmu fisika sebagai upaya integrasi intelektual yang digunakan sebagai acuan ilmu pengetahuan, termasuk dalam upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19.

Covid 19 masuk kategori Enveloped Virus, karena memiliki selubung berupa lapisan minyak. Lapisan ini bereaksi semakin kuat pada suhu dingin, dan melemah di suhu panas. Hal ini menimbulkan sesi diskusi menarik jika ditinjau dari "Kajian Ilmu Fisika" terutama dalam hal perubahan iklim dan cuaca terkait resiko merebaknya transmisi penyakit ini.

Karena mengingat Indonesia memiliki cuaca dan iklim yang sangat berbeda dengan lokasi asal-muasal penyakit ini ditemukan. Beberapa studi menunjukkan, bahwa negara dengan posisi lintang tinggi memiliki kerentanan Penyebaran Covid 19 yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan negara-negara tropis (Araujo et. al. 2020; Chen et. al. 2020; Sajadi et. al. 2020; Sun et. al. 2020; Wang et. al. 2020).

Kudo et. al.(2019) menjelaskan, bahwa di daerah beriklim temperate, Outbreak Virus Influenza berkaitan erat dengan penurunan kelembapan. Wang et al (2020) menjelaskan bahwa sars cov-2 (corona) survive pada suhu rendah dengan kondisi udara dingin dan kering.

Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan Host Immunity seseorang, yang bisa saja mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap paparan virus Covid-19, selaras dengan yang dituliskan dalam hasil studi Wang et. Al. (2020). Sun et. al. (2020) bahwa suhu rendah memiliki pengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh manusia.

Hal ini terbukti juga dalam kasus Covid 19 di Indonesia. Dengan kondisi cuaca dan iklim di Indonesia yang umumnya ditandai dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, semestinya kasus Covid 19 tidak dapat berkembang.

Fakta membuktikan bahwa virus sars cov-2 penyebab corona virus disease (Covid-19) tidak mewabah di Indonesia pada bulan Januari-Februari 2020 (gelombang 1). Namun, selanjutnya pada gelombang ke-2 pada Maret hingga yang terjadi saat ini, kasus Covid 19 telah merebak di Indonesia dengan jumlah kumulatif kasus mendekati angka 2000 pada 3 April 2020.

Mewabahnya covid-19 pada gelombang 2 tersebut karena tingginya penularan berbasis lokal akibat perpindahan penderita ataupun carrier covid-19 yang sulit terdeteksi serta belum bisa dikendalikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun