Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan (PKH), yang diikuti pembentukan satuan tugas (Satgas) untuk menertibkan perusahaan-perusahaan yang selama ini menggarap kawasan hutan secara ilegal. Namun, kebijakan yang awalnya bertujuan mulia ini justru menjelma menjadi instrumen kekuasaan yang mengkhianati prinsip keadilan ekologis dan perlindungan hak rakyat.
Temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) di berbagai provinsi menunjukkan bahwa Satgas PKH telah bertransformasi dari harapan menjadi ancaman. Penertiban bukan diarahkan untuk memulihkan fungsi ekologis hutan dan mengembalikan hak ulayat masyarakat, melainkan menjadi skema baru alih kuasa lahan dari perusahaan swasta ke perusahaan negara---terutama PT Agrinas---tanpa transparansi dan akuntabilitas hukum.
Alih-alih menghukum pelaku perusakan, negara justru menyegel lahan milik masyarakat adat dan petani kecil, lalu menyerahkannya ke tangan baru yang tak kalah eksploitatif.
Agrinas dan Paradoks Penertiban
Di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, hingga Jambi dan Sumatera Utara, WALHI menemukan praktik serupa: Satgas PKH melakukan penyegelan terhadap lahan yang dikuasai masyarakat, bahkan yang sedang dalam proses resolusi konflik. Setelah disegel, lahan dialihkan kepada PT Agrinas, perusahaan milik negara yang dalam praktiknya tidak menjalani prosedur perizinan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Di Sumatera Utara, perwakilan Agrinas bahkan dilaporkan melakukan pungutan liar sebesar Rp400 per kilogram hasil sawit dari masyarakat, sambil membawa nama institusi dan mengenakan pakaian loreng yang menciptakan suasana intimidatif. Sementara di Jambi, masyarakat yang tengah bernegosiasi damai dengan perusahaan justru dikejutkan oleh penyegelan sepihak yang mengganggu proses pemulihan.
Wengky Purwanto dari WALHI Sumatera Barat mengingatkan, bahwa hutan bukan sekadar wilayah legal formal, melainkan ruang hidup masyarakat yang mengandung nilai sosial, budaya, dan spiritual. "Penertiban ini mengabaikan akar konflik dan tidak melihat sejarah kepemilikan serta pengelolaan oleh masyarakat," ujarnya.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah yang tidak termasuk kawasan hutan, tetapi memiliki relevansi kuat terhadap perampasan ruang hidup dan pelemahan perlindungan masyarakat adat, yakni kasus tambang nikel di Pulau Kawe, Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Pada April 2024 lalu, PT ASI Pudjiastuti Geosurvey melakukan survei geologi di wilayah Pulau Kawe, salah satu pulau suci bagi masyarakat adat Maya. Kegiatan ini dilakukan berdasarkan kontrak kerja dari perusahaan tambang nikel PT Karunia Tambang Sejahtera (KTS), yang telah lama mendapat penolakan dari masyarakat. Penolakan ini bukan tanpa alasan. Pulau Kawe adalah wilayah adat yang masuk dalam peta wilayah konservasi Raja Ampat dan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional dengan fungsi pelestarian lingkungan dan ekowisata.
Ironisnya, pada Januari 2025, Kementerian ESDM justru menyetujui Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi bagi PT KTS, tanpa konsultasi yang sah dan bermakna (FPIC) dengan masyarakat adat pemilik wilayah. Padahal, Mahkamah Agung telah menguatkan putusan pembatalan izin lingkungan PT GAG Nikel---perusahaan sebelumnya---di wilayah yang sama, karena dinilai bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan.
Kasus ini memperlihatkan wajah lain dari perampasan yang dilakukan oleh negara---baik melalui diamnya terhadap pelanggaran, maupun keterlibatannya dalam proses-proses legalisasi ekspansi industri ekstraktif. Jika di kawasan hutan negara menyegel lahan petani dan menyerahkannya ke BUMN, maka di Raja Ampat negara memberikan izin pertambangan nikel di tanah adat yang dilindungi, tanpa proses demokratis dan partisipatif.
Maka menjadi jelas bahwa persoalannya bukan hanya soal tata kelola hutan, tetapi juga paradigma kekuasaan yang menempatkan alam sebagai obyek eksploitasi negara, bukan sebagai ruang hidup rakyat.
Pergeseran Aktor, Bukan Perubahan Sistem
Kasus Agrinas dan Raja Ampat menunjukkan satu pola: adanya pergeseran aktor dari perusahaan swasta ke perusahaan negara, tanpa disertai perubahan dalam struktur kekuasaan dan cara pandang terhadap lingkungan. Negara kini menjadi pelaku utama yang melanjutkan praktik perampasan ruang hidup, melalui instrumen hukum dan militer.
Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional bahkan menyebut bahwa Perpres 5/2025 "menggeser kejahatan dari perusahaan ke negara." Sementara Bayu Herinata dari WALHI Kalimantan Tengah menegaskan bahwa ini bukan penertiban, melainkan pemutihan kejahatan lingkungan.
Negara seharusnya hadir untuk menyelesaikan konflik, bukan memonopoli pengelolaan sumber daya atas nama legalitas. Tanpa transparansi, partisipasi, dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan lokal, penertiban kawasan hutan atau pemberian izin tambang di tanah Papua hanya akan memperluas luka ekologis dan ketimpangan struktural yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Negara Butuh Paradigma Baru
Situasi ini menandai kegagalan negara dalam memahami substansi keadilan ekologis. Pendekatan yang digunakan dalam PKH atau pemberian izin tambang masih dilandasi oleh paradigma eksklusi: bahwa tanah dan hutan adalah milik negara yang bisa dikuasai, dikelola, dan dialihkan sesuai kepentingan pusat. Masyarakat hanya menjadi objek yang dikorbankan demi stabilitas investasi.
Sudah saatnya Indonesia membangun paradigma baru pengelolaan sumber daya alam, yang menjadikan masyarakat sebagai subjek utama. Hutan dan tanah bukan hanya persoalan legalitas spasial, tetapi berkaitan langsung dengan hak hidup, identitas budaya, dan keberlanjutan lingkungan.
Perubahan ini tidak bisa hanya dilakukan dengan pembentukan satgas atau revisi peraturan. Kita membutuhkan Undang-Undang Kehutanan dan Pertambangan yang baru, yang mengakui keberagaman sistem penguasaan lahan, memperkuat prinsip FPIC, serta melindungi wilayah kelola rakyat dari eksploitasi struktural oleh negara dan korporasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI