Terima kasih, Bu Sri Mulyani. Selamat bekerja, Pak Purbaya Yudhi Sadewa.
Menjadi Bendahara Negara bukanlah sekadar duduk di kursi empuk, menandatangani berkas-berkas anggaran, lalu memberi keterangan pers tentang kondisi ekonomi.
Jabatan ini adalah salah satu posisi paling pelik dalam struktur pemerintahan. Sebab di sanalah titik temu antara idealisme dan kenyataan, antara teori dan realitas politik, antara harapan rakyat dan keterbatasan anggaran.
Banyak orang melihat angka-angka di kertas APBN seolah hanya deretan nominal yang dingin. Namun di balik setiap rupiah yang tertulis, ada keringat rakyat yang dipungut melalui pajak. Ada hutang yang harus dibayar oleh generasi berikutnya. Ada janji pembangunan yang ditagih masyarakat. Dan ada pula tekanan dari berbagai kepentingan, baik politik maupun bisnis, yang semuanya mengalir ke meja seorang bendahara negara.
Antara Keinginan dan Kemampuan
Setiap kementerian ingin lebih banyak anggaran. Setiap daerah merasa berhak mendapat porsi lebih besar. Setiap program pembangunan menuntut prioritas. Namun sumber daya negara terbatas. Penerimaan pajak tidak selalu sejalan dengan target. Fluktuasi harga komoditas global bisa mendadak memangkas pendapatan negara. Dan kewajiban membayar bunga utang tak bisa ditunda.
Dalam posisi ini, seorang bendahara negara harus berani mengatakan kata yang paling dibenci oleh banyak orang: "tidak." Tidak semua usulan bisa dikabulkan, tidak semua janji politik bisa dipenuhi, tidak semua program bisa berjalan sesuai impian.
Keputusan itu bukan sekadar teknis, melainkan politis. Dan setiap "tidak" yang diucapkan berpotensi memunculkan lawan baru, kekecewaan baru, bahkan serangan baru.
Tekanan dari Segala Arah
Menjadi bendahara negara berarti hidup dalam tekanan permanen. Pasar menuntut stabilitas, rakyat menuntut kesejahteraan, politisi menuntut realisasi janji, sementara dunia internasional menuntut konsistensi kebijakan.
Satu kebijakan fiskal bisa berdampak luas. Misalnya, menaikkan subsidi energi akan menenangkan publik dalam jangka pendek, tetapi menekan fiskal negara dalam jangka panjang. Sebaliknya, mencabut subsidi bisa menyelamatkan anggaran, tetapi memicu gejolak sosial dan politik.
Di sinilah letak dilema seorang bendahara negara: apa pun pilihannya, selalu ada harga yang harus dibayar.