Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Curse of Knowledge", Ketika Terlalu Banyak Belajar Membuatku Tersesat

17 Juli 2025   17:21 Diperbarui: 18 Juli 2025   07:46 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shutterstock via kompas.com

Selama bertahun-tahun, saya percaya bahwa belajar tanpa henti adalah satu-satunya jalan menuju kebijaksanaan. Saya membaca banyak buku, mengikuti pelatihan daring, menonton ceramah, menyelami filsafat, psikologi, spiritualitas, hingga sains otak. Namun suatu hari saya terdiam dan menyadari: saya tahu banyak hal, tapi tidak benar-benar hidup. Saya jatuh ke dalam apa yang disebut para psikolog sebagai the curse of knowledge---kutukan pengetahuan.

Apa itu kutukan pengetahuan? Ini adalah kondisi ketika seseorang sudah terlalu memahami sesuatu, hingga ia tak mampu lagi melihat dunia dari sudut pandang orang yang belum tahu. Tapi lebih dari sekadar kesulitan menjelaskan ulang, kutukan pengetahuan bisa menjadi jebakan psikologis yang merusak keseimbangan hidup kita.

Saya bukan sedang menyalahkan belajar. Pengetahuan tetap penting. Tapi ketika belajar berubah dari alat menjadi identitas, dari proses menjadi pelarian, kita mulai kehilangan arah. Di titik inilah saya mulai mempertanyakan: apakah pengetahuan yang saya kumpulkan benar-benar membuat saya lebih bijak?

Belajar Bisa Jadi Pelarian dari Hidup.

Di era informasi seperti sekarang, kita punya akses nyaris tak terbatas ke berbagai sumber belajar. Tapi di balik itu, ada godaan yang sangat besar: menjadikan belajar sebagai bentuk penghindaran dari realitas. Kita membaca tentang trauma, bukan untuk menyembuhkan diri, tapi untuk bisa menjelaskan kenapa kita rusak. Kita belajar teori relasi, bukan untuk mencintai lebih dalam, tapi untuk membenarkan sikap dingin atau sinis kita.

Inilah ironi zaman kita. Kita tahu terlalu banyak, tapi gagal menerapkan yang paling sederhana. Kita bicara soal mindfulness, tapi tak pernah benar-benar hadir. Kita tahu hormon yang memicu stres, tapi tak tahu bagaimana caranya menenangkan diri. Kita bisa menjelaskan arti hidup dari berbagai perspektif filosofis, tapi tetap merasa kosong dan kebingungan.

Belajar seharusnya membebaskan. Tapi jika tidak hati-hati, ia justru bisa menjadi bentuk lain dari keterasingan---terutama ketika kita memuja informasi dan logika, namun mengabaikan tubuh, relasi, dan emosi.

Kita Butuh Kebijaksanaan, Bukan Hanya Pengetahuan

Ada perbedaan besar antara orang yang tahu dan orang yang bijak. Yang pertama bisa menghafal kutipan tokoh terkenal. Yang kedua tahu kapan harus diam. Yang pertama bisa menjelaskan konsep "empati". Yang kedua bisa mendengarkan orang lain tanpa menghakimi. Pengetahuan bisa diajarkan. Kebijaksanaan hanya bisa dijalani.

Masalahnya, kebijaksanaan membutuhkan ruang, jeda, dan keberanian untuk hadir dalam kehidupan nyata. Ia tak tumbuh dalam tumpukan teori, tapi dalam keheningan, pengalaman, dan relasi. Dan dalam dunia yang terlalu cepat ini, ruang untuk menjadi bijak kerap terkubur oleh dorongan untuk terus produktif dan "update".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun