Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Gaza dan Distopia Kemanusiaan Global

30 Juli 2025   16:34 Diperbarui: 30 Juli 2025   16:34 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pernahkah Anda membayangkan membesarkan anak di tengah bunyi pesawat tempur, tanpa tahu apakah pesawat itu membawa bantuan atau menjatuhkan bom? Pernahkah Anda merasa lapar bukan karena tak ada makanan di dunia, tapi karena makanan disengaja tak dikirim?

Begitulah hidup di Gaza hari ini. Bukan imajinasi, bukan pengandaian. Ini kenyataan yang sedang berlangsung, dan kita semua menyaksikannya---secara langsung, melalui layar ponsel kita.

Menurut laporan FAO dan WFP (Maret 2024), lebih dari 1,1 juta orang di Gaza mengalami kelaparan akut. Dari jumlah itu, setidaknya 39% tidak makan selama beberapa hari, dan 16% anak-anak mengalami wasting---kekurangan gizi berat. Sementara itu, UNICEF melaporkan (11 Juli 2024) bahwa lebih dari 120 anak telah meninggal karena kelaparan dalam enam bulan terakhir. Mati bukan karena perang, tapi karena tak makan.

Kelaparan ini bukan bencana alam, bukan tsunami, bukan badai. Melainkan hasil dari blokade dan penghentian akses bantuan yang disengaja.

Ironisnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam konferensi pers di Tel Aviv pada 10 Juli 2024 menyatakan bahwa "There is no famine in Gaza. These reports are exaggerated and politically motivated."

Sementara itu, dari seberang samudera, mantan Presiden AS Donald Trump, meski penuh kontroversi, justru berkata sejujurnya dalam wawancara dengan Fox News (12 Juli 2024): "Beberapa anak-anak benar-benar kelaparan. Saya melihatnya sendiri. Dan itu tidak bisa dipalsukan."

Ketika Trump terdengar lebih jujur daripada kepala pemerintahan yang bertanggung jawab atas blokade, dunia seharusnya menyadari ada yang sangat tidak beres.

UNOCHA mencatat pada 14 Juli 2024, hanya 120 truk bantuan yang masuk Gaza. Keesokan harinya, jumlah itu turun menjadi 80. Padahal, PBB menyatakan dibutuhkan 500--600 truk per hari untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk Gaza.

Beberapa negara memang melakukan airdrop bantuan dari udara---Yordania, UEA, dan Jerman misalnya. Tapi, menurut WHO, hanya sekitar 30% bantuan itu yang benar-benar sampai ke tangan warga sipil. Sisanya nyasar, hilang, atau malah jatuh ke tangan kelompok bersenjata.

Pada 18--20 Juli 2024, puluhan negara berkumpul di Jenewa dalam konferensi internasional untuk mendorong solusi dua negara. Tapi dua negara paling penting absen: Israel dan Amerika Serikat. Tanpa mereka, konferensi itu seperti rapat RT tanpa kehadiran pemilik lahan yang sedang dipermasalahkan.

Namun, tekanan mulai datang dari arah yang tak terduga. Inggris, melalui PM Keir Starmer, menyatakan akan mengakui Negara Palestina sebelum September 2024 jika tidak ada progres perdamaian. Belanda menyebut blokade Israel "melanggar hukum internasional".
Gelombang diplomasi mulai berubah arah. Pertanyaannya, apakah cukup?

Gaza bukan hanya krisis kemanusiaan, ia adalah distopia yang sedang kita ciptakan bersama-sama. Dunia---termasuk kita di Indonesia---lebih sibuk memperdebatkan apakah bantuan harus "netral" atau tidak, alih-alih bertanya siapa yang kelaparan hari ini, siapa yang akan meninggal besok.

Ini bukan soal politik saja. Ini soal nurani.

Ketika anak-anak meninggal karena kelaparan, bukan karena serangan udara, maka kita sedang menyaksikan bentuk baru dari kekerasan yang sangat halus namun sangat brutal: kelaparan sebagai senjata.

Kita terbiasa menonton bencana di layar ponsel. Tapi Gaza bukan serial Netflix. Ini bukan distopia fiksi seperti The Hunger Games. Ini nyata. Dan diam berarti membiarkan itu berlanjut.

Jika hari ini dunia mengabaikan Gaza, besok dunia yang sama akan membiarkan hal serupa terjadi di tempat lain. Barangkali di Sudan, barangkali di Myanmar, atau bahkan di tanah kita sendiri.

Kita sedang membuat dunia tempat kelaparan bisa digunakan sebagai taktik politik. Dan jika itu terjadi, maka dunia ini bukan gagal menjadi adil. Dunia ini memang tidak ingin menjadi adil.

Ketika perang hanya dilihat sebagai konflik geopolitik atau narasi perebutan wilayah, kita melupakan bahwa yang hancur bukan hanya gedung dan infrastruktur, tetapi juga harapan dan masa depan anak-anak. Di Gaza, anak-anak tumbuh dalam bunyi dentuman, kehilangan akses pendidikan, dan tak lagi mengenal arti kata "aman". Generasi yang tumbuh dalam bayang-bayang trauma ini bukan hanya kehilangan masa kecil, tetapi juga kepercayaan pada dunia yang katanya beradab. Apa arti pembangunan, diplomasi, atau hak asasi manusia jika kita gagal menyelamatkan anak-anak dari kelaparan?

Dalam konteks ini, solidaritas bukan lagi pilihan moral, melainkan keharusan politik. Komunitas internasional, termasuk Indonesia, memiliki posisi strategis untuk menekan agar jalur kemanusiaan dibuka permanen, dan desakan terhadap gencatan senjata dilakukan secara nyata. Kita tidak boleh membiarkan tragedi Gaza menjadi normalitas baru dalam tatanan global. Jika dunia gagal menghentikan kelaparan di Gaza, maka yang sesungguhnya sedang mati bukan hanya anak-anak, tetapi juga nurani kolektif umat manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun