Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Penertiban Kawasan Hutan atau Legalisasi Kejahatan Negara?

21 Juli 2025   11:46 Diperbarui: 21 Juli 2025   17:00 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus Agrinas dan Raja Ampat menunjukkan satu pola: adanya pergeseran aktor dari perusahaan swasta ke perusahaan negara, tanpa disertai perubahan dalam struktur kekuasaan dan cara pandang terhadap lingkungan. Negara kini menjadi pelaku utama yang melanjutkan praktik perampasan ruang hidup, melalui instrumen hukum dan militer.

Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional bahkan menyebut bahwa Perpres 5/2025 "menggeser kejahatan dari perusahaan ke negara." Sementara Bayu Herinata dari WALHI Kalimantan Tengah menegaskan bahwa ini bukan penertiban, melainkan pemutihan kejahatan lingkungan.

Negara seharusnya hadir untuk menyelesaikan konflik, bukan memonopoli pengelolaan sumber daya atas nama legalitas. Tanpa transparansi, partisipasi, dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan lokal, penertiban kawasan hutan atau pemberian izin tambang di tanah Papua hanya akan memperluas luka ekologis dan ketimpangan struktural yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

Negara Butuh Paradigma Baru

Situasi ini menandai kegagalan negara dalam memahami substansi keadilan ekologis. Pendekatan yang digunakan dalam PKH atau pemberian izin tambang masih dilandasi oleh paradigma eksklusi: bahwa tanah dan hutan adalah milik negara yang bisa dikuasai, dikelola, dan dialihkan sesuai kepentingan pusat. Masyarakat hanya menjadi objek yang dikorbankan demi stabilitas investasi.

Sudah saatnya Indonesia membangun paradigma baru pengelolaan sumber daya alam, yang menjadikan masyarakat sebagai subjek utama. Hutan dan tanah bukan hanya persoalan legalitas spasial, tetapi berkaitan langsung dengan hak hidup, identitas budaya, dan keberlanjutan lingkungan.

Perubahan ini tidak bisa hanya dilakukan dengan pembentukan satgas atau revisi peraturan. Kita membutuhkan Undang-Undang Kehutanan dan Pertambangan yang baru, yang mengakui keberagaman sistem penguasaan lahan, memperkuat prinsip FPIC, serta melindungi wilayah kelola rakyat dari eksploitasi struktural oleh negara dan korporasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun