Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Antibiotik Tak Lagi Sakti? Inilah Krisis Kesehatan Global yang Tak Banyak Dibahas

24 Juli 2025   11:11 Diperbarui: 24 Juli 2025   11:11 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah dengar istilah "superbug"? Bukan, ini bukan tokoh superhero dari film animasi anak-anak. Ini adalah istilah untuk menyebut bakteri dan mikroorganisme lain yang sudah kebal terhadap antibiotik. Kebal terhadap pengobatan. Dan diam-diam, mereka tengah merebut panggung utama sebagai ancaman kesehatan paling mengerikan abad ke-21.

Ya, ini bukan hiperbola. Saya sedang bicara tentang resistensi antimikroba, atau AMR (Antimicrobial Resistance). AMR merupakan krisis global yang berjalan perlahan, nyaris tak terdengar, tapi dampaknya lebih luas dan dalam dari yang kita kira.

Mengapa Kita Harus Peduli?

Karena ini bukan sekadar isu dokter atau rumah sakit. Ini persoalan kita semua. Karena kalau kamu, saya, atau orang terdekat kita suatu hari terkena infeksi dan obatnya tak lagi mempan, apa yang akan kita lakukan?

Data global menyebutkan bahwa saat ini lebih dari 1,3 juta orang meninggal setiap tahun karena infeksi yang tak bisa diobati akibat resistensi antimikroba. Kalau tren ini tak dihentikan, jumlahnya bisa melonjak jadi 10 juta jiwa per tahun pada 2050. Itu berarti lebih banyak dari total korban kanker saat ini.

Bahkan, menurut laporan beberapa lembaga riset, jika tak segera diatasi, resistensi antimikroba akan menyebabkan kematian 39 juta orang dalam 25 tahun ke depan. Ini bukan prediksi liar, tapi proyeksi berbasis data nyata.

Dan itu baru dari sisi kesehatan. Di bidang ekonomi, kerugian akibat AMR diperkirakan mencapai $2 triliun per tahun secara global. Biaya pengobatan membengkak, rawat inap jadi lebih lama, pasien tak cepat sembuh, dan produktivitas kerja menurun. Efek domino ini mengguncang sistem sosial dan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang.

Bukan Hanya Masalah "Kebanyakan Antibiotik"

Selama ini kita sering membaca bahwa penyebab utama resistensi antimikroba adalah penggunaan antibiotik yang sembarangan. Benar. Tapi cerita tidak berhenti di situ.

Ternyata, AMR juga adalah masalah ketimpangan akses. Di banyak negara miskin, orang-orang bahkan tidak bisa mengakses antibiotik sama sekali. Kurang dari 7% populasi di negara-negara berpenghasilan rendah mendapatkan antibiotik yang mereka butuhkan.

Artinya, ada yang kelebihan obat, dan ada yang kekurangan. Yang satu kebal karena terlalu banyak mengonsumsi, yang lain terinfeksi parah karena tak mampu membeli obat. Dalam dua kondisi yang ekstrem ini, bakteri yang resisten tumbuh dan menyebar. Kita semua, tanpa sadar, menjadi bagian dari mata rantai ini.

Mengapa Negara Tidak Bertindak?

Ternyata, tidak sesederhana itu.

Sebagian besar negara memang sudah memiliki National Action Plan untuk mengatasi AMR. Di atas kertas, langkah ini sangat menjanjikan. Tapi dalam praktiknya, hanya sekitar sepertiga negara yang benar-benar punya cukup dana untuk melaksanakan rencana itu. Sisanya? Terjebak dalam dokumen indah yang tak bisa dijalankan.

Parahnya, tren justru menunjukkan pemangkasan. Inggris menurunkan anggaran bantuan AMR dari 0,5% menjadi 0,3% dari PDB. Amerika Serikat memotong 80% anggaran terkait AMR. Prancis dan Jerman juga ikut mengurangi kontribusinya. Sementara itu, dana-dana bantuan dari negara-negara kaya yang selama ini menopang upaya penanggulangan AMR di negara berkembang pun ikut menghilang.

Jadi, negara-negara miskin kehilangan harapan, sementara negara maju merasa ancaman belum dekat. Padahal, resistensi antimikroba tidak mengenal paspor. Bakteri super bisa menumpang pesawat, menyebar lewat kontak biasa, bahkan lewat makanan yang kita konsumsi.

Di banyak rumah sakit besar, kasus-kasus infeksi karena AMR mulai jadi keluhan rutin. Ada pasien dengan infeksi saluran kemih yang tidak bisa lagi diobati dengan ciprofloxacin atau amoxicillin. Ada balita dengan pneumonia yang tidak kunjung sembuh karena semua antibiotik lini pertama sudah tak mempan. Ada ibu hamil yang terkena infeksi pasca persalinan, tapi pilihan antibiotik yang tersedia tidak lagi efektif.

Lebih mengkhawatirkan lagi, di rumah sakit daerah dan puskesmas di banyak wilayah Indonesia, diagnosis sering dilakukan tanpa uji laboratorium yang memadai. Akibatnya, antibiotik diberikan tanpa dasar yang kuat. Ketika satu tidak mempan, ganti yang lain, lalu yang lain lagi --- hingga bakteri tidak bisa lagi dikalahkan.

Haruskah Kita Menyerah?

Tentu tidak. Justru sekarang adalah waktu yang paling krusial untuk bertindak.

Beberapa tahun terakhir, riset di bidang mikrobiologi dan pengembangan antibiotik mengalami kemajuan. Sudah ada alat diagnostik yang lebih canggih untuk mendeteksi jenis bakteri secara cepat. Beberapa antibiotik baru sedang dikembangkan --- meski tantangannya besar karena pengembangan antibiotik tidak semenguntungkan obat kronis lain.

Di sisi lain, banyak komunitas, organisasi kesehatan masyarakat, dan tenaga medis mulai menggalakkan edukasi soal penggunaan antibiotik yang bijak. Tapi gerakan ini perlu dukungan lebih besar, terutama dari negara.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kita tidak harus jadi dokter atau ahli mikrobiologi untuk berkontribusi dalam perang melawan AMR. Kita bisa mulai dari langkah-langkah sederhana seperti:

  • Tidak minum antibiotik tanpa resep dokter.

  • Menghabiskan antibiotik sesuai resep, jangan berhenti di tengah jalan.

  • Tidak menyimpan antibiotik sisa untuk dipakai nanti.

  • Tidak memaksa dokter meresepkan antibiotik untuk flu atau batuk biasa.

  • Mengedukasi orang terdekat tentang bahaya penggunaan antibiotik yang sembarangan.

Dan bagi para pembuat kebijakan, saatnya kita berhenti menganggap ini isu teknis. Ini adalah isu kemanusiaan, sama pentingnya dengan perubahan iklim dan krisis pangan.

Kalau kita bisa gelontorkan triliunan rupiah untuk pertahanan atau infrastruktur, maka sudah seharusnya kita punya keberanian yang sama untuk mempertahankan antibiotik yang notabene adalah salah satu penemuan paling revolusioner dalam sejarah kesehatan umat manusia.

Kita pernah menghadapi pandemi global dan tahu betapa rapuhnya sistem kesehatan dunia. Tapi resistensi antimikroba adalah pandemi yang lebih senyap. AMR tidak menimbulkan kepanikan, tapi justru karena itulah ia lebih berbahaya.

Superbug tak butuh paspor untuk menyebar. Ia tak menunggu izin untuk menginfeksi. Dan jika dunia terus menutup mata, satu-satunya hal "super" yang akan kita dapatkan adalah krisis yang super besar, yang tidak bisa diselesaikan dengan vaksin atau lockdown.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun